Jika kita cermati kronik-kronik politik sejak era kemerdekaan dengan konsensus bernegara di atas dasar Pancasila, persoalan-persoalan terkait Islam dan umat Muslim selalu mewarnai riak tanah air. Pengarusutamaan Islam seakan tak henti menghadapi ganjalan di pelbagai bidang. Karena itu, tak sedikit dari kalangan Muslim yang "merasai" adanya upaya deislamisasi pada negara ini.
"Perasaan" seperti tersebut bukan tanpa stimulasi. Berbagai preseden terkait Islam dan umat Muslim dalam ruang kehidupan berbangsa dan bernegara kerap dihadapkan dengan apologi-apologi misterius; "janggal" dan "mengganjal."
Salah satu contoh preseden dimaksud ialah "pengubahan kata/kalimat kunci" terkait rumusan asas negara dan UUD Negara Republik Indonesia, yang telah disepakati bersama, pada detik-detik akhir dalam situasi krusial.Â
Penggantian kata "Mukadimah" serta tujuh kata yang menyertai asas Ketuhanan maupun pencoretan anak kalimat "...dan beragama Islam" dalam ketentuan mengenai Presiden---sebagaimana diuraikan di atas---merupakan preseden janggal dan mengganjal bagi (sebagian) umat Muslim.
Pernyataan---yang dimuat dalam Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959---bahwa "Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi" seakan "hanya" menjadi pelipur atas kekecewaan (sebagian) umat Muslim. Pada kenyataannya, ruang bagi syariat Islam dalam praktik bernegara tak sebagaimana layaknya jiwa dalam konstitusi negara (?).
Dan tak hanya itu, preseden-preseden lain menyangkut Islam dan umat Muslim seperti susul-menyusul terjadi dan "dirasai" di setiap era kepemimpinan negara. Konten-konten kenegaraan seperti disterilkan dari unsur-unsur syariat Islam.
Betul bahwa sedari awal negara ini tidak didesain sebagai Negara Islam. Tetapi tidak juga sekular sehingga menyampingkan nilai-nilai keagamaan.Â
Tokoh-tokoh pendiri bangsa dan negara ini---khususnya dari kalangan Muslim---sadar betul akan kewajiban menjalankan syariat agama, namun mereka pun memahami realitas kemajemukan bangsa. Karena itu, mereka tidak menolak rumusan Pancasila yang semula diusulkan Soekarno, lalu diperdebatkan untuk direvisi, kemudian disepakati dan disahkan---meskipun diwarnai sedikit preseden, yakni beberapa perubahan yang bagi (sebagian) umat Muslim dirasai janggal.
Uraian tersebut boleh dimaknai beropini "tuntutan" dan/atau "pembelaan" atau setidaknya mempertanyakan. Maka tak menutup ruang untuk disangkal dalam kerangka dialog, dialektika, dan dinamika berbangsa. Mengingat bahwa hubungan Islam sebagai institusi agama dan Indonesia sebagai institusi negara pada kenyataannya kerap mengalami pasang surut, kadang juga menegangkan.
Konsistensi Bernegara
Konsiderans bagi susunan Negara Republik Indonesia ialah kemerdekaan dan antipenjajahan, diwujudkan dengan perjuangan dan pergerakan demi tegaknya kehidupan kebangsaan yang bebas dan berkedaulatan rakyat. Inilah spirit (jiwa inti) dari kebangsaan yang dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945.