Mohon tunggu...
Hadi Tanuji
Hadi Tanuji Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Institut Teknologi dan Bisnis Muhammadiyah Grobogan

Saya adalah ayah dari 5 anak dan suami dari 1 orang istri. Aktivitas sehari-hari sebagai dosen statisika yang selalu berkutat dengan angka, sehingga perlu hiburan dengan bermain tenis meja. Olah raga ini membuat saya lebih sabar dalam menghadapi smash, baik dari lawan maupun dari kehidupan. Di sela-sela kesibukan, saya menjadi pemerhati masalah sosial, mencoba melihat ada apa di balik fenomena kehidupan, suka berbagi meski hanya ide ataupun hanya sekedar menjadi pendengar. Sebagai laki-laki sederhana moto hidup pun sederhana, bisa memberi manfaat kepada sesama.

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Fenomena Sharenting: Tren, Risiko, dan Perspektif Agama

27 Januari 2025   16:59 Diperbarui: 27 Januari 2025   17:10 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI Sharenting (Sumber: Freepik)

Di era media sosial yang semakin mendominasi kehidupan sehari-hari, muncul fenomena yang dikenal sebagai sharenting. Istilah ini mengacu pada kebiasaan orang tua yang secara aktif membagikan informasi, foto, atau aktivitas anak-anak mereka di platform seperti Facebook, Instagram, atau TikTok. Bagi banyak orang tua, aktivitas ini adalah cara untuk mendokumentasikan momen berharga sekaligus berbagi kebahagiaan dengan keluarga atau teman. Namun, fenomena ini tidak lepas dari risiko, etika, dan perspektif agama yang perlu dicermati.

Risiko Sharenting: Saat Momen Anak Menjadi Konsumsi Publik

Meskipun terkesan sederhana, sharenting memiliki sejumlah risiko yang patut diperhatikan, seperti: kehilangan privasi anak, ancaman keamanan digital, dampak jangka panjang, dan juga penargetan iklan.

Ketika orang tua membagikan foto atau informasi pribadi anak, mereka tanpa sadar mengurangi ruang privasi anak di masa depan. Anak mungkin tidak memiliki kendali atas bagaimana informasi tersebut digunakan atau dipahami oleh orang lain.

Risiko ancaman keamanan digital juga bisa saja terjadi. Data yang dibagikan secara online dapat dimanfaatkan oleh pihak tak bertanggung jawab. Informasi seperti nama lengkap, tanggal lahir, atau lokasi dapat digunakan untuk tindak kejahatan seperti pencurian identitas atau eksploitasi anak.

Demikian juga, sharenting bisa berdampak dalam jangka panjang. Apa yang dianggap lucu atau menarik hari ini bisa menjadi sumber rasa malu anak di kemudian hari. Misalnya, foto-foto tertentu yang diposting tanpa sepengetahuan mereka dapat digunakan sebagai bahan bullying di sekolah atau di media sosial.

Beberapa perusahaan teknologi menggunakan algoritma untuk mengumpulkan data dari unggahan media sosial. Foto dan informasi anak mungkin menjadi bagian dari database yang digunakan untuk kepentingan komersial.

Tips Aman dalam Sharenting

Dalam membagikan momen anak di media sosial, selektivitas adalah kunci untuk meminimalkan risiko sekaligus menjaga privasi mereka. Sebaiknya orang tua menghindari berbagi informasi sensitif seperti alamat rumah, lokasi sekolah, atau jadwal aktivitas rutin anak. Informasi semacam itu dapat menjadi celah bagi pihak tak bertanggung jawab untuk melakukan tindakan berbahaya. Menggunakan pengaturan privasi di media sosial juga merupakan langkah penting yang sering kali diabaikan. Fitur seperti "hanya teman" atau grup terbatas memungkinkan unggahan hanya dapat dilihat oleh orang-orang terpercaya, sehingga risiko penyebaran lebih luas dapat diminimalkan.

Melibatkan anak dalam proses pengambilan keputusan tentang apa yang akan dibagikan adalah langkah penting, terutama jika mereka sudah cukup dewasa. Dengan meminta izin terlebih dahulu, orang tua tidak hanya mengajarkan pentingnya privasi tetapi juga menunjukkan rasa hormat terhadap hak mereka sebagai individu. Selain itu, hindari mengunggah foto atau video yang dapat dianggap memalukan, seperti saat anak menangis atau dalam situasi rentan lainnya, karena konten semacam ini dapat berdampak negatif pada rasa percaya diri mereka di kemudian hari.

Alih-alih memanfaatkan platform publik, orang tua dapat menggunakan aplikasi berbagi foto yang bersifat privat seperti Google Photos untuk menyimpan dan berbagi momen bersama keluarga dekat. Hal ini memberikan kontrol lebih besar atas siapa yang dapat mengakses dokumentasi anak. Pada saat yang sama, penting untuk membatasi detail yang diberikan dalam setiap unggahan. Misalnya, ketika membagikan foto anak bermain di taman, hindari mencantumkan lokasi spesifik atau waktu secara rinci.

Sebelum mengunggah sesuatu, biasakan untuk memeriksa ulang kontennya. Pertimbangkan dampaknya terhadap anak baik saat ini maupun di masa depan. Jika ada sedikit saja keraguan, sebaiknya hindari untuk membagikannya. Orang tua juga harus berusaha menghindari kebiasaan oversharing dan menentukan momen mana yang benar-benar penting untuk dipublikasikan. Sebisa mungkin, dokumentasi momen anak dapat dijadikan koleksi pribadi yang lebih bermakna jika dinikmati bersama keluarga tanpa perlu menjadi konsumsi publik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun