Mohon tunggu...
Hadi Saputra
Hadi Saputra Mohon Tunggu... -

Pekerja di Perusahaan swasta minyak goreng, hobi baca dan makan. Masih ngerasa muda,punya favoritisme pada jenis makanan tertentu seperti LAPO, membaca banyak bacaan yang kadang menimbulkan perasaan tidak menentu, asalnya dari Cirebon.\r\nMerasa hidup seharusnya bisa lebih baik jika orang-orang bisa mau saling mengerti dan memberi kesempatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tidak Apa, Pulanglah

24 Oktober 2011   14:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:33 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku tahu perasaannya tidak mudah. Tapi aku tahu, penyelesaiannya bisa menjadi mudah. Yah, tidak semudah mengatakannya, dan melakukanya butuh kemauan. Tapi daripada melihatnya terus murung, memang lebih baik aku mengatakannya lagi padanya.

“Pulanglah, saudara. Ayah tahu kamu lelah.”

Dia memalingkan muka, memandang keluar jendela dan melihat jalanan batu dengan satu dua kereta sapi lewat. Kami berada di lantai dua, di penginapan kecil di tepian kota. Rumah Ayah tidak jauh, kalau dia mau, dia bisa melihatnya. Dia memilih tidak mau. Dia juga tidak mau banyak cerita, hanya menggeleng dan menghela nafas.

“Kamu bisa mengontakku kapan saja, dan apapun untuk membuatmu nyaman. Sejauh ini paling tidak aku Cuma bisa ingatkan lagi kalau pulang adalah jalan yang memuaskan bagimu.” Aku meraih gagang pintu kayu dan bergerak ke arah tangga turun dengan langkah agak tertahan. Tapi juga tidak ada ucapan apa-apa, dari situ aku tahu sebetulnya sedang ada pertempuran.

Aku duduk di depannya kira-kira dua hari setelahnya. Wajahnya kusut karena kelelahan, dan setelah diam agak lama, dia bergumam, “Pulang? Aku bisa pulang?”

“Kalau kamu mau.”

“Tapi, kamu tidak tahu. Aku sudah sebegitunya pada Ayah! Aku tidak mau cerita padamu, kupikir kamu sudah tahu dari para tetangga dan orang-orang di bawah. Mereka pasti sudah banyak bicara.”

“Aku mau mendengarnya kalau kamu mau cerita. Tapi, kamu tahu ini bukan tentang ceritamu, kamu sudah cukup lama di luar dan kelelahan. Apapun yang kamu lakukan rasanya salah. Kamu bahkan kesepian saat ini.”

“Aku tidak kesepian!” Matanya yang membulat melihatku sebentar lalu memandang nanar ke tembok sebelum lalu tertunduk dan kedua tangannya menekan wajahnya.

Aku tahu dia mengisi jam-jamnya dengan pengalihan. Kembali lagi, kembali lagi. Pada hal yang sejenak membuatnya senang, tapi muak setelahnya. Banyak orang yang melakukannya hingga mati rasa. Merasa itulah satu-satunya kesenangan sejati dan kesempatannya memuaskan dahaga.

Aku duduk di kursi kayu kaku itu dan mengatupkan kedua tangan dan ikut menunduk sebentar hingga dia memalingkan wajahnya yang sudah mulai basah.

“Aku merasa mendengar ketukan di pintu kemarin malam. Setelah kamu pulang.” Dia berhenti dan keraguan mengisi nada suaranya, “tapi aku tidak yakin itu Ayah. Aku memang sempat merasa itu dia, tapi kamu tahu kan, aku tidak benar-benar yakin. Beberapa masalahku mengetuk juga di pintu dan teman-temanku yang lain juga. Ya walau tentu saja cara mereka berbeda. Dan masalah tidak mengetuk sesabar itu.”

“Kamu tidak cepat-cepat buka pintumu?”

Dia menatapku sejenak seakan baru saja aku mengatakan sesuatu seperti menyuruh dia lompat keluar jendela.

“Ti, tidak. Bagaimana, maksudku,kenapa kamu pikir aku mau membuka pintu?” Dia berpaling lagi.

Rumah kami selalu menjadi tempat yang nyaman. Ayah begitu baik dan membuat kami kerasan dengan kasih sekaligus kewibawaannya. Dia pemimpin tempat tinggal yang luar biasa dan mengajari kami banyak hal. Saudaraku ini pergi, lama dan tidak menyadari kebutuhan mendasarnya tidak akan pernah bisa dipenuhi dengan apapun juga kecuali pulang. Aku mendengar dia meraih cukup banyak kesuksesan, dan terus kesenangan. Tapi kehidupan tidak selamanya berjalan lancar. Lalu dia tahu dia meninggalkan apa yang benar dan dia merasa terus menerus haus setelahnya. Dia mencoba minum macam-macam, tapi kebutuhannya membuat jiwanya merana. Apa yang diminum tubuhnya tidak bisa memuaskannya. Kembali lagi tanpa harapan dan kebingungan atas ketidak pastian membuatnya haus dan terlantar. Akhirnya, juga kesepian.

“Sememalukan apapun yang kamu lakukan, kamu juga perlu tahu, aku sendiri melakukan banyak kesalahan. Saudara kita yang lain juga berkali-kali berbuat tidak benar. Tapi kami semua mengingat rumah yang membuat damai,lalu berpikir untuk menyesal dan merubah arah. Terutama karena... Ayah yang menanti dan siap mengampuni kita.”

“Aku berkhianat! Aku mentertawakan peraturan Ayah dan menghinanya di hadapan para musuhnya. Aku hidup asyik dan tidak memperhatikan peringatannya.” Dia siap memuntahkan segala perasaan bersalahnya, tapi aku memotong.

“Dan kamu sudah sadar sekarang. Tidak perlu lagi mengingat itu. Ceritakan pada Ayah kalau itu membuatmu merasa nyaman, katakan apa saja yang membuatmu merasa kamu tidak layak untuk pulang. Dan tetap, kita semua tahu dia ingin kamu pulang.”

“Omong kosong…” dia bergetar, dan air mata turun lagi walau cepat-cepat dia usap hilang.

“Aku tidak bisa ada di sini waktu Ayah mengetuk pintumu. Itu urusan kalian dan dia sudah bicara dengan jelas pada kami semua, dia ingin kamu juga bisa pulang. Pekerjaan di rumah begitu banyak, begitu juga persediaan makanan dan tempat tinggal. Aman, tempat perteduhan sejati, nyaman, pemulihan, apa lagi yang mau kubilang?”

Dia tidak akan pernah memaksa untuk masuk. Dia bisa datang beberapa kali, dan tetap menunggumu juga di muka pintu rumah. Kedatanganmu selalu dinanti. Ingat itu, waktu ketukan itu ada lagi, lembut terdengar tidak ada paksaan. Tapi itu jawaban yang kamu butuhkan.” Aku berdiri lalu pulang dengan agak tergesa, aku tahu dia butuh terus berpikir. Mungkin juga aku agak kesal karena dia berkata omong kosong pada kemungkinan penerimaannya kembali, tapi aku tahu dia melakukan itu untuk mencoba memuaskan rasa bersalahnya.

Hujan bisa turun kapan saja, dan di saat begini, aku tidak mau saudaraku berada di luar sendirian. Kesepian bisa begitu membunuh manusia, atau melemparkannya pada jurang kesalahan.Hidup bisa begitu tidak adil dan mudah hingga kami melakukan bukan apa yang kami mau, tapi sekedar menyembunyikan ketakutan jiwa dalam emosi, kegelapan dan hal-hal yang kami tahu tidak benar.

Saudaraku beruntung masih bisa mengenali ketukan itu. Walau sudah lama, walau begitu hingar bingar dalam kamarnya yang berantakan dan perlu ditata. Apalagi kalau di lorong penginapan suara-suara penggoda bisa sepanjang hari mencoba menarik perhatian, tawaran-tawaran dari tempat yang tidak bisa dipertanggungjawabkan terus diperdengarkan. Dan waktu hujan turun, suara petir bisa begitu mengerikan. Tapi ketukan itu pasti ada, saudaraku perlu menantikan dan mendengarkannya. Lalu mau membuka pintunya.

Aku bisa berkali-kali menyusuri jalan dan kembali menjenguknya. Tapi tidak bisa membukakan pintu itu untuknya. Dia harus merespon tawaran yang baik itu dari hati dan kemauannya sendiri, ini yang penting. Berdiri dari tempatnya mengalami pertempuran diri dan kekosongan, melangkah pada sumber suara yang terdengar merdu bagi jiwanya, meraih gagang pintu, membukanya, kemudian meraih pemulihan. Pulang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun