Nasionalisme Pancasila di era ini mengalami reduksi sedemikian rupa. Asas-asas tentang Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan sosial disemukan oleh tafsir kekuasaan. Beberapa ideologi yang hidup dalam tubuh kebangsaan mengalami tekanan, "dipaksa" tiarap oleh kekuasaan.
Memasuki periode ketujuh, tanggul kekuasaan Orde Baru jebol. Dipicu adanya krisis moneter yang berkelindan dengan krisis ekonomi, lalu merebak menjadi krisis multidimensional, dan diikuti tuntutan reformasi yang menggelombang, memaksa Suharto lengser (21 Mei 1998).
Lepas dari Orde Baru, Indonesia memasuki babak baru: Orde Reformasi. Sudah lebih dua dasawarsa, sirkulasi kepemimpinan politik demokratis berjalan cukup lancar. Tiga Presiden memimpin di masa transisi: Bacharuddin Jusuf Habibie (1998-1999), Abdurrahman Wahid (1999-2001), dan Megawati Soekarnoputri (2001-2004).
Jika dilihat dari latar belakang ketiganya masing-masing seakan mewakili aliran ideologi kebangsaan yang bersilang. Habibie cenderung diafiliasikan ke ideologi Islam kanan, Wahid berasal dari dan dibesarkan oleh kultur Islam tradisonal, dan Megawati mewarisi "darah politik" Soekarno dengan haluan nasionalis-sekular.
Lalu dua Presiden lahir dari sistem politik pascareformasi, yakni Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) dan Joko Widodo (2014-saat ini). Keduanya dihasilkan melalui mekanisme pemilihan langsung, dan masing-masing "sukses" berkuasa selama dua periode. Namun persilangan ideologis di antara keduanya tak bisa ditutupi. Walhasil, kebijakan pembangunan mengait kebangsaan Indonesia tak berkelanjutan alias nihil kesinambungan. Entah, sampai kapan!?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H