Tak dimungkiri kekuatan "magis" paling fenomenal bagi bangsa Indonesia ialah gagasan persatuan dan kesatuan. Gagasan ini mulai dirapalkan pada awal abad ke-20, ditandai dengan berdirinya beberapa organisasi pergerakan, di antaranya Sarekat Dagang Islam (SDI) pada 1905---yang setahun kemudian berubah nama menjadi Sarekat Islam (SI)---dan Boedi Oetomo pada 1908.
Lalu tonggak kekuatan "magitasi" itu ditancapkan di bumi Nusantara ini melalui Sumpah Pemuda 1928. Peristiwa ini diakui menginspirasi gerakan para pemuda Nusantara kala itu untuk mewujudkan Satu Indonesia.
Perjalanan berikutnya, para pendiri (the founding fathers) bangsa ini memilih konsep Negara Kesatuan (NKRI) sebagai sistem yang mewadahi seluruh rakyat dan tumpah darah serta wilayah (teritori) Indonesia.
Konstruksi Indonesia sebagai sebuah bangsa bertolak dari kenyataan majemuk; yakni terdiri atas berbagai suku, ras, warna kulit, keyakinan, dan bahasa. Maka dalam rangka propaganda untuk kesatuan, dimunculkanlah jargon: "Bhinneka Tunggal Ika," artinya beraneka-ragam, tetapi tetap satu. Jika dibalik untuk maksud yang sama jargon ini seiring dengan ungkapan "unity in diversity" atau satu dalam keragaman.
Kerangka Satu Indonesia ini secara konseptual dijadikan sebagai salah satu dasar konstruksi Nasionalisme Indonesia, tecermin dalam sila ketiga Pancasila: "Persatuan Indonesia."
Konsep NKRI dipandang paling cocok dan sering dinyatakan telah final untuk Indonesia, tertuang dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Pasal 1, ayat (1): "Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk Republik." Salah satu pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 adalah bahwa: "Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia."
Konsep yang dinyatakan melalui UUD 1945 ini merupakan puncak perjuangan bagi "Nasionalisme Indonesia" untuk konstruksi sebuah negara-bangsa (nation-state). Maka bisa dikatakan bahwa Nasionalisme NKRI adalah produk sejarah; dilahirkan oleh situasi dan kondisi kesejarahan yang spesifik. Tanpa apresiasi kesejarahan, nasionalisme adalah kemustahilan.
Memori Sejarah Bersama
Jika embrio nasionalisme kita terbentuk dari "pengalaman sejarah bersama," maka bisa ditarik ke belakang, yakni merujuk pada memori tentang pahit getir kehidupan bangsa ini ketika berada dalam kuasa kolonialisme. Dari pengalaman serba buruk itu lahirlah "tekad dan kehendak untuk hidup bersatu" dalam suatu komunitas baru yang dibayangkan: cita-cita kedaulatan yang berwujud "negara-bangsa" (nation-state). Artinya bahwa kondisi-kondisi historis pada masa itu mendorong pergerakan bangsa melahirkan gagasan nasionalisme.
Konsep "negara-bangsa" dan "Nasionalisme Indonesia" merupakan racikan kreatif dari berbagai sumber eksternal maupun lokal. Di antara rujukannya ialah nasionalisme yang berasal dari peradaban Eropa masa pencerahan (abad ke-18); yakni ketika rezim-rezim patrimonial mengalami pembusukan dari dalam, dan digantikan oleh sistem kekuasaan publik yang lebih egalitarian.
Situasi seperti tersebut dalam perkembangan selanjutnya juga menjalar ke negeri-negeri jajahan, tak terkecuali ke tanah Nusantara ini, dan menjadi salah satu pemicu berkembangnya gerakan antikolonial.
Rujukan lainnya berasal dari gerakan kaum Pan-Islamisme yang berkembang di wilayah Timur Tengah sekitar abad ke-19 serta falsafah-falsafah kebangsaan yang berkembang di negeri-negeri Timur seperti India dan Tiongkok.
Rujukan dari berbagai sumber seperti tersebut berelaborasi dengan kekuatan perubahan yang berkembang pada masyarakat Nusantara. Berbagai falsafah dan pengalaman bangsa-bangsa lain tak luput menginjeksi gagasan-gagasan kebangsaan bagi lahirnya Nasionalisme NKRI.
Pada mulanya, gagasan kebangsaan Indonesia merupakan suatu entitas yang abstrak. Di masa itu hanya dikenal adanya "negara kolonial" (colonial state) Hindia Belanda, merupakan hasil konstruksi para sarjana Eropa yang diterapkan oleh penguasa kolonial di negeri jajahan.
Kolonialisme sebagai suatu sistem menjalankan mekanisme kuasa asing atas sebuah negeri dan rakyat jajahan untuk melanggengkan kekuasaan. Beberapa ciri pokok sistem ini ialah berwatak ekspansif, opresif, represif, diskriminatif, dan eksploitatif. Nusantara di masa itu adalah negeri jajahan, mangsa dan objek ekspansi, opresi, represi, diskriminasi, dan eksploitasi negara-negara kolonialis.
Kekuasaan berwatak kolonialis inilah yang dihadapi para pejuang Nusantara ketika meracik nasionalisme bagi negara-bangsa Indonesia. Bersamaan dengan itu, tak kalah pelik dan melelahkan ketika mereka juga harus berurusan dengan kondisi rakyat jajahan yang beraneka ragam, terpecah-pecah dalam sentimen lokal yang kuat, beririsan dengan sistem feodalisme yang bercokol di kalangan penguasa pribumi. Sementara kebanyakan rakyat mengidap semacam penyakit inferiority (rasa rendah diri).
Meski demikian, "atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa" serta didorong oleh keingingan luhur, "supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas," bangsa ini merdeka. Satu tahapan amat penting dari kerangka nasionalisme Indonesia itu berhasil dipancangkan.
Nasionalisme dalam Dinamika
Keberhasilan merdeka tak lepas dari peran juang kaum protagonis pergerakan nasional. Mereka adalah para pendiri negara-bangsa ini, berasal dari berbagai latar belakang ideologi dan keyakinan politik. Mereka hadir dan maju ke depan, mengupayakan persatuan dan kesatuan, untuk membangun jiwa nasionalisme bangsa Indonesia.
"Kehendak untuk hidup bersatu" adalah kalimat kunci nasionalisme Indonesia. Untuk itu, perlu dikembangkan sikap dan keyakinan altruistik pada segenap elemen bangsa. Pandangan hidup altruisme selalu mendahulukan kepentingan bersama di atas kepentingan diri sendiri dan golongan.
Jika Nasionalisme NKRI dipicu semangat antikolonialisme-imperialisme, maka jiwanya mesti digerakkan dengan semangat kebersamaan. Semangat ini telah diupayakan oleh banyak tokoh bangsa seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, Natsir, dan tokoh-tokoh lainnya. Upaya-upaya itu pada masanya menciptakan dinamika kebangsaan yang sulit ditemukan padanannya dalam khazanah bangsa-bangsa lain.
Dinamika kebangsaan dalam bingkai nasionalisme tampil ke permukaan sejak masa-masa pergerakan hingga era (pasca) kemerdekaan, dan hingga kini roh dari dinamika itu terus mengalir. Betapapun terjadi banyak silang pendapat di antara mereka, masing-masing telah mengajari kita dinamika hidup berbangsa dan bernegara.
Proklamasi 17 Agustus 1945, Pancasila dan UUD 1945 adalah produk ijtihad dari dinamika kebangsaan di era pergerakan. Demokrasi Parlementer, "Demokrasi Terpimpin" ala Soekarno, dan "Demokrasi Pancasila" ala Soeharto merupakan produk dari dinamika kebangsaan di era (pasca) kemerdekaan. Kini, dinamika kebangsaan itu dihadapkan pada tantangan zaman yang terus bergerak.
Sejauh mana kita bisa menangkap dan menjiwai nasionalisme yang diwariskan para pendiri bangsa ini akan menentukan warna dari dinamika kebangsaan kita ke depan. Dirgahayu 75 Tahun Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H