Liga 1 kembali jadi sorotan.
Kompetisi sepak bola teratas di tanah air ini kembali viral di jagad media sosial. Ada dua pemicunya.
Bukan hanya kabar besar pemain top sekelas Mesut Ozil yang konon tertarik bermain di Liga 1. Namun, ada insiden "horor" yang terjadi saat pertandingan Borneo FC melawan Persik Kediri pada akhir pekan kemarin.Â
Ya, pertandingan di pekan ke-18 Liga 1 yang digelar di Bali ini sebenarnya berlangsung lumayan seru. Sengit.
Macan Putih Persik Kediri unggul di babak pertama lewat gol cantik tendangan first time Youssef Ezzejjari. Gol ini keren.
Pesut Etam--julukan Borneo, terhindar dari kekalahan setelah Boaz Solossa mencetak gol telat di akhir babak kedua. Tepatnya di menit ketujuh waktu tambahan.
Kiper Persik Kediri sempat terkapar
Namun, bukan skor 1-1 itu yang menjadi sorotan warganet pecinta sepak bola di media sosial. Tapi sebuah insiden "horor" mengerikan yang terjadi di menit ke-85.
Insiden yang membuat kita yang menyaksikan pertandingan itu menghela nafas ketika melihat kiper Persik, Adi Satrio terkapar.
Adi Satrio yang awalnya berusaha mengamankan bola crossing, gagal menangkap bola dengan sempuran. Bola terlepas dari tangkapannya. Ketika hendak kembali menguasai bola, dia mendapat pressure dari pemain lawan.
Hingga, saat dia menjatuhkan diri untuk menangkap bola, pemain Borneo asal Jepang, Kei Hirose yang berupaya menendang bola, malah mengenai muka Adi Satrio. Dari tayangan ulang, bola memang lebih dekat dalam jangkauan Adi Satrio.
Ironisnya, bukan malah menolong sang kiper, yang terjadi di lapangan, pemain-pemain kedua tim justru ribut sendiri.
Hanya pemain Persik, Yusuf Meilana dan pemain Borneo, Wildansyah yang langsung sigap menolong Adi Satrio.
Demi melihat insiden itu, Pelatih Persik, Javier Rocha spontan masuk ke lapangan demi memberikan pertolongan kepada kipernya.
Akhirnya, wasit memberi kartu merah kepada Kei Hirose. Termasuk Pelatih Javier Rocha karena telah keluar dari technical area pelatih saat dirinya masuk ke lapangan.
Dalam wawancara yang dikutip dari beberapa media, Rocha yang dulunya pernah main di Liga Indonesia, menyebut tidak masalah bila dirinya dikartu merah asalkan pemainnya selamat.
Beberapa jam setelah kejadian, Persik Kediri lewat akun Instagramnya mengonfirmasi perkembangan Adi Satryo sudah dalam kondisi sadar dan sedang dalam penanganan tim medis. Â Tinggal menunggu hasil CT Scan untuk memastikan kondisi Adi Satryo.
"Kita bersyukur, teman kita (Adi Satryo) masih sadar dibawa ke rumah sakit. Tiga poin tidak pantas, atau satu poin atau satu pertandingan pun di dunia tidak pantas dibandingkan dengan satu nyawa," ujar javier Rocha di akun IG Persik Kediri.
Insiden di lapangan seperti ini memang bikin miris. Ngeri.
Sampeyan (Anda) yang tidak menyaksikan langsung laga ini, bisa melihat cuplikan insiden itu di beberapa akun media sosial yang mengabarkan perkembangan sepak bola tanah air. Tapi, jaga emosi dan tahan nafas.
Kita yang melihat melalui layar televisi, meski tidak memiliki keterikatan emosional langsung dengan kedua tim, ikut merasa cemas juga prihatin.
Terlebih, kejadian seperti ini bukan yang pertama terjadi di kompetisi sepak bola Liga Indonesia. Dan, kiper yang paling rawan mengalami cedera fatal saat perebutan bola dengan lawan.
Kita masih mengingat mantan kiper senior Persela yang pernah dipanggil membela Timnas Indonesia, Choirul Huda, meninggal dunia karena insiden mengamankan bola di lapangan.
Akhir tahun 2021 lalu, kiper Tornado FC di Liga 3, Taufik Ramsyah yang baru berusia 20 tahun, juga meninggal dunia disebabkan benturan dikepalanya saat berupaya menangkap bola dari lawan.
Agar horor serupa tidak berulang
Saya tidak menyalahkan atau menyudutkan satu dua pihak. Sebab, terpenting sekarang adalah ruang untuk introspeksi.
Melalui tulisan ini, sebagai pecinta sepak bola, saya ingin menuliskan beberapa hal yang bisa dan perlu dilakukan agar insiden mengerikan yang membahayakan keselamatan pemain, tidak terus berulang di Liga Indonesia.
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh mereka yang terlibat dalam pertandingan. Dan seharusnya itu tidak sulit dilakukan.
Pertama, butuh kesadaran pemain.
Bahwa, ketika terjadi perebutan bola dengan kiper dengan peluang 50:50, apalagi bila bola sudah lebih dekat dalam jangkauan kiper, tidak seharusnya pemain memaksakan menendang bola.
Sebab, ketika terjadi perebutan bola, umumnya posisi kepala kiper ada di bawah. Karenanya, sangat rawan terkena tendangan yang dilepaskan dengan sekuat tenaga. Bayangkan bila itu mengenai kepala.
Kesadaran itu tentu tidak hanya berlaku untuk kiper. Tapi semua pemain. Setop pelanggaran brutal yang bisa menyebabkan cedera parah dan menamatkan karier. Ya, butuh kesadaran semua pemain.Â
Kedua, perlu ada edukasi.
Ini masih berkaitan dengan poin pertama. Pihak klub seharusnya memberikan edukasi kepada para pemainnya. Bahwa, keselamatan pemain ketika bertanding, di atas segalanya. Keselamatan lebih penting dari kemenangan.
Buat apa menang bila harus mencederai lawan apalagi sampai menyebabkan pemain lawan kehilangan nyawa.
Bahwa, yang patut diingat semua pemain, mereka itu sama-sama bekerja 'nyari makan' di lapangan. Demi karier dan keluarga masing-masing. Karenanya, tidak seharusnya ada kesengajaan mencederai pemain lawan. Apalagi menyebabkan cedera parah bahkan kematian.
Ini tidak hanya berlaku untuk tim-tim Liga 1.
Tetapi juga menjadi "panggilan" bagi pelatih-pelatih di level Sekolah Sepak Bola (SSB) untuk menanamkan nilai respek sejak dini kepada anak didiknya agar tidak ada niat mencederai lawan.
Sebab, selama ini, setahu saya, jargon yang justru populer di sepak bola kita adalah, "bola boleh lewat, tapi orangnya jangan".
Tentu saja, sepak bola sebagai olahraga fisik, rentan benturan fisik. Tidak bisa dihindari. Pelanggaran menjadi biasa. Mustahil selama pertandingan tidak ada pelanggaran. Malah kadang ada bumbu emosi yang mengiringi. Tapi tentu beda cerita ketika sudah sengaja mencederai lawan.
Apalagi bila pemain sejak dini dicekoki dengan jargon "menang adalah harga mati". Sehingga ketika bermain merasa mutlak harus menang dan menang. Jadinya yang terjadi di lapangan, "pokok e menang".
Padahal, tim sehebat Barcelona dan Real Madrid yang pernah jadi tim terhebat di Eropa dan dunia saja tidak selalu menang. Ada pasang surutnya. Ada kalanya mereka bahkan kalah dari tim papan bawah.
Barcelona pernah butuh waktu 14 tahun untuk bisa kembali juara Liga Champions di tahun 2006. Real Madrid yang merupakan tim paling sukses di Eropa, juga pernah butuh 12 tahun untuk kembali juara Liga Champions di tahun 2014.
Ketiga, kiper perlu pengaman.
Bila kejadian seperti laga Borneo melawan Persik ini berulang, ada baiknya kiper-kiper di Liga 1 memakai pelindung kepala untuk mencegah dampak fatal benturan di kepala. Ini bisa menjadi opsi bagi penyelenggara Liga.
Pecinta bola pastinya langsung teringat dengan nama Petr Cech.
Mantan kiper Chelsea asal Rep Ceko ini pernah mengalami cedera serius di kepalanya kala main di Liga Inggris. Dia kemudian memakai pelindung kepala bewarna hitam.
Saya membayangkan, kiper di Liga Indonesia juga memakai pelindung kepala seperti itu bila memang situasinya mendesak. Demi keselamatan dan menghindari cedera parah.
Keempat, pertolongan pertama cepat.
Nah, ini yang tidak boleh diabaikan. Ketika insiden seperti yang dialami kiper Persik terjadi, semua yang ada di lapangan seharusnya fokus menolong dan memanggil tim medis. Bukan malah ribut nggak jelas seperti yang kita lihat.
Lagi-lagi, ini bisa menjadi bagian edukasi kepada pemain.
Bahwa, kemanusiaan di atas segalanya. Tak peduli yang cedera itu lawan atau kawan. Penting untuk memberikan pertolongan cepat ketika terjadi insiden. Bukan malah menonjolkan emosi. Penting untuk membekali mereka cara pertolongan pertama.
Sampeyan mungkin masih ingat insiden di Piala Eropa 2020 tahun lalu. Ketika bek Denmark, Simon Kjaer dengan sigap memberi pertolongan kepada rekannnya Christian Eriksen yang mendadak kolaps di lapangan. Konon, bila tidak cepat ditolong, Eriksen mungkin tidak tertolong.
Liga bagus, dampaknya ke Tim Nasional Indonesia
Sebagai penikmat sepak bola, saya dan sampeyan tentu mengharapkan tontonan pertandingan yang bermutu. Bukan sebaliknya. Apalagi di liga sepak bola level tertinggi di tanah air.
Di putaran II Liga 1 ini, sudah seharusnya semua yang terlibat di lapangan, baik pemain, pelatih, dan wasit serta asistennya bermain lebih 'sadar' dan bersama-sama menaikkan kualitas kompetisi ini.
Sebab, liga domestik itu merupakan cerminan tim nasional sepak bola di sebuah negara.
Bila liga sepak bolanya bagus, ada harapan tim nasionalnya bagus. Logika sederhannya, pelatih timnas akan bisa dengan mudah memilih pemain yang dipanggil membela negaranya.
Kita tentu masih ingat dengan keluhan Pelatih Timnas, Shin Tae-yong selepas Piala AFF 2020 lalu perihal lini depan sebagai sektor paling lemah di timnas.
Kenapa bisa begitu?
Karena mayoritas klub Liga 1 kini mengandalkan penyerang asing sehingga striker lokal jadi kalah bersaing. Sedikit saja penyerang lokal yang menjadi pemain andalan di timnya.
Meski memang, pendapat saya pribadi, kita tidak lagi memiliki penyerang lokal yang bisa bikin lawan cemas seperti Kurniawan Dwi Yulianto, Ilham Jayakesuma, ataupun Budi Sudarsono dulu.
Saya percaya, bila kualitas Liga 1 dibenahi dengan pemain-pemain yang siap adu teknik dan team work di lapangan, jadi bukan hanya emosi meledak, ditambah pemain-pemain muda yang bermain di luar negeri dan sentuhan strategi pelatih Shin Tae-yong, kita boleh berharap banyak.
Bahwa, Tim Garuda bisa terbang tinggi. Tidak hanya di level Asia Tenggara dengan menjadi juara di Piala AFF pada akhir tahun 2022 nanti. Tapi juga bisa lolos ke Piala Asia dan bersaing dengan tim-tim raksasa dia Asia.
Semoga itu bukan hanya mimpi yang ketinggian. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H