Mohon tunggu...
Hadiyan
Hadiyan Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar Universitas Muhammadiyah Jakarta Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam

Minat pada Studi Islam dan Sosial

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Halaqah Tarjih tentang Perayaan Natal

18 Februari 2024   13:05 Diperbarui: 20 Februari 2024   05:36 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam kesempatan menjadi salah seorang narasumber pada kegiatan Halaqah Tarjih Lembaga Pengkajian dan Penerapan al-Islam dan Kemuhammadiyahan (LPP AIK) Universitas Muhammadiyah JakartaPada (20/01/2022), kami menyampaikan urun rembuk tentang perayaan Natal. Narasumber lainnya, KH. Drs. Ahsin Abdul Wahhab, MA dari Majelis Tarjih Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DKI Jakarta. 

Beberapa pokok pikiran yang penulis sampaikan dalam kesempatan tersebut adalah sebagai berikut :

pertama, bahwa fatwa tarjih Muhammadiyah pada buku Tanya Jawab Agama 2 tentang perayaan natal mengutip sepenuhnya fatwa Majelis Ulama Indonesia pada tahun 1981 tentang Perayaaan Natal bersama yang satu salah poin keputusannya adalah bahwa mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram. Penulis menegaskan bahwa keputusan fatwa (MUI) yang usianya sudah 41 tahun itu sangat kuat sehingga masih dirujuk hingga sekarang, termasuk oleh Muhammadiyah.

Kedua, penulis melihat gejala pada sebagian masyarakat yang ada membolehkan ikut merayakan dan di dalamnya mengucap selamat natal dengan alasan termasuk kewajaran berinteraksi sehari-hari dengan non-muslim. Dengan kata lain keikutsertaan ini dilandasi prinsip bermuamalah. Di sinilah penulis menyampaikan kritik dari Sayyid Qutb dan Ibn Taimiyah. Sayyid Qutb dalam buku Fiqh al-Da’wah mengatakan bahwa terminologi ‘muamalah’ adalah terminologi yang muncul belakangan dalam khususnya keilmuan hukum Islam. Dan, menurutnya, Islam itu adalah satu/tunggal dalam maknanya sebagai mengabdi (beribadah) kepada Allah. Dalam konteks ini, mengucapkan selamat natal apalagi merayakannya secara bersama dengan alasan bermuamalah dengan non-Muslim, tidak ada dasarnya. Sementara Ibn Taimiyah dalam Majma’al-Fatawa mengemukakan prinsip ‘berakidah dalam beribadah’. Dus, dari prinsip rumusannya ini difahami bahwa Islam adalah satu kesatuan akidah, ibadah, dan juga muamalah.

Ketiga, bahwa memang terjadi khilafiyah atau perbedaan pendapat di kalangan ulama menyangkut perayaan natal. Ada yang mengharamkan, ada juga yang membolehkan. Perbedaan pendapat ini dilatarbelakangi pemahaman masing-masing terhadap ayat-ayat yang mengisahkan kehidupan nabi Isa dan ibunda Maryam. Di antaranya surat Maryam (19) ayat 23 s.d 33. Secara kontemporer, ada empat orang ulama yang penulis elaborasi pemikirannya, yaitu Yusuf Qardhawi (Qatar), Ahmad al-Thib yang merupakan syaikh al-Azhar (Mesir), Ali Jum’ah (Mesir), dan Mustafa al-Zarqa (Suriah). Dua yang pertama keras melarang ikut merayakan dan mengucapkan selamat Natal, dan dua lainnya membolehkan.

Keempat, bahwa terkait hal khilafiyah tersebut, sikap Muhammadiyah adalah mengedepankan toleransi. Penulis mengutip buku Manhaj Tarjih Muhammadiyah karangan Prof. Dr. Syamsul Anwar yang merupakan Ketua Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah, tentang ‘Khilafiyah dan Wawasan Toleransi’. Meski tidak terkait topik kajian tarjih, penulis mengkontribusi pemikiran tentang perlunya dimasukkan dalam dokumen-dokumen resmi ketarjihan di Muhammadiyah surat al-Zumar (39) ayat 18 yang menurut penulis sebagai ayat tarjih.

Kelima, bahwa jika diperhatikan ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi landasan fatwa MUI, ayat-ayat tersebut dominan berbicara soal akidah. Karena itu, hal perayaan natal ini sangat kental terkait masalah akidah. Di sini penulis menyatakan ketidaksetujuannya pada pemikiran Ahmad al-Thib tentang tidak perlu mendiskusikan masalah akidah kepada non Muslim. Di antara argumen penulis adalah dialog Rasulullah SAW dengan delegasi Nasrani Najran sebagaimana disampaikan oleh al-Wahidi dalam kitab Asbab al-Nuzul.

Keenam, penulis menyampaikan pemikiran tentang Islam sebagai standar (bagi agama-agama lain). Ada tiga ayat, di antaranya, yang menjadi argumen, yaitu surat al-Taubah (9) ayat 33 tentang misi Rasulullah dalam mengunggulkan Islam dari semua agama, surat al-Maidah (5) ayat 48 tentang salah satu fungsi Al-Qur’an sebagai ‘batu uji'(muhaymin) bagi kitab yang lain, dan surat al-Baqarah (2) ayat 137 yang menegaskan, ‘Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.

Wallahu a’lam..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun