Mohon tunggu...
Hadiri Abdurrazaq
Hadiri Abdurrazaq Mohon Tunggu... Editor - Editor dan penulis

Menjelajah dunia kata | Merangkai kalimat | Menemukan dan menyuguhkan mutiara makna

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ambiguitas Negara Pancasila

28 September 2020   20:36 Diperbarui: 29 Oktober 2020   00:12 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pancasila sebagai asas falsafah bangsa Indonesia lahir tidak dari ruang hampa, dan “tidak sekali jadi.” Proses lahirnya pun diwarnai kontraksi. Ada persilangan ideologis di antara para perumusnya, baik dilihat dari latar belakang pemikiran dan pengalaman maupun aktivitas dan sepak terjang masing-masing selama masa-masa pergerakan.

Perumusan dasar negara ini tak lepas dari Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai, yang lebih dikenal dengan sebutan BPUPK (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan) Indonesia. Dibentuk pada 29 April 1945 sebagai tindak lanjut dari pernyataan Perdana Menteri Jepang kala itu, Kuniaki Koiso, pada 7 September 1944, yang mengumumkan akan adanya kemerdekaan bagi Indonesia di masa datang.

Badan ini beranggotakan lebih dari 60-an orang, berasal dari berbagai unsur, yang secara umum dianggap merepresentasikan keragaman golongan sosial-politik pada masa itu. Mereka dilantik pada 28 Mei 1945, dan menyelesaikan tugasnya dalam dua kali masa sidang: pertama berlangsung dari 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945, dan kedua berlangsung dari 10 sampai dengan 16 Juli 1945.

Nama “Pancasila” mula-mula dikemukakan oleh Soekarno, pada hari terakhir masa sidang pertama, 1 Juni 1945, yakni ketika ia menyampaikan pidato usulan yang berpokok pada lima asas (untuk dijadikan sebagai) dasar negara, yaitu: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau peri-kemanusiaan, Mufakat atau demokrasi, Kesejahteraan sosial, dan Ketuhanan. Usulan ini disampaikan setelah tiga hari berturut-berturut anggota-anggota sidang mengemukakan pendapat-pendapat secara bergantian.

Soekarno juga sempat menyampaikan “teori perasan,” bahwa “Pancasila” bila diperas bisa menjadi “Trisila,” yaitu: Sosio-nasionalisme (mencakup Kebangsaan Indonesia dan Peri-kemanusiaan), Sosio-demokrasi (mencakup Demokrasi dan Kesejahteraan sosial), dan Ketuhanan. “Trisila” ini pun, menurut dia, bisa diperas lagi menjadi “Ekasila,” yakni Gotong Royong.

“Teori perasan” ala Soekarno ini sempat dimasukkan ke dalam bagian RUU HIP (Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila) sebagai ciri pokok dari Pancasila. Serta-merta, RUU ini menimbulkan reaksi dan memicu kontroversi serta penolakan dari berbagai elemen bangsa.

Betapapun Soekarno diakui sebagai pencetus nama “Pancasila.” Tetapi sebagai perumus, dia bukanlah satu-satunya. Ada Mohammad Hatta, KH. Wahid Hasyim, Mohammad Yamin, H. Agus Salim, Soepomo, dan puluhan tokoh bangsa lainnya dengan berbagai latar belakang serta pemikiran yang terlibat secara langsung dalam proses perumusan dasar negara ini.

Tak ada yang menyangsikan peran dan jasa besar Soekarno bagi bangsa ini. Dia adalah “Bung Besar” yang diakui sebagai salah satu “bapak utama” bangsa dan faktor utama pemersatu bangsa Indonesia. Dialah peletak “batu pertama” bagi berdirinya Indonesia merdeka, dan memproklamasikannya atas nama bangsa Indonesia bersama Bung Hatta pada 17 Agustus 1945.

Pancasila sebagai dasar negara adalah karya bersama, lahir dengan proses yang tidak sederhana, melalui dinamika dan dialektika perenungan, pertimbangan dan perdebatan serta konseptualisasi secara bersama-sama. Dicetuskan pada 1 Juni, dan dihasilkan formulasi kesepakatan 22 Juni dalam Piagam Jakarta hingga kemudian disahkan secara konstitusional pada 18 Agustus 1945.

Pada saat itu pula, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mensahkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai Konstitusi Negara serta memilih dan menetapkan Bung Karno dan Bung Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden pertama Republik Indonesia. Mereka diselu-elukan sebagai Dwitunggal. Rakyat pun menaruh harapan besar terhadap keduanya.

Sejak itulah Negara Pancasila resmi berdiri.

Pancasila dalam Praktik Bernegara

Bagaimana Pancasila dalam praktik bernegara? Jika kita cermati sejarah politik negara-bangsa ini dengan saksama, sejak Pancasila disahkan menjadi dasar negara Republik Indonesia hingga kini, ada semacam ambiguitas dalam praksis kehidupan berbangsa dan bernegara. Retorika negara dalam konteks Pancasila tak jarang berseberangan dengan realitas sosial-kebangsaan.

Sepuluh tahun pertama (1945-1955), Negara Pancasila ini dihadapkan dengan tantangan akan kemerdekaan serta masalah persatuan dan kesatuan nasional.

Negara-negara kolonialis Barat tak rela Indonesia merdeka. Belanda berupaya untuk kembali menguasasi negeri ini, membonceng Sekutu, melancarkan aksi militer, dan mengobok-obok Negara Kesatuan hingga sempat dipecah menjadi negara-negara serikat (federasi). Tantangan ini teratasi melalui Mosi Integral Natsir pada 1950.

Sementara pada sidang Kabinet Indonesia Serikat, 11 Februari 1950, Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika diresmikan pemakaiannya sebagai lambang negara. Meski demikian persilangan ideologis di kalangan para pemangku kepentingan negara terus meruncing. Situasi ini tentu menimbulkan masalah persatuan dan kesatuan nasional.

Ideologi-ideologi nasionalis, islamis, sosialis, komunis, masing-masing berebut pengaruh dan cenderung saling mendesakkan kepentingan untuk bisa menjadi pengendali negara. Pemilihan Umum (Pemilu) pertama 1955 diharapkan bisa menjadi pintu masuk bagi persatuan dan kesatuan nasional. Alih-alih hasilnya justru seakan mengukuhkan persilangan politik ideologis dalam tubuh negara.

Dalam konteks ini, Dwitunggal Soekarno-Hatta bisa dikatakan “tak berhasil”—untuk tidak menyebutnya gagal—menyinkronkan berbagai kepentingan yang “bermain” dalam tubuh negara. Bahkan di antara keduanya sering kali terlibat “pertengkaran politik,” dan berujung dengan berakhirnya sejarah Dwitunggal. Bung Hatta mundur dari jabatan Wakil Presiden pada 1956, dan “membiarkan” Bung Karno bertindak seturut kehendaknya.

Bung Hatta menulis dalam bukunya, Demokrasi Kita: Idealisme dan Realitas serta Unsur yang Mempekuatnya (Jakarta: Balai Pustaka, 2004): “Bagi saya yang lama bertengkar dengan Soekarno tentang bentuk dan susunan pemerintahan yang efisien, ada baiknya diberi fair chance dalam waktu yang layak kepada Presiden Soekarno untuk mengalami sendiri, apakah sistemnya itu akan menjadi suatu sukses atau suatu kegagalan.”

Negara Pancasila bisa dikatakan mengalami situasi ketidakpastian politik dalam jangka panjang. Pancasila diyakini ideal sebagai asas falsafah bangsa, dihasilkan melalui proses dialektika “mayor-minor.” Namun dalam praktik bernegara dan berbangsa selalu mengalami reduksi di tangan kekuasaan.

Soekarno menerapkan apa yang disebut dengan Demokrasi Terpimpin, setelah jengah melihat praktik demokrasi liberal yang free fight dan saling hantam antar kekuatan politik sehingga menimbulkan perpecahan nasional. Namun banyak kalangan melihat sistem ala Soekarno ini tak ada bedanya dengan kediktatoran.

Demokrasi Terpimpin sepenuhnya adalah kreasi Soekarno. Banyak yang tak setuju dengan caranya, tetapi lebih memilih “diam” dan membiarkan pencetus nama Pancasila ini berkreasi. Di tanganya, sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan... “direduksi” menjadi “...kebijaksanaan Soekarno.”(?)

Di sisi lain, ada yang mengambil kesempatan untuk membelokkan arah politik negara—yang secara filosofis diyakini cukup ideal ini—menyimpang dari haluan Pancasila. Walhasil, kekuasaan Soekarno berakhir dramatis.

Kendali Negara Pancasila beralih ke Soeharto, seorang tentara. Awalnya banyak yang menaruh harapan baru—masa kekuasaannya pun diberi nama Orde Baru. Namun, pemangku Supersemar (Surat Perintah 11 Maret) 1966 ini, perlahan dan pasti bertindak “menyempurnakan” kreasi politik pendahulunya.

Demokrasi Terpimpin di tangan Soekarno “disempurnakan” menjadi Demokrasi Pancasila di tangan Soeharto. Keseluruhan sila dari falsafah bangsa ini direduksi melalui tafsir kekuasaan sepihak. 30 tahun lebih gerbong Negara Pancasila ini ditarik lokomotif Orde Baru, dan berujung dengan krisis multidimensional 1998.

Presiden kedua Negara Pancasila, masinis Orde Baru ini pun dipaksa berhenti, lengser dari jabatannya. Lagi-lagi, negara-bangsa didera ketidakpastian politik.

Tuntutan reformasi menguat. Utak-atik sistem demokrasi lalu digalakkan demi memenuhi tuntutan reformasi. Konstitusi pun diamandemen. Undang-Undang Sistem Politik diperbarui, hingga kemudian Presiden pun dipilih secara langsung oleh rakyat—sebelumnya dipilih melalui Sidang Umum MPR.

Konon, kita menuju negara demokrasi. Harapan untuk Negara Pancasila yang berkeadilan dan berkemakmuran mulai menguat lagi.

Dua dasawarsa lebih, reformasi (katanya) bergulir. Lima kali Pemilihan Umum (Pemilu) pascareformasi telah dilaksanakan, termasuk di dalamnya empat kali Pemilihan Presiden (Pilpres). Lima Presiden berupaya “mengutak-atik” negara-bangsa dengan gaya dan caranya sendiri-sendiri.

Apakah negara sudah on the track berjalan di atas landasan falsafah Pancasila? Sementara persilangan ideologis masih terus tampak saling tarik-menarik ke kiri dan ke kanan. Pancasila sebagai basis ideologi negara lebih sering ditampilkan sebagai jargon, bahkan tak jarang dijadikan sebagai alat untuk menstigmatisasi lawan.

Di sudut kanan, khilafah ditampilkan sebagai “momok” demokrasi? Di sudut kiri, PKI dan komunisme “dibangkitkan” sebagai “genderuwo” Negara Pancasila?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun