Mohon tunggu...
Hadi Samsul
Hadi Samsul Mohon Tunggu... Administrasi - Civil servant

HS Bandung Kompasianer “heubeul” , angkatan 2008

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Nostalgia Gegerkalong Girang-Bandung

24 Desember 2009   21:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:47 1686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lagi-lagi, saya copy paste tulisan saya dari blog pribadi. sudah lama dimuat sih, yakni 3 Otober 2009. alasan saya naikkan ke kompasiana, karena belum ada teman-teman warga Bandung yang ikutan CJ project Khas Daerah Bandung. siapa tau ini memberi inspirasi buat kompasianer Bandung untuk ikut meramaikan CJ Project Khas Daerah. oya, kalo ada yang protes kok Copy Paste, yaaa suka-suka saya dong, toh ini tulisan saya pribadi hehehe... selamat membaca!!!

***

Mengulang masa-masa kuliah S1 jelas sesuatu yang tidak mungkin, tapi mengulang ke tempat-tempat semasa saya kuliah, itu sudah saya lakukan kemaren malam (2 oktober 2009). Berkuliah di Universitas Pendidikan Indonesia Jurusan Biologi (fakultas pendidikan MIPA) telah mengantarkan saya menjadi pegawai birokrasi di kota kelahiran saya, Cianjur. Segudang pengalaman semasa kuliah beserta segenap pernak-perniknya kini hanya menjadi bagian dari sebuah masa lalu yang dibingkai dalam frame kenangan, indah dan tidak indah. Semasa kuliah, saya tinggal di sebuah tempat kost didaerah gegerkalong girang Bandung, harga pertahunnya waktu itu Cuma satu juta hingga satu setengah juta rupiah saja. Dapat tempat kost yang dua juta keatas, pastilah akan mendapat fasilitas lengkap yang disediakan oleh sang empunya kost tersebut. Hanya berjarak sekitar 20 meter dari pondok pesantren terkenal Daarut-tauhiid pimpinan Abdullah Gymnastiar, tempat kost saya bisa dikatakan berada di pusat Gegerkalong girang. Dari sini saya bisa memantau kegiatan-kegiatan yang terjadi di pesantren tersebut. Apalagi saat itu (antara tahun 2000-2004) pondok pesantren tersebut sedang mengalami pertumbuhan yang pesat. Hampir dipastikan, jika memasuki malam jumat maka kegiatan di pesantren tersebut akan sangat ramai. Nuansa religious terasa kental karena adanya pengajian malam jumat. Jumlah jamaah yang datang pun membludak karena banyaknya jamaah yang berasal dari kota lain yang sengaja datang untuk mendengarkan ceramah dari seorang aa gym. [caption id="attachment_43134" align="alignleft" width="300" caption="mesjid daarut tauhiid (Foto:Dok.Pribadi)"][/caption] Tak pelak lagi, kemajuan pesantren ini turut membangun kemajuan ekonomi warga masyarakat sekitar. Tempat kost yang berada di kanan kiri pesantren tersebut mulai dimanfaatkan sebagai tempat penginapan, jumlah pedagang kian hari kian banyak, pun yang turut mengadu nasib dari kota lain untuk berjualan, agaknya mengalami peningkatan. Cukup, saya hanya memantau keadaan sosial ekonomi sekitar pesantren tersebut hingga tahun 2004, tahun dimana saya berhasil menyelesaikan empat tahun studi  saya. Dengan berat hati, saya pun kembali lagi ke tanah kelahiran saya untuk mengikuti seleksi CPNS, (setelah sebelumnya saya sempat bekerja di Kota Bogor) dan diterima. Lima tahun kemudian setelah sekian lama tak berkunjung ke Gegerkalong, akhirnya saya memperoleh kesempatan untuk kembali menapaki jalan Gegerkalong girang. Setelah mengikuti badminton bareng bersama teman-teman MBI (Masyarakat Bulutangkis Indonesia) unit Bandung, saya pun sengaja mengunjungi teman saya yang kini menempati tempat kost dimana saya kost waktu kuliah dulu. Tiba di kawasan jalan setiabudhi pukul 10 malam, saya sengaja berjalan kaki dari mulut jalan Gegerkalong hingga ke tempat kost lama saya untuk napak tilas (dengan jarak lebih kurang 1 km). [caption id="attachment_43135" align="alignright" width="300" caption="suasana sekitar gerlong (foto:Dok.Pribadi)"][/caption] “Pangling” hanya itu kata yang terlintas dikepala saya melihat banyak sekali perubahan di jalan tersebut. Beberapa yang tidak berubah adalah warung nasi 31, nasi kuning Ibu Ani, cencom internet rental, dan tentu saja tempat kost saya yang lama. Sisanya, bisa dipastikan semuanya adalah bangunan-bangunan baru juga tempat-tempat usaha baru di sepanjang jalan tersebut. Ramai? Keliatannya tambah ramai, Tapi entah dengan situasi pengajiannya setelah peristiwa “Aa Gym Nikah Lagi” yang menjadi sorotan publik selama beberapa waktu, Apakah mengurangi kuantitas pengunjung program wisata rohani dengan Aa Gym yang menjadi magnet daya tarik orang untuk mengunjungi Daarut tauhiid, ataukah tidak. Sekilas saya melihat dari luar, interior bangungan masjid daaruttauhiid yang adem (buat saya- ketika dulu sering ikut berjamaah magrib, isya, dan kadang2 subuh hehe) sudah mengalami perubahan yang menjadi lebih bagus. Pagar tangga menuju ke luar mesjid dibuat dengan desain minimalis. Ahh sayangnya saya tidak sempat masuk kedalam, karena jam sudah menunjukkan 10.15 malam. Treeeetttt, pikiran saya bernostalgia ke masa-masa dimana saya masih berbobot 48 kg sebagai anak kost. Kangen sekali dengan masa-masa itu. “FANTASTIS” itu kalimat kedua yang menguasai otak saya ketika teman saya menyebutkan range harga tempat kost dikawasan itu saat ini. “Antara 4-5 jutaan, itu yang standar”. Busyeettttt!!! apakabar dengan duit sejuta setengah waktu itu? Hehehe.... Ck ck ck, kemajuan jaman dan pertumbuhan ekonomi di sekitar pondok pesantren tersebut telah mengubah wajah Gegerkalong menjadi lebih elit, setidaknya demikian dalam sudut pandang saya tadi malam hehehehe.

***

Pagi hari ketika saya pulang lagi dari kawasan tersebut, saya menyempatkan mengunjungi warung nasi kuning langganan saya sarapan ketika masa kuliah dulu. Persis di belokan bersebrangan dengan pertigaan jalan gegerkalonggirang baru lokasi warung ini. Ibu Ani nama pemilik warung tersebut, tidak tampak diwarungnya, hanya anak gadisnya saja yang melayani pembeli. Saya tidak bertanya macam-macam pada anak itu, karena dulu ketika saya sering mampir kesana, anak itu masih kecil. SD kelas akhir mungkin, jadi dia tidak akan ingat bahwa saya adalah pelanggan setia warung ibunya. Tepat ketika saya menyelesaikan suapan terakhir, ibu Ani datang dengan masakan yang baru dia olah yang siap dia jual. Tidak ada yang istimewa hingga kami beradu tatap. “Cep.. aya didieu? (Cep, Ada disini?)” Sapaan hangatnya membuat saya terharu, betapa tidak waktu lima tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk sebuah perpisahan, dan Ibu Ani masih mengingat saya sebagai pelanggan setianya. (HS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun