Pernahkah Anda membayangkan diri hidup di masa Nabi Muhammad saw? Sebuah zaman tanpa kemewahan teknologi, tetapi penuh dengan kisah-kisah luar biasa yang menggugah keimanan. Salah satu peristiwa yang menjadi ujian besar bagi umat Muslim pada saat itu adalah Isra Mi'raj, perjalanan malam Nabi dari Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsa di Yerusalem, lalu naik ke langit menuju Sidratul Muntaha dalam waktu yang singkat. Sebuah peristiwa yang menggetarkan hati dan di luar nalar manusia biasa.
Namun, mari bertanya pada diri kita: seandainya kita hidup pada masa itu, akankah kita tetap percaya dan berada di sisi Nabi Muhammad saw ketika berita ini tersebar?
Keteguhan Abu Bakar vs. Keraguan Manusia
Ketika Nabi Muhammad saw menyampaikan kabar Isra Mi'raj, banyak orang yang langsung meragukannya. Bahkan, orang-orang Quraisy menjadikan peristiwa ini sebagai bahan ejekan. Namun, di antara semua suara yang mengguncang keyakinan, berdirilah seorang yang imannya tak tergoyahkan: Abu Bakar As-Siddiq. Tanpa ragu, Abu Bakar mengatakan, "Jika Nabi mengatakan demikian, maka aku percaya."
Ucapan Abu Bakar menunjukkan esensi iman yang sejati: mempercayai kebenaran Rasul tanpa melihat batasan logika manusia. Dia tidak membutuhkan bukti fisik karena hatinya sudah yakin bahwa setiap ucapan Nabi adalah wahyu dari Allah.
Sebaliknya, bayangkan kita hidup di zaman itu. Di tengah gempuran propaganda Quraisy yang menyatakan bahwa Muhammad hanya seorang penyihir atau pembohong, apakah kita akan tetap percaya? Atau justru mulai meragukan dengan bisikan seperti, "Bagaimana mungkin perjalanan sejauh itu terjadi dalam satu malam?"
Isra Mi'raj dan Ujian Keimanan
Isra Mi'raj adalah peristiwa yang menguji keimanan. Peristiwa ini adalah pengingat bahwa iman sejati tidak semata-mata bergantung pada logika. Iman membutuhkan keterbukaan hati untuk menerima bahwa kuasa Allah jauh melampaui apa yang dapat dijangkau oleh pikiran manusia.
Dalam surah Al-Isra' [17:1], Allah berfirman: Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.
Ayat ini menjadi bukti otentik bahwa peristiwa tersebut benar adanya. Tetapi meskipun ada firman Allah yang menjelaskan kejadian ini, bagi sebagian orang di zaman itu, menerima kenyataan ini tetaplah sulit. Kita di masa kini mungkin berpikir, "Ah, kalau itu zaman saya, pasti saya percaya." Tetapi apakah benar? Jika logika menjadi satu-satunya penguasa keyakinan, kita mungkin akan berada di pihak yang meragukan.
Refleksi Masa Kini: Menjaga Iman di Tengah Ketidakpastian
Mari sejenak kita tarik renungan ini ke masa kini. Walaupun kita tidak mengalami langsung peristiwa Isra Mi'raj, ujian iman di zaman modern juga tidak kalah berat. Banyak fakta keimanan yang menjadi bahan perdebatan antara agama dan ilmu pengetahuan.
Misalnya, keyakinan akan kehidupan setelah mati. Logika manusia sulit memahaminya karena tidak ada bukti empiris yang dapat dirasakan oleh panca indera. Begitu pula dengan perintah shalat lima waktu, salah satu hadiah yang Nabi bawa dari perjalanan Mi'raj. Terkadang, ada rasa malas dalam menjalankan ibadah ini. Sebagian orang bahkan mencari dalih logis untuk mengabaikannya.
Namun, bukankah peristiwa Isra Mi'raj mengajarkan kita bahwa iman sejati terletak pada hati yang yakin, bukan pada otak yang terus meminta bukti empiris?