Piala Afrika 2021 yang digelar di Kamerun sejak 9 Januari 2022 lalu, kini memasuki fase mendebarkan.
Ya, usai diwarnai serangkaian kabar mengejutkan di awal turnamen, Piala Afrika edisi ke-33 ini memasuki periode menentukan. Utamanya perihal siapa saja dari 24 tim kontestan yang akan lolos ke babak 16 besar.
Menariknya, sang juara bertahan, Aljazair yang diperkuat beberapa pemain tenar yang main di klub top Eropa seperti kapten Riyadh Mahrez (Manchester City) dan Ismail Bennacer (AC Milan), kini terancam gagal lolos ke babak knock out.
Andai Aljazair tersingkir di fase grup, kita bisa berujar bahwa kutukan juara bertahan di Piala Dunia, menular di Piala Afrika.
Di Piala Dunia, dalam beberapa edisi terakhir, memang muncul kutukan bagi tim juara bertahan.
Entah memang terkutuk atau hanya sedang bernasib apes, tim-tim juara di Piala Dunia sebelumnya, tampil melempem dan langsung tersingkir di fase grup.
Kutukan itu dialami Italia di Piala Dunia 2010.
Datang dengan status sebagai juara Piala Dunia 2006, Italia langsung tersingkir di Piala Dunia yang digelar di Afrika Selatan. Azzurri jadi juru kunci Grup F, di bawah Paraguay, Slovakia, dan Selandia Baru.
Beban kutukan itu disandang Spanyol di Piala Dunia 2014. Tampil sebagai juara bertahan, Spanyol justru langsung keok di fase grup. Gagal lolos. Bahkan di awal turnamen dihajar 1-5 oleh Belanda, tim yag mereka kalahkan di final Piala Dunia 2010.
Dan terakhir, di Piala Dunia 2018 lalu, siapa sangka, Jerman juga terkena kutukan.
Sang juara bertahan tersingkir di fase grup. Padahal, sepanjang sejarah partisipasi di Piala Dunia sejak 1934 silam, Jerman selalu bisa lolos ke babak knock out.
Jerman kalah bersaing dengan Swedia dan Meksiko. Bahkan, tim juara dunia empat kali ini dikalahkan Korea Selatan 0-2 yang dilatih Shin Tae-yong yang kini melatih Timnas Indonesia.
Aljazair bisa tertular kutukan Piala Dunia
Nah, Alzajair di Piala Afrika 2021 ini bisa saja tertular kutukan juara bertahan di Piala Dunia itu. Dengan kata lain, kutukan juara bertahan Piala Dunia ternyata menggejala ke Piala Afrika.
Ya, kemungkinan Aljazair tersingkir cepat dari Piala Afrika 2021 bisa menjadi nyata setelah mereka gagal menang di dua pertandingan awal fase grup.
Aljazair yang berada di Grup E, sebenarnya diunggulkan lolos ke babak 16 besar bersama Pantai Gading. Yang terjadi, Mahrez dkk hanya bermain 0-0 melawan Sierra Leone di pertandingan pertama (11/1).
Lantas, di pertandingan kedua, Aljazair malah kalah 0-1 dari Equatorial Guinea, negara yang baru tiga kali tampil di Piala Afrika sejak turnamen ini muai digelar tahun 1957 silam.
Imbasnya, Aljazair kini ada di dasar klasemen Grup E dengan raihan 1 poin. Tertinggal dari Sierra Leone (2 poin), Equatorial Guinea (3 poin), dan Pantai Gading (4 poin).
Sial bagi Aljazair, di pertandingan terakhir, mereka justru harus bertemu Pantai Gading yang dimainkan Kamis (20/1). Sementara Sierra Leone menghadapi Equatorial Guinea.
Bila ingin lolos, Aljazair harus menang. Sebab, hanya kemenangan yang membuat Mahrez dkk bisa lolos. Sementara Pantai Gading sudah dipastikan lolos.
Selain Pantai Gading, beberapa negara yang punya tradisi juara juga sudah memastikan lolos ke babak 16 besar. Seperti Kamerun, Senegal, Nigeria, dan Mesir.
Aljazair banyak diperkuat 'pemain tua'
Sebenarnya, apa yang membuat Aljazair tampil buruk di Piala Afrika 2021 ini?
Padahal, Aljazair masih dilatih Djamel Belmadi. Dialah pelatih yang mengakhiri paceklik gelar 29 tahun Aljazair sejak juara Piala Afrika 1990, lantas kembali juara pada 2019 lalu.
Aljazair juga diperkuat bintang-bintang mereka yang merumput di kompetisi Eropa. Pendek kata, skuad Aljazair tidak berbeda jauh dengan tim yang tampil di Piala Afrika 2019 lalu di Mesir.
Namun, tampil dengan skuad yang nyaris tidak berubah dari sebelumnya itu tentu punya kelebihan dan kelemahan. Kelebihannya, tim itu sudah solid. Sudah ada chemistrynya.
Namun, kelemahannya, kekuatan mereka sudah terbaca. Tim-tim lawan sudah mempelajari gaya main mereka. Sebab, sepak bola itu bak buku terbuka yang siapa saja bisa membacanya.
Aljazair juga tidak punya pemain muda yang tampil hebat di kompetisi Eropa bisa menjadi harapan di turnamen ini. Sebaliknya, Aljazair dihuni 'pemain-pemain tua'.
Merujuk daftar starting XI Aljazair saat melawan Sierra Leone di pertandingan pertama, pemain paling muda di tim Aljazair berusia 25 tahun, yakni bek kanan Youcef Atal.
Selebihnya, kiper Rais M'Bolhi (35 tahun), kapten Mahrez (30 tahun), bek tengah Aissa Mandi (30 tahun), gelandang Sofiane Feghouli (32 tahun) dan Yachine Brahimi (31 tahun).
Lalu, penyerang Islam Slimani kini berusia 33 tahun. Plus, Bahdgad Bounedjah yang membawa Aljazair juara lewat gol ke gawang Senegal di final Piala Afrika 2019, kini berusia 30 tahun.
Djamel Belmadi mungkin pede pemain-pemain gaeknya itu masih bisa bersinar di Piala Afrika tahun ini. Dia yakin pemain-pemainnya tuanya belum habis.
Namun, andai malam nanti Aljazair pulang cepat, kita bisa berujar bahwa itu bukanlah kutukan.
Tapi, tidak selalu tim hebat yang juara di turnamen sebelumnya, bisa kembali juara dengan mengandalkan pemain-pemain yang sama. Yang ada malah cerita sebaliknya.Â
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H