Di sebuah masjid kecil di kampung Konoha Raya, Ustadz Hasyim baru saja menyampaikan tausiyahnya. Topik yang diangkat cukup tajam: Riya', si perusak amal. Jamaah tampak serius, sesekali mengangguk-angguk, seolah menyadari betapa seringnya hati mereka tergelincir dalam jebakan ini.
"Saudara-saudara sekalian," Ustadz Hasyim membuka ceramah dengan suara lantang, "Riya' itu seperti rayap yang memakan kayu dari dalam. Nampaknya kuat, tapi tahu-tahu roboh. Amal yang dilakukan bukan karena Allah, tapi karena ingin dipuji manusia, akan sia-sia di hadapan-Nya!"
Jamaah menggumam setuju. Tapi di barisan depan, Pak Dibyo, ketua DKM, tersenyum puas sambil sesekali mengelus jenggotnya yang baru dicat hitam pekat.
"Betul sekali, Ustadz!" seru Pak Dibyo. "Makanya saya kalau sedekah, diam-diam. Tidak pernah saya pamer-pamer. Kalau pun ada yang tahu, ya bukan salah saya, mereka saja yang kepo!"
Jamaah tertawa kecil, tapi Ustadz Hasyim hanya menghela napas. "Begitulah, Pak Dibyo, kalau kita ikhlas, tak perlu ada embel-embel penjelasan. Amal baik cukup Allah yang tahu."
"Riya' itu sering kali tidak terasa. Kadang kita merasa ikhlas, tapi masih berharap orang lain tahu amal kita."
Pak Dibyo, yang wajahnya mulai memerah, mencoba menyelamatkan situasi. "Ehem, tadi itu... saya hanya mengingatkan diri sendiri, Ustadz. Bukan riya', cuma latihan ikhlas!"
Jamaah senyum-senyum. Lalu tiba-tiba, seorang jamaah lainnya ikut bersuara, "Makanya saya kalau nyumbang ke masjid tidak pernah menulis nama asli saya, Ustadz. Saya ganti dengan nama 'Hamba Allah'. Seperti kemarin, ada 'Hamba Allah' yang nyumbang dua juta... itu saya!"
Tawa jamaah spontan membahana di dalam masjid. Saat suasana mulai tenang, seorang jamaah di barisan belakang angkat tangan dan nyeletuk dengan polos, "Itulah, Ustadz, karena saya takut riya dalam berinfak, sementara ini saya belum berinfak. Nanti kalau infak, takutnya saya riya'."
Ustadz Hasyim tertawa kecil lalu menjawab, "Lho, kalau tidak berinfak karena takut dianggap riya saat berinfak, itu termasuk riya' juga, namanya riya' dalam bentuk yang lain!"
Jamaah kembali tertawa sambil manggut-manggut. Pak Dibyo yang dari tadi salah tingkah langsung merasa punya teman senasib. "Nah, itu betul, Ustadz! Saya juga kadang bingung, kalau diumumkan takut riya, kalau diam-diam malah khawatir nggak ada yang tahu kalau saya nyumbang!"
Suasana semakin ramai oleh tawa. Celetukan-celetukan spontan seperti itu menjadi hiburan tersendiri. Dan itulah realitas masyarakat di Konoha Raya. Meskipun yang nyeletuk hanya sedikit, sebenarnya pelaku riya' masih sangat banyak di desa ini. Apalagi di era medsos seperti sekarang, kurang afdhol rasanya kalau aktivitas menyumbang tidak dishare di media. Dengan share ke media itulah, masyarakat Konoha Raya membangun citranya. Citra sebagai pejabat yang baik hati. Citra sebagai pengusaha yang dermawan. Citra sebagai anggota masyarakat yang peduli.
Ustadz Hasyim pun menutup ceramah dengan pesan mendalam, " Riya' adalah perilaku di mana seseorang melakukan suatu amal kebaikan bukan untuk mencari ridha Allah, melainkan demi mendapatkan pujian atau pengakuan dari manusia. Riya' sangat berbahaya karena bisa menghapus pahala amal yang dilakukan. Rasulullah SAW bahkan menyebut riya' sebagai syirik kecil karena seseorang secara tidak sadar menomorsatukan penilaian manusia daripada penilaian Allah. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk selalu meluruskan niat, menjaga keikhlasan, dan menghindari dorongan hati untuk pamer kebaikan. Amal yang sejati adalah yang hanya diketahui oleh Allah, tanpa perlu diumumkan atau disiarkan. Kalau benar-benar ikhlas, biarlah amal kita tersembunyi seperti akar pohon, yang tak terlihat, tapi justru menjadi penopang kuat. Semoga kita terhindar dari riya' yang bisa menghapus pahala kita."
Para jamaah pun manggut-manggut. Paham, mudah-mudahan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI