Mohon tunggu...
Hadiri Abdurrazaq
Hadiri Abdurrazaq Mohon Tunggu... Editor - Editor dan penulis

Menjelajah dunia kata | Merangkai kalimat | Menemukan dan menyuguhkan mutiara makna

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Disrupsi Politik Demokrasi Indonesia

25 Desember 2020   05:29 Diperbarui: 25 Desember 2020   05:37 731
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Relasi pemimpin dan rakyat bisa diibaratkan energi positif dan arus negatif pada jaringan listrik. Masing-masing memiliki kekuatan dengan alur berlawanan, yang mesti dihubungkan dengan pola-pola sistematis hingga tercipta cahaya, gerak, irama, dan sebagainya. Pola hubungan antara keduanya mesti sahih. Jika tidak, alih-alih cahaya, justru bisa timbul petaka.

Demokrasi diharapkan menjadi pola hubung antara energi pemimpin dengan arus rakyat demi menciptakan cahaya kemakmuran, gerak kemajuan, dan irama keadilan serta orkestra kesejahteraan dalam harmoni kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itu, dibutuhkan mekanisme sistematis, teratur dan terukur---tak boleh rancu, amburadul dan tumpang-tindih.

Bahwa demokrasi secara umum berarti daulat rakyat---sesuai asal kata Yunani: demos berarti rakyat, dan kratos artinya kedaulatan---atau pemerintahan rakyat (goverment by the people). Maka diperlukan adanya formulasi kepemimpinan yang mengatur kekuasaan, menjalankan dan mengendalikan sistem demokrasi.

Demokrasi merupakan sistem dengan potensi ambiguitas laiknya pisau bermata dua. Sistem ini bisa menciptakan harmoni dan berpotensi pula menimbulkan anarki. Harmoni akan tercipta manakala elemen-elemen sistem di dalamnya terkoneksi dan berfungsi secara optimal, proporsional---tidak saling mereduksi.

Kepemimpinan demokratis hendaknya mampu membangun sinergisme secara konsisten, berimbang, terarah dan berkesinambungan. Kegagalan membangun sinergisme akan membuka peluang bagi munculnya anarki, dan bisa berujung pada terjadinya disrupsi terhadap demokrasi.

Indonesia kerap mengalami persoalan dalam membangun sinergisme. Sebagai negara majemuk dengan konstruksi masyarakatnya yang multientik, multirasial, multiagama, dan bahkan multiideologi, tantangan kompleks negara ini berkutat pada bagaimana menyinkronkan banyaknya kepentingan dari berbagai elemen dalam tubuh kebangsaan.

Sedari awal berdiri sebagai negara-bangsa (nation-state), masalah sinkronisasi seperti tak pernah benar-benar selesai. Persilangan ideologis kebangsaan masih "mengganjal." Tarik-menarik antara ideologi sekular versus ideologi islami terus berlangsung. Sosialisme dan kapitalisme tetap mengganduli perjalanan politik kebangsaan, salah satunya melalui gerakan populisme dan praktik politik uang.

Kehidupan multiagama diwarnai propaganda saling singgung, saling klaim akan kebenaran, dan saling unjuk kekuatan. Kebijakan pemerintah pusat sering kali berseberangan dengan keinginan daerah. Akibatnya, tuntutan untuk lepas dari negara kesatuan kerap bermunculan.

Kebijakan nasional tak jarang kontra dengan kebutuhan real masyarakat. Tiap-tiap rezim menjalankan visi, program, dan agendanya sendiri-sendiri, cenderung tanpa sinergi keberlanjutan. Apa yang dicapai oleh rezim sebelumnya diabaikan, bahkan tak jarang diambyarkan. Politik demokrasi hanya menjadi ajang arogansi antarkekuatan sosial.

Arogansi dan Konfrontasi

Jika kita menoleh ke belakang dan membaca sejarah perjalanan politik negeri ini, akan tampak bahwa pola kekuasaan didominasi oleh warna-warni arogansi. Ada setidaknya tiga warna arogansi dominan dalam pola kekuasaan Republik: arogansi ideologis, arogansi kapitalistis, dan arogansi sosialistis. Masing-masing dari tiga warna arogansi ini berkontribusi mencipta ketegangan serta menyulut api konfrontasi.

Arogansi ideologis mewarnai sejarah politik bangsa Indonesia sejak awal masa kemerdekaan. Islamisme, sekularisme, sosialisme dan komunisme berkembang serempak mengiringi dinamika dan dialektika sosial. Ideologi-ideologi ini dianut oleh aktivis-aktivis pergerakan dan menjadi amunisi penting dalam mewujudkan kerangka nasionalisme Indonesia.

Sejarah berkembangnya ideologi-ideologi tersebut bisa ditelusiri ke awal-awal masa pergerakan. Salah satu pelopor sekaligus guru politik dari banyak aktivis pergerakan yang bisa dikatakan menyemaikan warna-warni ideologi ialah Hadji Oemar Said (H.O.S.) Tjokroaminoto (1882-1934). Tokoh utama Sarekat Islam ini dikenal sebagai orang yang pertama kali menolak tunduk pada Belanda.

Soekarno, Sekarmadji Maridjan (S.M.) Kartosoewirjo, Semaoen, Alimin, Muso, dan Tan Malaka tercatat pernah berguru padanya. Mereka adalah aktivis-aktivis pergerakan yang mewarnai dinamika dan dialektika disertai "konflik-konflik" ideologis kebangsaan.

Sepeninggal H.O.S. Tjokroaminoto, murid-muridnya tersebut meneruskan dan mengembangkan pergerakan hingga kemudian terjadi persilangan ideologis di antara mereka. Semaoen, Alimin, Muso, dan Tan Malaka serong ke kiri. Mereka mengembangkan paham komunisme. Sementara S.M. Kartosoewirjo menyisih ke kanan untuk memperjuangkan paham islamisme. Dua ideologi ini kemudian saling berhadap-hadapan, dan secara politik saling menegasikan. Dalam praktik politik, masing-masing dari keduanya mempertontonkan arogansi ideologis.

Masalah Ideologisasi Pancasila

Soekarno "melahirkan" Pancasila, dan setelah melalui proses konseptualisasi bersama para founding fathers kemudian disahkan menjadi "dasar falsafah" (philosophische grondslag) bagi Indonesia Merdeka serta basis dari ideologi negara-bangsa. Pancasila "rumusan Soekarno," diakui atau tidak, merupakan sintesis antara "nasionalisme-islamisme, demokrasi, dan sosialisme-marxisme."

Secara teoritis, Pancasila ideal untuk menjadi bantalan tumpu bagi poros-poros ideologi yang tumbuh-beredar di tanah air. Namun dalam praksis kenegaraan-kebangsaan kerap timbul ketegangan dan bahkan tak jarang terjadi benturan (clash) bernuansa ideologis. Pada kenyataannya, ideologisasi Pancasila menuai kerentanan yang cenderung tak berkesudahan.

Pancasila sebagai dasar falsafah negara-bangsa boleh jadi ideal. Namun sebagai ideologi negara sedari awal serta dalam perjalananan hidup kebangsaan kerap timbul "sengketa." Multitafsir ideologis terhadap muatan Pancasila melahirkan persilangan aksi dan reaksi yang tak jarang saling menegasikan serta tak mudah untuk direkonsiliasikan.

Nasionalisme Pancasila versi islamis dan sekularis, misalnya, terus berada dalam persilangan. Penghapusan tujuh kata dari hasil konseptualisasi Pancasila yang melahirkan "Piagam Jakarta" ketika disahkan pada 18 Agustus 1945 masih tetap "mengganjal." Persilangan ini pula yang di antaranya membuat Sidang Majelis Konstituante (1959) "gagal" untuk menghasilkan konstitusi baru.

Preseden berikutnya, Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang menetapkan pembubaran Konstituante serta pemberlakuan lagi UUD 1945. Setelah itu politik praktis Indonesia "berada dalam kendali Soekarno." Ia lalu menerapkan apa yang disebut dengan "Demokrasi Terpimpin," mendesakkan peleburan paham nasionalisme, agama dan komunisme (NASAKOM). Sejak saat itulah politik demokrasi Indonesia mengalami disrupsi.

Demokrasi Terpimpin ala Soekarno tak lebih merupakan kamuflase konseptual dari autokrasi yang dipraktikkan. Pun Nasakomisasi Indonesia tak menciptakan persatuan, malah memperuncing pertentangan. Komunisme menyorongkan arogansi ideologisnya ke wajah Republik, "menantang" islamisme yang merasa "disisihkan." Arogansi dan konfrontasi tak terhindarkan.

Soekarno jatuh akibat dari arogansi komunisme. Suharto mengambil alih peran. Lagi-lagi demokrasi palsu (pseudo-demokrasi) dipraktikkan. Mengatasnamakan Pancasila, komunisme "dihabisi." Lalu dengan tangan dinginnya, ia bangun apa yang disebut dengan "Demokrasi Pancasila" serta mendesakkan konsep asas tunggal terhadap praksis politik Republik.

Pelan tapi pasti, praktik ideologisasi Pancasila menjelma menjadi momok politik dengan tafsir tunggal rezim. Hampir semua yang berlawanan dengan rezim atas nama Pancasila "dikucilkan." Walhasil, Demokrasi Pancasila ala Suharto alih-alih melahirkan oligarki serta menyuburkan paraktik-praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Lagi, arogansi dan konfrontasi  tak terbendung.

Suharto dipaksa berhenti. Kekuatan reformasi 1998 melengserkannya dari kursi Presiden. Menjelang pergantian abad menuju milenium ketiga, politik Indonesia memasuki masa peralihan menuju era yang disebut dengan "reformasi."

Era ini ditandai dengan euforia kebebasan. Dorongan untuk "kembali" ke jalur politik demokrasi (redemokratisasi) menguat. Keran politik multipartai dibuka, dan partai politik baru pun bermunculan. Pemilihan Umum (Pemilu) dipercepat. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pun diamandemen. Masa jabatan Presiden dibatasi, dan sejak 2004 dipilih langsung oleh rakyat.

Ada harapan baru terhadap politik demokrasi Indonesia. Lima Presiden telah memimpin Republik di era reformasi, dua di antaranya dihasilkan dari pemilihan langsung. Namun masalah laten korupsi, kolusi, dan nepotisme masih tampak melingkari politik kekuasaan. Kasus-kasus korupsi terus saja melumuri wajah Republik, bak antrian panjang yang melingkar-lingkar. Hampir tak ada instansi pemerintahan dalam tubuh negara ini yang steril dari perilaku koruptif.

Korupsi (seturut maknanya secara etimologis: corrupt = rusak) mengacaukan pola-pola hubungan politis dalam sistem demokrasi. Kekuasaan dan kerakyatan tak lagi dihubungkan dengan hikmat-kebijaksanaan, melainkan oleh dominasi kapital. Di sini ideologi kapitalisme menguat dan arogansi kapitalistis bermain.

Pada saat bersamaan, kolusi dan nepotisme bekerja mengacak-acak kedaulatan rakyat (demokrasi) dan kemudian disimpangkan ke jalur oligarki. Dengan sistem yang "dibuat" corrupt ini, jalan menuju terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia makin tampak jauh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun