Farhan duduk di dalam kamar kontrakannya yang sederhana, menatap layar laptop yang menyala tanpa benar-benar membaca apa yang tertulis di sana. Pikirannya penuh dengan kegelisahan. Ia baru saja menyampaikan niatnya untuk melamar Aisyah kepada orang tuanya, dan kini ia sedang menunggu jawaban dari gadis itu. Hatinya tidak tenang.
Sejak awal, Farhan sadar bahwa niat baiknya mungkin tidak akan dengan mudah diterima. Latar belakang keluarganya bukanlah sesuatu yang ideal dalam pandangan banyak orang. Ia anak tunggal dari orang tua yang telah bercerai. Ayahnya seorang non-Muslim, sementara ibunya adalah seorang Muslimah yang membesarkannya dengan penuh perjuangan. Meski demikian, ayahnya tetap bertanggung jawab, membiayai kuliah dan kehidupannya. Namun, ia tahu bahwa tidak semua orang bisa menerima situasi seperti ini tanpa ragu.
Farhan menarik napas panjang. Ia bukan seseorang yang mudah larut dalam emosi, tetapi kali ini berbeda. Ia benar-benar ingin memperjuangkan Aisyah, seorang wanita yang ia kagumi karena keteguhan imannya, kecerdasannya, dan kelembutannya. Ia bukan sekadar menyukai Aisyah, tetapi ingin membangun kehidupan bersamanya. Namun, apakah Aisyah bersedia menerima dirinya dengan segala latar belakang yang ia miliki?
Malam itu, Farhan memutuskan untuk mengunjungi ibunya. Mereka duduk di ruang tamu yang kecil, ditemani secangkir teh hangat.
"Bu, aku sudah menyampaikan niatku kepada Aisyah," ujar Farhan dengan suara pelan.
Ibunya menatapnya penuh kasih. "Lalu, bagaimana tanggapannya?"
Farhan menggeleng. "Dia belum memberi jawaban, tapi aku bisa merasakan kebimbangannya. Aku mengerti, Bu. Aku tahu latar belakang keluargaku bukan yang terbaik dalam pandangan orang lain. Aku takut, apakah ini akan menjadi penghalang bagiku untuk mendapatkan seseorang yang baik?"
Ibunya tersenyum lembut, menggenggam tangan anaknya. "Nak, keluarga memang penting, tapi lebih penting lagi adalah bagaimana seseorang memilih jalannya sendiri. Kau tidak bisa mengubah masa lalu, tetapi kau bisa menentukan masa depanmu sendiri. Jika Aisyah adalah wanita yang tepat untukmu, ia akan melihat siapa dirimu, bukan sekadar asal-usulmu."
Farhan mengangguk pelan. Kata-kata ibunya menenangkan, tetapi ia masih belum bisa menghilangkan kekhawatirannya sepenuhnya.
Beberapa hari kemudian, Aisyah mengajaknya bertemu di taman kampus. Mereka duduk berhadapan, ditemani oleh salah seorang teman mereka sebagai pendamping. Farhan bisa melihat bahwa Aisyah terlihat ragu, tetapi ada ketegasan dalam matanya.