Pancasila dalam Praktik Bernegara
Bagaimana Pancasila dalam praktik bernegara? Jika kita cermati sejarah politik negara-bangsa ini dengan saksama, sejak Pancasila disahkan menjadi dasar negara Republik Indonesia hingga kini, ada semacam ambiguitas dalam praksis kehidupan berbangsa dan bernegara. Retorika negara dalam konteks Pancasila tak jarang berseberangan dengan realitas sosial-kebangsaan.
Sepuluh tahun pertama (1945-1955), Negara Pancasila ini dihadapkan dengan tantangan akan kemerdekaan serta masalah persatuan dan kesatuan nasional.
Negara-negara kolonialis Barat tak rela Indonesia merdeka. Belanda berupaya untuk kembali menguasasi negeri ini, membonceng Sekutu, melancarkan aksi militer, dan mengobok-obok Negara Kesatuan hingga sempat dipecah menjadi negara-negara serikat (federasi). Tantangan ini teratasi melalui Mosi Integral Natsir pada 1950.
Sementara pada sidang Kabinet Indonesia Serikat, 11 Februari 1950, Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika diresmikan pemakaiannya sebagai lambang negara. Meski demikian persilangan ideologis di kalangan para pemangku kepentingan negara terus meruncing. Situasi ini tentu menimbulkan masalah persatuan dan kesatuan nasional.
Ideologi-ideologi nasionalis, islamis, sosialis, komunis, masing-masing berebut pengaruh dan cenderung saling mendesakkan kepentingan untuk bisa menjadi pengendali negara. Pemilihan Umum (Pemilu) pertama 1955 diharapkan bisa menjadi pintu masuk bagi persatuan dan kesatuan nasional. Alih-alih hasilnya justru seakan mengukuhkan persilangan politik ideologis dalam tubuh negara.
Dalam konteks ini, Dwitunggal Soekarno-Hatta bisa dikatakan “tak berhasil”—untuk tidak menyebutnya gagal—menyinkronkan berbagai kepentingan yang “bermain” dalam tubuh negara. Bahkan di antara keduanya sering kali terlibat “pertengkaran politik,” dan berujung dengan berakhirnya sejarah Dwitunggal. Bung Hatta mundur dari jabatan Wakil Presiden pada 1956, dan “membiarkan” Bung Karno bertindak seturut kehendaknya.
Bung Hatta menulis dalam bukunya, Demokrasi Kita: Idealisme dan Realitas serta Unsur yang Mempekuatnya (Jakarta: Balai Pustaka, 2004): “Bagi saya yang lama bertengkar dengan Soekarno tentang bentuk dan susunan pemerintahan yang efisien, ada baiknya diberi fair chance dalam waktu yang layak kepada Presiden Soekarno untuk mengalami sendiri, apakah sistemnya itu akan menjadi suatu sukses atau suatu kegagalan.”
Negara Pancasila bisa dikatakan mengalami situasi ketidakpastian politik dalam jangka panjang. Pancasila diyakini ideal sebagai asas falsafah bangsa, dihasilkan melalui proses dialektika “mayor-minor.” Namun dalam praktik bernegara dan berbangsa selalu mengalami reduksi di tangan kekuasaan.
Soekarno menerapkan apa yang disebut dengan Demokrasi Terpimpin, setelah jengah melihat praktik demokrasi liberal yang free fight dan saling hantam antar kekuatan politik sehingga menimbulkan perpecahan nasional. Namun banyak kalangan melihat sistem ala Soekarno ini tak ada bedanya dengan kediktatoran.
Demokrasi Terpimpin sepenuhnya adalah kreasi Soekarno. Banyak yang tak setuju dengan caranya, tetapi lebih memilih “diam” dan membiarkan pencetus nama Pancasila ini berkreasi. Di tanganya, sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan... “direduksi” menjadi “...kebijaksanaan Soekarno.”(?)