Kemarin saya mengalami satu kejadian. Sebuah kejadian sederhana namun terasa mengusik fikiran. Saat itu saya bermaksud setor tunai ke ATM. Dari sebagian uang yang saya bawa, ada sebagian uang yang receh, dan saya hanya ingin menukar uang pecahan kecil dengan denominasi lebih besar, seperti pecahan Rp50.000 atau Rp100.000, agar bisa disetor tunai. Jadilah saya menyapa pengunjung ATM yang datang. Saya sampaikan maksud saya. Namun respon dari mereka yang saya temui sungguh di luar dugaan. Wajah-wajah mereka menunjukkan kekhawatiran, bahkan ketakutan, saat saya mendekat. Mereka menolak interaksi yang sebenarnya sangat wajar, juga sederhana: tukar-menukar uang. Â Tapi kenapa reaksinya begitu tak terduga? Kenapa mereka takut? Saat itu memang tak banyak orang di ATM, hanya satu dua orang saja. Tapi toh lokasinya di tempat ramai, di pinggir jalan raya, di seberang POM Bensin pula. Kenapa mereka sebegitu khawatirnya? Â Ini yang membuat saya akhirnya terus berpikir tentang kondisi masyarakat kita.
Refleksi
Awalnya, saya mencoba mendekati seorang wanita muda, yang dari penampilannya tampak seperti seorang mahasiswi. Saya dengan sopan menyapa dan menjelaskan maksud saya, hanya ingin menukar uang pecahan kecil dengan pecahan yang lebih besar. Nominalnya juga tidak terlalu besar, hanya 100 ribuan. Tapi raut wajahnya langsung berubah curiga, dan dengan spontan menggerakkan tangannya dengan gestur menolak. Ia kelihatan takut dan tanpa kata-kata langsung menghindar.
Baca juga: Â Orang Hebat Menurut Imam Syafi'i: Apakah Anda Termasuk?
Tak lama berselang, saya mendekati seorang bapak, masih muda. Begitu tahu maksud saya, dia langsung membuat gestur menolak dengan tangannya. Ia menggeleng sambil menjaga jarak, seperti tak ingin terlibat terlalu jauh. Saya mulai merasa heran dengan respon ini.
Upaya terakhir saya adalah mendekati seorang mas-mas yang baru tiba. Sama seperti sebelumnya, saya menjelaskan niat saya dengan tenang. Tapi lagi-lagi, saya disambut dengan ekspresi waspada dan gestur tubuh yang menandakan ketidaknyamanan. Kejadian ini membuat saya tersadar, bahwa lingkungan masyarakat kita sedang tidak baik-baik saja. Meskipun akhirnya upaya saya berhasil, pemikiran seperti itu mulai tertanam dalam benak.
Ketakutan sebagai Bentuk Proteksi Diri
Mengapa mereka takut? Jawabannya mungkin sederhana, namun penuh ironi: kita hidup di masa di mana ketidakpercayaan menjadi standar default dalam interaksi sosial. Pengalaman buruk yang dialami atau diceritakan dari mulut ke mulut telah membuat banyak orang selalu siaga terhadap potensi ancaman. Cerita tentang modus-modus penipuan atau kejahatan yang terjadi di sekitar ATM, seperti penipuan uang palsu atau perampokan, telah menciptakan atmosfer kecurigaan yang masif.
Media turut memainkan peran besar dalam hal ini. Setiap pemberitaan kriminal, apalagi yang melibatkan tempat seperti ATM, menjadi pengingat kolektif akan ancaman yang bisa datang kapan saja. Orang-orang mungkin merasa bahwa waspada berlebihan adalah langkah preventif terbaik untuk melindungi diri, meskipun itu berarti mengorbankan potensi kebaikan dalam interaksi sehari-hari.
Krisis Kepercayaan di Ruang Publik
Ketakutan yang saya saksikan di ATM adalah gambaran dari krisis kepercayaan di masyarakat kita. Hari ini, kepercayaan antara sesama manusia semakin langka, bahkan untuk hal-hal yang sederhana seperti saling membantu. Semua orang dianggap "terduga" sampai mereka membuktikan bahwa mereka tidak berbahaya.
Baca juga: Â Kamu Akan Temukan Tuhan di Sana