Hal ini menunjukkan betapa jauhnya masyarakat kita dari nilai-nilai kebersamaan dan gotong royong yang dulu menjadi bagian integral budaya kita. Jika dahulu orang tidak segan untuk mengulurkan tangan, membantu orang lain membawa barang, atau sekadar berbagi senyum, kini setiap tindakan baik dipertimbangkan ulang karena takut akan konsekuensi buruk. Apakah saya akan dirampok? Apakah orang ini punya niat jahat? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu menjadi penghalang dalam hubungan antarmanusia.
Teknologi vs. Empati
Selain faktor ketidakpercayaan, kemajuan teknologi juga memengaruhi pola pikir kita. Kehadiran mesin-mesin seperti ATM yang didesain untuk mengurangi interaksi manusia secara langsung justru membuat kita semakin terpisah dari kebutuhan untuk saling percaya. Kita bergantung pada teknologi untuk memenuhi kebutuhan, dan perlahan tapi pasti, kita semakin kehilangan empati terhadap manusia lain yang berada di sekitar kita.
Interaksi di ATM, yang semestinya netral dan fungsional, berubah menjadi momen penuh ketegangan hanya karena persepsi kita tentang ancaman lebih besar daripada kemungkinan kebaikan.
Peran Pendidikan dan Sosialisasi
Ketidakpercayaan yang meluas ini memunculkan pertanyaan lain: apa yang harus dilakukan untuk membangun kembali rasa saling percaya? Jawabannya bukan hal yang sederhana. Namun, peran pendidikan sangat penting di sini. Pendidikan bukan hanya soal transfer pengetahuan, tetapi juga soal membentuk karakter dan nilai. Di sekolah, di kampus, bahkan di lingkungan kerja, perlu ada penguatan nilai-nilai empati dan penghargaan terhadap sesama manusia.
Selain itu, penting juga untuk mengurangi penyebaran informasi yang hanya menebar rasa takut. Media massa perlu bertanggung jawab untuk memberikan laporan yang seimbang dan tidak hanya fokus pada sensasi negatif. Begitu pula dengan individu; kita perlu mengedukasi diri sendiri untuk tidak cepat percaya pada informasi yang belum tentu benar.
Memulai dengan Langkah Sederhana
Meski masalahnya besar dan kompleks, perubahan selalu bisa dimulai dari langkah kecil. Kita bisa mulai dengan tidak selalu berpikir negatif saat melihat orang lain di ruang publik. Sebuah senyuman kecil atau sekadar kata sapaan ramah mungkin terlihat remeh, tetapi dampaknya bisa besar untuk menciptakan suasana yang lebih nyaman dan aman. Tentu saja tanpa melalaikan unsur kewaspadaan.
Baca juga: Â Institut Teknologi dan Bisnis Muhammadiyah Grobogan (ITBMG) Perkuat Jaringan Melalui EXPO Pendidikan 2025
Saya sendiri memutuskan untuk tidak terlalu terganggu oleh respons negatif yang saya terima di ATM hari itu. Sebaliknya, pengalaman ini menjadi bahan refleksi untuk lebih memahami bagaimana masyarakat kita melihat dunia. Jika situasi seperti ini terus terjadi, dunia kita mungkin akan semakin terasa dingin. Kehangatan semakin menghilang.
Harapan Akan Perubahan