Mohon tunggu...
Hadi Tanuji
Hadi Tanuji Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Institut Teknologi dan Bisnis Muhammadiyah Grobogan

Saya adalah ayah dari 5 anak dan suami dari 1 orang istri. Aktivitas sehari-hari sebagai dosen statisika yang selalu berkutat dengan angka, sehingga perlu hiburan dengan bermain tenis meja. Olah raga ini membuat saya lebih sabar dalam menghadapi smash, baik dari lawan maupun dari kehidupan. Di sela-sela kesibukan, saya menjadi pemerhati masalah sosial, mencoba melihat ada apa di balik fenomena kehidupan, suka berbagi meski hanya ide ataupun hanya sekedar menjadi pendengar. Sebagai laki-laki sederhana moto hidup pun sederhana, bisa memberi manfaat kepada sesama.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Ada Curiga di Antara Kita?

26 Januari 2025   11:49 Diperbarui: 30 Januari 2025   06:15 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin saya mengalami satu kejadian. Sebuah kejadian sederhana namun terasa mengusik fikiran. Saat itu saya bermaksud setor tunai ke ATM. Dari sebagian uang yang saya bawa, ada sebagian uang yang receh, dan saya hanya ingin menukar uang pecahan kecil dengan denominasi lebih besar, seperti pecahan Rp50.000 atau Rp100.000, agar bisa disetor tunai. Jadilah saya menyapa pengunjung ATM yang datang. Saya sampaikan maksud saya. Namun respon dari mereka yang saya temui sungguh di luar dugaan. Wajah-wajah mereka menunjukkan kekhawatiran, bahkan ketakutan, saat saya mendekat. Mereka menolak interaksi yang sebenarnya sangat wajar, juga sederhana: tukar-menukar uang.  Tapi kenapa reaksinya begitu tak terduga? Kenapa mereka takut? Saat itu memang tak banyak orang di ATM, hanya satu dua orang saja. Tapi toh lokasinya di tempat ramai, di pinggir jalan raya, di seberang POM Bensin pula. Kenapa mereka sebegitu khawatirnya?  Ini yang membuat saya akhirnya terus berpikir tentang kondisi masyarakat kita.

Refleksi

Awalnya, saya mencoba mendekati seorang wanita muda, yang dari penampilannya tampak seperti seorang mahasiswi. Saya dengan sopan menyapa dan menjelaskan maksud saya, hanya ingin menukar uang pecahan kecil dengan pecahan yang lebih besar. Nominalnya juga tidak terlalu besar, hanya 100 ribuan. Tapi raut wajahnya langsung berubah curiga, dan dengan spontan menggerakkan tangannya dengan gestur menolak. Ia kelihatan takut dan tanpa kata-kata langsung menghindar.

Baca juga:  Orang Hebat Menurut Imam Syafi'i: Apakah Anda Termasuk?

Tak lama berselang, saya mendekati seorang bapak, masih muda. Begitu tahu maksud saya, dia langsung membuat gestur menolak dengan tangannya. Ia menggeleng sambil menjaga jarak, seperti tak ingin terlibat terlalu jauh. Saya mulai merasa heran dengan respon ini.

Upaya terakhir saya adalah mendekati seorang mas-mas yang baru tiba. Sama seperti sebelumnya, saya menjelaskan niat saya dengan tenang. Tapi lagi-lagi, saya disambut dengan ekspresi waspada dan gestur tubuh yang menandakan ketidaknyamanan. Kejadian ini membuat saya tersadar, bahwa lingkungan masyarakat kita sedang tidak baik-baik saja. Meskipun akhirnya upaya saya berhasil, pemikiran seperti itu mulai tertanam dalam benak.

Ketakutan sebagai Bentuk Proteksi Diri

Mengapa mereka takut? Jawabannya mungkin sederhana, namun penuh ironi: kita hidup di masa di mana ketidakpercayaan menjadi standar default dalam interaksi sosial. Pengalaman buruk yang dialami atau diceritakan dari mulut ke mulut telah membuat banyak orang selalu siaga terhadap potensi ancaman. Cerita tentang modus-modus penipuan atau kejahatan yang terjadi di sekitar ATM, seperti penipuan uang palsu atau perampokan, telah menciptakan atmosfer kecurigaan yang masif.

Media turut memainkan peran besar dalam hal ini. Setiap pemberitaan kriminal, apalagi yang melibatkan tempat seperti ATM, menjadi pengingat kolektif akan ancaman yang bisa datang kapan saja. Orang-orang mungkin merasa bahwa waspada berlebihan adalah langkah preventif terbaik untuk melindungi diri, meskipun itu berarti mengorbankan potensi kebaikan dalam interaksi sehari-hari.

Krisis Kepercayaan di Ruang Publik

Ketakutan yang saya saksikan di ATM adalah gambaran dari krisis kepercayaan di masyarakat kita. Hari ini, kepercayaan antara sesama manusia semakin langka, bahkan untuk hal-hal yang sederhana seperti saling membantu. Semua orang dianggap "terduga" sampai mereka membuktikan bahwa mereka tidak berbahaya.

Baca juga:  Kamu Akan Temukan Tuhan di Sana

Hal ini menunjukkan betapa jauhnya masyarakat kita dari nilai-nilai kebersamaan dan gotong royong yang dulu menjadi bagian integral budaya kita. Jika dahulu orang tidak segan untuk mengulurkan tangan, membantu orang lain membawa barang, atau sekadar berbagi senyum, kini setiap tindakan baik dipertimbangkan ulang karena takut akan konsekuensi buruk. Apakah saya akan dirampok? Apakah orang ini punya niat jahat? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu menjadi penghalang dalam hubungan antarmanusia.

Teknologi vs. Empati

Selain faktor ketidakpercayaan, kemajuan teknologi juga memengaruhi pola pikir kita. Kehadiran mesin-mesin seperti ATM yang didesain untuk mengurangi interaksi manusia secara langsung justru membuat kita semakin terpisah dari kebutuhan untuk saling percaya. Kita bergantung pada teknologi untuk memenuhi kebutuhan, dan perlahan tapi pasti, kita semakin kehilangan empati terhadap manusia lain yang berada di sekitar kita.

Interaksi di ATM, yang semestinya netral dan fungsional, berubah menjadi momen penuh ketegangan hanya karena persepsi kita tentang ancaman lebih besar daripada kemungkinan kebaikan.

Peran Pendidikan dan Sosialisasi

Ketidakpercayaan yang meluas ini memunculkan pertanyaan lain: apa yang harus dilakukan untuk membangun kembali rasa saling percaya? Jawabannya bukan hal yang sederhana. Namun, peran pendidikan sangat penting di sini. Pendidikan bukan hanya soal transfer pengetahuan, tetapi juga soal membentuk karakter dan nilai. Di sekolah, di kampus, bahkan di lingkungan kerja, perlu ada penguatan nilai-nilai empati dan penghargaan terhadap sesama manusia.

Selain itu, penting juga untuk mengurangi penyebaran informasi yang hanya menebar rasa takut. Media massa perlu bertanggung jawab untuk memberikan laporan yang seimbang dan tidak hanya fokus pada sensasi negatif. Begitu pula dengan individu; kita perlu mengedukasi diri sendiri untuk tidak cepat percaya pada informasi yang belum tentu benar.

Memulai dengan Langkah Sederhana

Meski masalahnya besar dan kompleks, perubahan selalu bisa dimulai dari langkah kecil. Kita bisa mulai dengan tidak selalu berpikir negatif saat melihat orang lain di ruang publik. Sebuah senyuman kecil atau sekadar kata sapaan ramah mungkin terlihat remeh, tetapi dampaknya bisa besar untuk menciptakan suasana yang lebih nyaman dan aman. Tentu saja tanpa melalaikan unsur kewaspadaan.

Baca juga:  Institut Teknologi dan Bisnis Muhammadiyah Grobogan (ITBMG) Perkuat Jaringan Melalui EXPO Pendidikan 2025

Saya sendiri memutuskan untuk tidak terlalu terganggu oleh respons negatif yang saya terima di ATM hari itu. Sebaliknya, pengalaman ini menjadi bahan refleksi untuk lebih memahami bagaimana masyarakat kita melihat dunia. Jika situasi seperti ini terus terjadi, dunia kita mungkin akan semakin terasa dingin. Kehangatan semakin menghilang.

Harapan Akan Perubahan

Akhirnya, saya berharap kita bisa kembali menemukan keseimbangan. Teknologi memang penting dan ketelitian memang dibutuhkan di era modern ini. Namun, di atas semua itu, kita tetap manusia yang butuh kehangatan dalam interaksi. Jika kita terus membiarkan rasa takut menguasai, kapan kita bisa benar-benar hidup berdampingan dengan penuh kedamaian?

Fenomena di ATM ini bukan sekadar tentang penukaran uang. Ia adalah cermin tentang bagaimana kita memandang dunia, bagaimana kita berinteraksi, dan seberapa jauh kita sudah berubah. Mari berhenti sejenak dan pikirkan: kapan terakhir kali Anda percaya pada orang di sekitar Anda? Mungkin, sudah waktunya kita coba lagi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun