Profesor Rhenald Kasali dalam satu twit-nya mengatakan (kurang lebih) : 'Presiden yang tidak berani menaikan harga BBM karena ingin menyenangkan rakyatnya sebenarnya sedang membohongi rakyatnya karena dia berkolusi dengan para importir minyak.' Hampir semua pakar ekonomi berpendapat serupa dengan Rhenald Kasali bahwa kenaikan harga BBM adalah sesuatu yang baik. Namun ternyata ada prefesor dan ekonom yang berbeda pendapat, yaitu Kwik Kian Gie. Penulis mengenal Kwik dari jaman orde baru melalui analisanya di harian Kompas seminggu sekali.
Dalam wawancara di Radio Elshinta beberapa hari yang lalu penulis baru tahu bahwa Megawati pernah meminta Kwik untuk memberi masukan pada fraksi PDI-P ketika akan mengahadapi sidang paripurna yang membahas kenaikan harga BBM pada tahun 2013 yang lalu. Ternyata menurut analisa Kwik sebenarnya tidak ada alasan bagi pemerintah untuk menaikan harga BBM. Dia punya hitung-hitungan yang berbeda dari sebagian besar pakar ekonomi. Hitung-hitungan itulah yang selalu dibawa oleh si Oneng (Rieke) jika debat di TV menantang pemerintah menaikan harga BBM. Rieke membawa catatan-catatan yang merupakan masukan dari Kwik. Isi hitung-hitungan itu adalah soal lifting, refinary dan transport. Intinya subsidi itu sebenarnya tidak ada.
Sekarang PDI-P yang jelas-jelas pernah menolak harga BBM berbalik 180 derajat. Jokowi, Megawati, Puan, Rieke dan hampir semua fungsionaris PDI-P sepakat untuk menaikan harga BBM segera. Mereka sudah tidak memakai kalkulasi dan hitung-hitungan dari Kwik, padahal dulu mereka 'ngeyel' bahwa tidak ada alasan untuk menaikan harga BBM. Dalam penolakannya PDI-P juga overacting. Tidak puas di parlemen dengan walkout mereka juga memobilisasi para kadernya untuk 'menyerbu' istana, juga beberapa kepala daerah dari PDI-P ikut-ikutan cari muka dengan menolak kenaikan harga BBM.
Kalau kita berpikiran jernih seharusnya baik pemerintah atau oposisi jangan menggunakan isu-isu BBM untuk mendaptakan pujian dari rakyat. Sekarang jangan salahkan rakyat kalau menganggap PDIP adalah pengkhianat karena PDIP menjadi partai no 1 karena melontarkan isu-isu penolakan kenaikan BBM saat itu. Kembali ke judul di atas, apakah Megawati diperdayai oleh Kwik, sehingga sekarang berpindah haluan? Ternyata dalam wawancara di Radio Elshinta tadi Kwik tetap keukeh dengan hitung-hitungan lifting, refinery dan transport. Dan dia menyayangkan mengapa waktu itu fraksi PDIP walkout, bukannya menjelaskan hitung-hitungan itu di parlemen. Sepertinya Kwik kecewa dengan PDIP.
Sebenarnya jika politisi berbeda pendapat tentang suatu isu itu adalah hal biasa karena tidak ada kebenaran yang hakiki dalam politik, yang ada adalah kepentingan. Namun jika ada dua pakar ekonomi, praktisi dan profesor dengan latar belakang akademik yang mumpuni mempunyai pendapat yang sangat bertolak belakang, publik atau masyarakt awam jadi bertanya-tanya, apakah kini semua ekonom sudah menjadi politisi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H