Filipina, yang sering mengalami gempa dan letusan gunung berapi, telah mulai mengimplementasikan beberapa teknologi Jepang, termasuk sistem peredam massa yang disematkan pada struktur bangunan tinggi mereka, untuk meningkatkan ketahanan terhadap guncangan magnetik.
Penerapan teknologi tersebut di Jakarta kini juga menjadi perhatian serius. Pemerintah bersama pakar sipil telah mulai merancang regulasi baru terkait dengan bangunan tinggi yang mengadopsi teknologi peredam massa, sebagai upaya untuk meningkatkan kesiapsiagaan kota dalam menghadapi gempa besar di masa depan. Melihat keberhasilan Tokyo, adaptasi teknologi peredam menjadi solusinya.
Di kota-kota seperti Tokyo, pemerintah Jepang dan asosiasi sipil telah mempromosikan adanya pengecekan berkala dan sertifikasi bangunan tahan gempa dengan skala yang sangat ketat.
Menurut Prof. Kenichi Suga, insinyur struktur terkenal dari Universitas Kyoto, pendidikan dan pelatihan teknis di lapangan sangat penting untuk menjamin bahwa setiap aspek dari konstruksi diimplementasikan dengan benar.
Untuk dapat meniru kesuksesan Tokyo, pelatihan khusus bagi para tenaga kerja konstruksi dan arsitek juga mulai dirancang di Indonesia. Beberapa universitas di Indonesia, termasuk ITB dan Universitas Indonesia (UI), telah bekerja sama dengan lembaga pendidikan di Jepang untuk menyediakan program pertukaran pengetahuan dan pelatihan.
Di tingkat lokal, banyak tantangan yang harus diatasi dalam adaptasi teknologi tahan gempa ini. Sama halnya dengan Jepang, wilayah-wilayah pesisir di Indonesia terancam oleh risiko likuifaksi, di mana tanah berubah menjadi cair akibat gempa. Peristiwa tragis seperti di Palu pada 2018, mengingatkan para arsitek dan insinyur akan pentingnya memperhitungkan risiko ini dalam desain bangunan.
Desain berbasis risiko, yang dipromosikan di Jepang sebagai pendekatan baru dalam arsitektur tahan gempa, kini banyak diadopsi oleh negara lain. Prof. Rika Sugiyama dari Universitas Nihon mengatakan bahwa mengintegrasikan analisis risiko merupakan langkah penting agar teknologi yang diadaptasi tidak hanya relevan dengan kondisi lokal, tetapi juga ekonomis dan efisien.
Sebelumnya, teknologi tahan gempa di banyak negara Asia didasarkan pada standar internasional yang belum sepenuhnya disesuaikan dengan kondisi lokal. Inovasi baru ini, yang dikenal sebagai "seismic microzonation," memungkinkan perencanaan kota yang lebih terstruktur dengan memetakan setiap area yang memiliki risiko berbeda untuk mitigasi gempa.
Indonesia tengah bergerak maju dengan adopsi "seismic microzonation" ini, terutama di wilayah padat penduduk seperti Jakarta. Penelitian yang dilakukan oleh LIPI dan BMKG bekerja sama dengan lembaga internasional dirancang untuk membuat peta mikrozonasi yang detail sehingga pembangunan kota bisa lebih terarah dan aman.
Keberhasilan Jepang dalam membangun struktur yang tahan terhadap gempa sebagian besar didukung oleh budaya disiplin dan penegakan aturan yang ketat. Tidak cukup hanya dengan membangun struktur yang kokoh, tetapi juga edukasi publik tentang pentingnya kesiapsiagaan gempa.
Di Indonesia, konsep kesiapsiagaan ini sudah mulai diterapkan, meskipun jalannya tidaklah mudah. Bangunan-bangunan publik sekarang lebih diprioritaskan untuk memiliki fasilitas pengecekan berkala dan tata cara evakuasi. Jepang kerap mengadakan simulasi gempa skala besar yang melibatkan seluruh elemen masyarakat sebagai contoh yang perlu ditiru.