"Itu adalah yang terakhir," kata Johnsy. "Aku yakin daun itu akan jatuh semalam. Aku mendengar angin berhembus kencang. Daunnya akan jatuh hari ini dan aku akan mati pada saat bersamaan."
"Sayang, sayang!" kata Sue, menyandarkan wajahnya yang lelah menghadap tempat tidur. "Pikirkan aku, kalau kamu tidak mau memikirkan tentang dirimu. Apa yang harus aku lakukan?"
Namun Johnsy tidak menjawab.
 Pagi berikutnya, ketika mulai terang. Johnsy meminta agar tirai jendela dinaikan. Daun itu masih di sana. Johnsy berbaring cukup lama, memperhatikan daun itu. Dan kemudian dia memanggil Sue, yang sedang menyiapkan sup ayam.
"Aku telah menjadi gadis yang bodoh selama ini," kata Johnsy. "Ada yang  telah membuat daun terakhir itu tetap di sana untuk menunjukkan betapa bodohnya aku. Ingin mati adalah suatu kesalahan. Kamu boleh bawakan aku sup sekarang."
Satu jam kemudian dia berkata: "suatu hari aku berharap bisa melukis Teluk Napoli."
Kemudian di hari yang sama, dokter itu datang dan Sue berbicara padanya di ruangan masuk.
"Bahkan takdir buruk sekalipun ," kata dokter. "Dengan perhatian yang baik, kamu akan menang. Dan sekarang aku harus melihat kasus yang sama di apartemen ini. Behrman, namanya-- sepertinya juga seorang seniman. Â Juga mengidap Pneumonia. Dia sudah tua, lemah dan keadaannya lebih parah. Tidak ada harapan untuk dia; tapi dia pergi ke rumah sakit hari ini untuk mengobati sakitnya."
Hari berikutnya, Â dokter berkata pada Sue: "dia sudah keluar dari bahaya. Kamu menang. Nutrisi dan perhatian-- itu saja."
Siangnya , Sue mendekati tempat tidur dimana Johnsy berbaring, dan mengalungkan satu lengannya ke leher Johnsy.
Dan lihatlah keluar jendela, sayang, pada daun tanaman itu yang melekat di dinding. Tidakkah kamu heran kenapa daun itu tidak pernah bergerak ketika angin bertiup? Ah, Â sayang, itu adalah karya besar Behrman-- dia melukisnya di sana pada malam ketika daun terakhir itu jatuh."