Baru saja bus ini melaju dari pangkalan bus di daerah Ciputat Tangerang Selatan menuju ke Brebes. Arloji di tanganku menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Aku memang biasa naik bus setiap pulang kampung. Bagiku, naik bus cukup praktis, kita tinggal beli tiket, duduk manis, dan sampailah di tujuan. Ongkosnya pun tidak terlalu mahal.
Aku sengaja pulang ke Brebes sendirian. Niatku utamaku adalah untuk mengujungi ayah dan ibuku. Sudah cukup lama aku tidak mengunjungi mereka. Terakhir setahunan yang lalu sebelum pandemi Covid-19 melanda negeri ini. Dalam tiga hari ke depan aku akan menikmati suasana kampung, mengenang kembali masa-masa kecil dulu.
Aku duduk di deretan dua kursi di samping kaca jendela di bagian tengah bus. Kebetulan kursi di sampingku kosong. Pada hari-hari biasa seperti ini, bukan hari libur atau hari raya, memang biasanya bus tidak penuh. Penumpang hanya berjumlah setengah dari kapasitas bus. Sekalipun demikian, sopir dan kondektur tetap melayani penumpang dengan baik.
Bus memasuki jalan tol dalam kota yang padat. Jalan raya di kanan-kiri jalan tol juga padat. Ribuan kendaraan seperti semut. Memang demikianlah Jakarta. Ibu kota yang tidak pernah sepi. Aktivitas warganya tidak pernah berhenti.
Memasuki jalan tol Jakarta-Cikampek jalanan tidak begitu padat. Tidak seperti di Jakarta tadi. Rasa kantuk mulai menghinggapiku. Embusan AC makin menguatkan kantuk. Kusandarkan kepalaku di kursi. Mataku mulai berat untuk terus kubuka.
Dalam kantukku, aku melihat di samping kananku. Samar-samar, tetapi cukup jelas. Ayahku. Ya, ayahku. Kucoba untuk membuka mata. Berat memang, karena kantuk yang luar biasa. Tetapi, kupaksakan untuk membuka mata. Kuusap-usap mataku. Aku yakinkan, barangkali aku salah lihat.
Betapa terkejutnya aku. Yang kulihat di samping kananku adalah jelas ayahku. Beliau duduk dengan tenangnya. Melihat ke arahku. Kulihat wajahnya begitu cerah. Senyumnya mengambang kepadaku. Namun, ayahku tidak berkata apa-apa. Beliau memperhatikanku dengan teduhnya. Kurasakan betul keteduhan. Kurasakan kasih sayang dalam keteduhan itu.
Ayahku mengenakan kopiah berwana putih dan kemeja koko juga berwarna putih. Celana yang dikenakannya pun berwarna putih. Kuperhatikan kopiah, kemeja koko, dan celananya bercahaya. Entah, mungkin karena pantulan sinar matahari dari luar bus atau karena yang lain. Tetapi, aku betul-betul menyaksikan sendiri bahwa semua itu bercahaya. Kulihat ke bagian kaki, sandal berwarna putih yang dikenakan ayahku juga bercahaya. Lalu, kuarahkan pandanganku ke wajah ayahku. Wajah ayahku juga ikut bercahaya. Aku merasakan keanehan.
Aku mencoba menyapa ayahku. Pelan-pelan dan berhati-hati. Aku ingin mengajaknya berbincang. Aku sungguh kangen, ingin kembali berbincang dengan ayahku. Aku ingin bercengkerama lagi dengannya. Sudah lama sekali aku tidak berbincang dan bercengkerama dengannya. Inilah kesempatan emas bagiku untuk mengulang masa-masa indah sebagaimana dulu.
"Pak," sapaku.
Ayahku tidak menjawab sapaanku. Beliau hanya terus memperhatikanku. Senyumnya terus mengambang untukku.