Lewat akun media sosialnya, wartawan olahraga senior, Hardimen Koto, mengunggah postingan menarik perihal 'rapor' Timnas Indonesia di Piala AFF 2020.
Jurnalis, analis, dan komentator sepak bola top kelahiran Padang, Sumatera Barat ini memposting grafis berjudul "Pencapaian Indonesia di AFF Suzuki Cup 2020".
Postingan ini menarik.
Sebab, meski Timnas Indonesia kembali dari Singapura tanpa membawa piala, tapi Tim Garuda asuhan Pelatih Shin Tae-yong mampu meraih sejumlah pencapaian keren di Piala AFF 2020.
Lantas, Hardimen Koto membuat sebuah konklusi yang menjadi nilai rapor bagi Asnawi Mangkualam dan kawan-kawan selama tampil di turnamen dua tahunan tersebut.
"Overall, tim ini menjanjikan dengan determinasi tinggi.
Bila yang memberikan konklusi analisis adalah wartawan senior yang pernah meliput turnamen besar seperti Piala Dunia, Piala Eropa, Piala Asia, Piala Afrika, SEA Games hingga Olimpiade, penilaian tersebut jelas bukan kaleng-kaleng.
Penilaian itu jelas nggak hanya asal bunyi seperti kebanyakan 'pelatih online' yang mendadak muncul berjamaah di media sosial selama berlangsungnya Piala AFF 2000.
Pencapaian keren Timnas Indonesia
Ya, ada banyak pencapaian bagus yang diraih Tim Garuda di Piala AFF 2020. Dan itu menjadi cerminan keberhasilan Pelatih Shin Tae-yong dalam membangun tim ini.
Apa saja?
Pencapaian pertama, Timnas Indonesia menjadi tim paling subur alias mencetak gol paling banyak di turnamen ini dengan mencetak 20 gol. Ya, bukan Thailand, Vietnam, Malaysia, atau Singapura tim yang paling banyak mencetak gol. Tapi Indonesia.
Sebagai perbandingan, ketika Indonesia melaju ke final Piala AFF 2016 lalu, jumlah gol yang dicetak 'hanya' 12 gol. Pun ketika jadi finalis di Piala AFF 2010, sepanjang turnamen Indonesia mencetak 17 gol.
Meski, ini bukan kali pertama Indonesia menjadi tim paling subur di Piala AFF.
Sebab, Tim Garuda juga pernah menjadi tim tersubur kala menjadi finalis di Piala AFF 2004 dengan bisa mencetak 24 gol. Atau juga di Piala AFF 2002 ketika mencetak 22 gol.
Tapi, poin plus layak kita berikan kepada generasi Asnawi dkk. Sebab, persaingan di Piala AFF yang mereka hadapi sekarang jelas lebih kompetititf dibandingkan era dulu.
Lha wong dulu di Piala AFF 2002, Indonesia masih bisa menang dengan skor 13-1 atas Filipina. Kini, cerita seperti itu mustahil berulang karena Filipina sudah berkembang pesat.
Pencapaian kedua, beberapa pemain muda Indonesia mampu meraih penghargaan individu.
Tiga pemain, Pratama Arhan, Witan Sulaiman, dan Alfeandra Dewangga masuk nominasi young player alias pemain muda terbaik. Arhan (20 tahun) yang tampil oke dengan mencetak 2 gol dan menjadi man of the match saat melawan Malaysia, akhirnya terpilih meraih gelar individu ini.
Tidak hanya itu, gelandang Ricky Kambuaya yang tampil super keren selama turnamen, juga terpilih sebagai break out stars alias pemain yang penampilannya paling mencolok dan 'mendadak menjadi bintang'.
Kambuaya (25 tahun) juga dua kali terpilih sebagai man of the match, yakni di laga pertama melawan Kamboja dan laga penutup final kedua melawan Thailand, Sabtu (1/1). Kita tahu, di final kedua itu, pemain asal Sorong Papua ini mencetak gol pembuka Indonesia.
Total, dari delapan pertandingan yang dijalani Indonesia di Piala AFF 2020, enam kali pemain-pemain Indonesia terpilih jadi man of the match (MOTM).
Selain Arhan dan Kambuaya, ada Irfan Jaya yang menjadi pemain terbaik di laga melawan Laos, Dewangga saat melawan Vietnam, dan Witan saat melawan Singapura di semifinal pertama.
Pencapaian ketiga, Timnas Indonesia dianugerahi penghargaan Fair Play Award. Artinya, permainan Indonesia sepanjang turnamen dianggap paling bersih.
Pemain-pemain Indonesia tidak pernah diganjar kartu merah dan merupakan tim dengan akumulasi kartu kuning paling sedikit. Meski kadang bermain keras di lapangan, tetapi Indonesia tetap menjunjung sportifitas dan disiplin tinggi.
