Mohon tunggu...
Hadi Saputra
Hadi Saputra Mohon Tunggu... -

Pekerja di Perusahaan swasta minyak goreng, hobi baca dan makan. Masih ngerasa muda,punya favoritisme pada jenis makanan tertentu seperti LAPO, membaca banyak bacaan yang kadang menimbulkan perasaan tidak menentu, asalnya dari Cirebon.\r\nMerasa hidup seharusnya bisa lebih baik jika orang-orang bisa mau saling mengerti dan memberi kesempatan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ajar Kami Menghitung Hari-hari Kami...

11 Februari 2010   11:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:58 495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Waktu jadi berharga ketika jumlahnya terbatas. Sama seperti harta milik seseorang, ketika banyak kurang dihargai, ketika jumlahnya sedikit-hampir habis, dijaga mati-matian. Masalah waktu menjadi pemikiran tiap orang. Mau tidak mau, tidak ada yang dapat mencegah matahari terbenam dan terbit pada waktunya (kecuali sang Pemilik Waktu sekaligus matahari itu sendiri, tentu saja). Orang-orang jadi menghitung waktu maju, maupun mundur. Semua kegiatan diatur waktu, janjian ketemu di suatu tempat, tentu juga melibatkan waktu.

Andai saja nih, kita tahu umur hidup kita. Ada semacam jam yang bergerak mundur yang detik pertamanya dimulai ketika tarikan nafas pertama kita di dunia dan menunjukkan berapa tahun, bulan hingga detik lamanya kita akan hidup, kita pasti berusaha mengatur waktu kita dengan sangat bijak. Atau di titik extrim lainnya, frustasi lalu tidak peduli.

Seperti suatu pertandingan, bola misalnya. Tinggal 20 menit terakhir. Ubah strategi? Tetap maju, bertahan? Siapa yang harus menahan siapa, dan banyak lainnya. Lalu kalau sewa ruang karaoke misalnya, tinggal 10 menit, banyak lagu-lagu yang sudah dicari batal dinyanyikan, putar yang paling favorit saja! Semua orang jadi berubah bijaksana.

Manusia pada dasarnya dibuat untuk mampu mempertahankan hidupnya. Makin sempit dan tergencet, makin pintar keluar akalnya. Makin melihat keterbatasan, makin lihay gerakannya. Sayangnya waktu tidak jelas-jelas memiliki dinding yang terlihat. Tidak kelihatan ujungnya, hanya kira-kira saja. Ya tujuh puluh tahun deh, syukur bisa delapan puluh. Banyak juga kan kita dengar ada  cara untuk mengukur angka harapan hidup di suatu daerah atau negara. Harapannya... tapi sayangnya yang pegang stopwatch bukan kita, lamanya pertandingan tidak baku, sudah gitu ditambah lintasannya tidak pasti. Salah memilih jalan, entah sampai kapan bisa bertahan, entah kapan bisa kembali benar, hanya bisa berdoa saja, semoga tidak pulang sekarang!

Kalau kita sewa rumah, walau mungkin bisa bertahun-tahun ditinggali, suatu saat kita harus pergi. Apartemen yang katanya beli, tapi yang dipegang di tangan hanya hak guna, waktunya juga jelas-jelas dibatasi sejak tandatangan kontrak pertama. Bukankah dunia kita seperti demikian juga? Sepertinya hanya tinggal sewa saja, bukan selama-lamanya. Karena memang tempat kita bukan dari sini.

Suatu hari, kemah tempat kediaman kita di dunia ini akan dibongkar, begitu tegasNya. Tapi kita dijanjikan rumah yang tetap di tempat yang kekal. Hanya tinggal masalah waktu saja, detik, tambah sedetik, sedetik lagi... tahu-tahu nanti sudah tahun 2050!

Manusia sebenarnya suka merencanakan. Bahkan orang yang bilang tidak mau ambil pusing, sebenarnya juga terikat pada perencanaan. Jam kerja, jam tidur. Atau bila tidak mau kerja juga dia, ada juga jam makan dan jam ke belakang. Kalau dia bilang tidak mau repot merencanakan, ya silahkan saja, mungkin nanti waktu untuk pacarannya bisa sekalian dengan waktu untuk ke wc! Masak dia tidak siap-siap dulu untuk pergi pacaran?

Waktu tidak bisa dipegang. Waktu bisa menimbulkan penyesalan yang teramat dalam. Waktu menjadi kerinduan banyak orang untuk dapat dikendalikan. Tapi waktu yang memang abstrak karena memang tidak ada sudah menjadi musuh sekaligus sahabat manusia.

Orang-orang yang diberitahu akan meninggalkan dunia ini, bisa dengan bijaksana memikirkan banyak hal. Apa aku akan meninggalkan nama baik, misalnya. Apa masih ada seteruku yang belum berdamai, apa ada cita-cita yang masih ingin dicapai, ada orang-orang yang ingin sekali ditemui, ada persiapan-persiapan yang ingin dilakukan. Jika kasusnya adalah dia diberitahu akhir hidupnya oleh perkiraan seorang dokter, dia bisa dengan tegas menolak dan berusaha mati-matian melawan penyakit dan akhirnya memang bisa hidup lebih lama. Tapi ini jadi sama dengan orang yang memilih lagu-lagu favorit pada 15 atau 10 menit terakhir di ruang sewa karaoke. Sama dengan mengoptimalkan strategi dan memompa adrenalin di saat-saat terakhir perlombaan olah raga.

Aku tidak tahu umur hidupku, tidak tahu kapan berakhir. Kena gempa seperti Haiti? Tsunami seperti Aceh? Atau waktu menyebrang jalan.... atau terus beranak cucu... santai saja, jalani saja... begitukah yang bijaksana? Nanti jadi seperti seorang pacar yang akan menemui kekasihnya, kacau, berantakan, tidak memuaskan. Terlambat, salah waktu, tangan kosong, tidak memenuhi harapan sang kekasih.

Bukankah Kekasih Sejati kita yang memandang kita tiap waktu juga ingin kita memanfaatkan waktu yang terbaik selagi kita di dunia ini?
Ya Tuhan, ajar kami menghitung hari-hari kami (atau bila kami membandel juga kiranya ada ilmuwan yang pandai Kau utus untuk menciptakan jam mundur yang bisa dipakai di tangan kami seperti jam tangan, memberitahukan berapa lama lagi waktu yang kami miliki)...

kiranya jadi pemikiran kita bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun