Sore itu, selepas sholat asar saya naik motor mau nengok anak yang sedang mondok di sebuah pesantren di Jatinangor Sumedang. Hari itu sedang gerimis. Saya menjalankan motor dengan santai. Kalau sudah rindu, gerimis gak jadi masalah. Saat mau melintas perbatasan Cileunyi -- Jatinangor kulihat seorang anak kecil bersarung dengan peci di kepalanya. Kira-kira berumur 11 atau 12 tahun, dengan badan kurus dan wajah agak tirus. Berdiri di tengah gerimis, dia nampak kecil di tengah ramai orang yang sedang menunggu kendaraan umum. Kulihat dia melambaikan tangannya ke saya. Nampaknya memang bukan hanya ke saya, tapi ke semua orang yang lewat. Tak ada yang peduli. Kucoba hampiri dia. Dari dekat terlihat raut mukanya yang kusam, tampak lelah dengan pandangan matanya yang sayu.
"Ada apa dik?" kucoba berkomunikasi dengannya.
"Om, bisa ikut numpang ke depan?" katanya sambil menahan dingin.
 "Ayo naik", kataku.
Sambil ngejalanin motor kucoba bertanya "Emang mau kemana?" teriakku agak keras untuk melawan suara angin dan kendaraan di sekitar.
"Mau balik ke pondok om"
" Lha emang pondoknya dimana?" tanyaku penasaran.
"Di Majalaya om"
"Hah... Majalaya?" teriakku. Dari posisi saat ini sampai ke Majalaya jaraknya masih sekitar 20 km lagi. Padahal rute yang harus kulalui nggak searah dengannya. Kurang lebih 500 meter ke depan saya harus pisah jalan dengannya. Saya lurus, sementara dia harus belok kanan menuju pondoknya di Majalaya, lewat daerah Sayang.
Dengan penasaran saya coba nanya, "Tadi berangkat dari mana?"