Ini merupakan kali pertama Indonesia dianugerahi gelar ini. Dan itu juga menjadi senjata ampuh untuk membungkam celotehan media luar, utamanya dari Vietnam yang menuding Indonesia bermain kasar selama turnamen.
Semua pencapaian itu tentu luar biasa. Sebab, di awal turnamen, tidak sedikit media di luar sana yang meragukan Timnas Indonesia bakal lolos dari penyisihan grup karena harus bersaing dengan dua tim finalis Piala AFF 2018, Vietnam dan Malaysia.
Keraguan itu muncul karena Indonesia datang ke Piala AFF dengan skuad termuda. Rata-rata pemainnya berusia belum genap 20 tahun atau baru menapak 20 tahun-an. Bila dibuat rata-rata, Indonesia tim yang paling muda dengan rataan usia 23,8 tahun.
Toh, di bawah asuhan Shin Tae-yong, anak-anak muda itu tampil hebat dan berani. Satu hal paling mencolok adalah mentalitas pemain yang tidak gampang ambyar ketika dalam posisi tertinggal seperti ketika melawan Malaysia.
Sejumlah PR yang masih perlu dipoles
Meski meraih sejumlah pencapaian, tetapi kita tidak menutup mata bila Tim Garuda di Piala AFF 2020 ini juga menyisakan celah yang menjadi pekerjaan rumah bagi Shin Tae-yong selaku pelatih.
Dalam wawancara dengan wartawan, Shin Tae-yong mengakui bahwa sektor paling lemah di timnas saat ini adalah lini depan. Para penyerang yang diharapkan bisa menjadi sumber gol, nyatanya tidak mampu menjawab harapan itu.
Faktanya, dari empat penyerang yang dibawa ke Piala AFF 2020 dan bergantian dimainkan, tiga di antaranya tidak mampu menyumbang gol. Yakni Dedik Setiawan, Kushedya Yudho, dan Hanis Saghara. Hanya Ezra Walian yang menyumbang dua gol.
Dari 20 gol yang dicetak Indonesia, mayoritas berasal dari lini kedua. Bahkan, pemain bertahan seperti Arhan, Rahmad Irianto, Asnawi, dan Elkan baggott mampu mencetak gol.
Padahal, di masa lalu, Timnas Indonesia dikenal memiliki penyerang lokal yang punya insting gol ganas dan bahkan mampu menjadi top skor Piala AFF.
Seperti Gendut Doni Christiawan (Piala AFF 2000), Bambang Pamungkas (2002), Ilham Jaya Kesuma (2004), dan juga Budi Sudarsono (2008).
Tentu ini menjadi pekerjaan rumah bagi Shin Tae-yong. Bila ingin Indonesia bisa tampil ganas di penampilan berikutnya seperti di Kualifikasi Piala Asia, lini depan harus dipoles.
Masalahnya adalah, Shin Tae-yong memang tidak punya banyak pilihan.
Sebab, klub-klub Liga 1 yang menjadi penyumbang pemain untuk timnas, jarang memiliki penyerang lokal yang hebat. Kebanyakan malah memakai penyerang asing. Hal ini juga dikeluhkan oleh Shin Tae-yong.
Selain itu, PR lainnya yang menurut saya masih perlu dipoles adalah kemampuan para gelandang untuk mencetak gol dari lini kedua lewat shooting-shooting dashyat.
Dulu, kita punya gelandang produktif seperti Fakhri Husaini, Bima Sakti, Uston Nawawi ataupun Firman Utina yang piawai mencetak gol lewat tendangan dari luar kotak penalti.
Di Piala AFF 2020, hanya Ricky Kambuaya yang terlihat piawai melakukan itu. Sementara Dewangga dan Irianto, kemampuan shootingnya masih harus dipoles lagi. Sebab, ketika lini depan buntu, gol dari lini kedua inilah yang bisa menjadi solusi.
Bayangkan bila sektor sayap yang sudah oke dengan pemain seperti Witan, Ramai, Irfan Jaya, dan Egy Maulana Vikri, lantas didukung lini depan ganas dan gelandang yang mampu mencetak gol dari lini kedua.
Namun, kunci dari semua itu adalah mempertahankan Shin Tae-yong untuk tetap melatih Evan Dimas dkk. Sebab, seperti kata Bung Hardimen Koto, tim ini menjanjikan dan punya determinasi tinggi.
Jangan terulang lagi kisah lama 'pecat pelatih setelah turnamen usai. Sebab, ketika mengganti pelatih, tentu Timnas akan kembali mulai dari nol untuk membangun skuad. Bila seperti itu, kapan Tim Garuda bisa terbang lebih tinggi.
Dengan Shin Tae-yong lebih lama tetap melatih Timnas, saya yakin sejumlah PR teknis yang perlu dipoles, bisa dia benahi. Dua tahun mendatang, Indonesia bisa terbang tinggi di Piala AFF 2022. Bahkan bisa bersaing di skala Asia. Semoga. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H