Mohon tunggu...
Hadi Pramono
Hadi Pramono Mohon Tunggu... Perawat - Perawat

Merawat jiwa-jiwa yang sepi

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Gangguan Jiwa dan Covid-19

3 Agustus 2021   12:05 Diperbarui: 3 Agustus 2021   12:10 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama masa pandemi ini seringkali saya mendapat pertanyaan "Mas, emang ada pasien mu (RSJ Grhasia) kena Covid?". Pertanyaan ini barangkali dilatarbelakangi dari adanya anggapan bahwa Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) kebal terhadap virus COVID-19. Bahkan komedian mongol sempat melanggengkan opini ini dalam podcast bersama Deddy Corbuzier dengan judul "Kenapa Orang Gila Kebal COVID? Mongol Is Here", meskipun belakangan kedua orang tersebut melakukan klarifikasi dan mengakui kekhilafannya. Tidak mengherankan melihat polah publik figur kita sekarang, yang penting viral duluan, minta maaf kemudian.

Sebelum melanjutkan tulisan, saya akan mencoba menjelaskan apa itu ODGJ. Penggunaan istilah ODGJ dilakuakan untuk menghindari stigmatisasi penderita gangguan jiwa di Indonesia. Menurut undang-undang No. 18 Tahun 2014 tentang kesehatan jiwa, ODGJ adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku dan perasaaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala/perubahan perilaku yang bermakna serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsinya sebagai manusia. 

Anggapan publik yang sudah saya paparkan di paragraf pertama jelas salah besar. Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) dr. Diah Setia Utami, SpKJ mengatakan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) memiliki risiko tinggi untuk terinfeksi COVID-19 dan kemudian menularkannya kepada orang sekitar. Resiko kematian ODGJ juga meningkat dua kali lipat dibandingkan kelompok masyarakat lain. Berdasarkan data lapangan yang terhimpun dari Asosiasi Rumah Sakit Jiwa dan Ketergantungan Obat Indonesia (ARSAWAKOI), sebanyak 18 RSJ telah menyediakan 1.383 tempat tidur di ruang isolasi dan 95 tempat tidur di ruang ICU. ODGJ yang terpapar COVID-19 di tahun 2020 telah menyentuh angka 1.105 jiwa dan pada tahun 2021 jumlahnya sudah mencapai 829 jiwa.

Di RSJ Grhasia sendiri, saat ini kapasitas untuk pasien COVID-19 berjumlah 18 tempat tidur. Relatif sedikit memang, terus kalo Grhasia penuh, mau di bawa ke mana pasiennya??. Jadi jumlah ini akan terus dievaluasi dan mungkin akan ditambah jika kebutuhannya terus meningkat. Mengingat RSJ Grhasia merupakan satu-satunya rumah sakit yang merawat pasien COVID-19 dengan penyakit penyerta gangguan jiwa.

Penelitian yang dilakukan oleh dokter Wonjun Ji dkk, orang dengan gangguan jiwa mengalami peningkatan risiko infeksi COVID-19 yang parah. Penelitian lain yang dilakukan dokter Seung Won Lee juga menyebutkan orang dengan gangguan jiwa berat memiliki risiko lebih tinggi untuk hasil klinis COVID-19 yang parah dibandingkan pasien tanpa riwayat gangguan jiwa. Saya sengaja mengutip dua penelitian yang dilakukan oleh opa-opa korea untuk tulisan perdana saya di  kompasiana ini agar lebih banyak pembacanya mengingat "pandemi" drakor dan k-pop di Indonesia belum juga berakhir.

Hao Yao, seorang peneliti psikiatri dan kesehatan masyarakat dalam artikelnya menjelaskan bahwa orang dengan gangguan jiwa lebih rentan terhadap penularan COVID-19 karena sejumlah faktor seperti gangguan kognitif dan kesadaran yang lebih rendah akan risiko COVID-19. Orang dengan gangguan jiwa lebih sulit untuk mematuhi protokol kesehatan pencegahan COVID-19 (misalnya, mencuci tangan, menjaga jarak, memakai masker).

ODGJ yang mengalami COVID-19 juga memiliki risiko kondisi yang lebih parah, hal ini disebabkan karena berbagai faktor. Faktor pertama adalah kebiasaan merokok yang meningkatkan risiko perkembangan penyakit dan komplikasi parah hingga kematian pada penyakit COVID-19, melalui pengaruhnya terhadap kesehatan paru-paru dan kekebalan tubuh. Faktor kedua adalah bahwa kematian akibat COVID-19 meningkat pada orang dengan kondisi komorbiditas, khususnya penyakit kardiovaskular, diabetes, dan penyakit pernapasan kronis, yang semuanya lebih sering terjadi pada ODGJ. Faktor ketiga adalah obat antipsikotik yang biasa diresepkan pada ODGJ, terutama clozapine, meningkatkan risiko kematian akibat pneumonia karena efek samping yang ditimbulkan seperti gangguan menelan, sedasi (mengantuk), dan hipersalivasi (produksi air liur yang berlebihan). Faktor keempat adalah ODGJ mengalami perbedaan substansial dalam akses ke perawatan kesehatan karena masih kuatnya stigmatisasi dan diskriminasi.

Dari penjelasan saya yang mbulet-mbulet tersebut, mudah-mudahan bisa bermanfaat mengurangi stigma pada ODGJ, serta meluruskan opini tentang ODGJ yang kebal COVID-19. Jadi, saudara kita yang mengalami ODGJ itu mempunyai risiko yang lebih besar untuk terpapar COVID-19, dan ketika sudah terpapar, mereka akan berisiko mengalami kondisi yang lebih buruk. 

Salam hangat dari perawat IGD RSJ Grhasia

Jangan lupa bahagia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun