Bila dibuat penilaian rapor, nilai penampilan ganda campuran Indonesia, Praveen Jordan/Melati Daeva Oktavianti dalam tiga tur turnamen Eropa sebenarnya tidak terlalu buruk.
Mencapai babak semifinal di Denmark Open dengan status sebagai unggulan 3, lalu terhenti di perempat final French Open meski menjadi unggulan 2, dan jadi finalis di Hylo Open Jerman pada akhir pekan kemarin.
Tidak buruk-buruk amat. Kalau kata orang Surabaya, nggak ngisin-ngisini. Nggak malu-maluin sebagai unggulan.
Hanya saja, yang patut menjadi pemikiran tim pelatih di PBSI, bila menengok pencapaian Praveen/Melati di tur Eropa tahun sebelumnya, ini jelas sebuah penurunan.
Sebab, di partisipasi terakhir mereka di Denmark Open dan French Open tahun 2019 silam, Praveen/Melati bisa jadi juara dengan mengalahkan lawan-lawan yang levelnya lebih berat.
Nah, bila itu menjadi standar top form mereka, penampilan Praveen dan Melati tahun ini berarti menurun.
Apalagi, dalam tiga turnamen itu, Praveen dan Melati kalah dari pemain-pemain itu-itu saja.
Mereka kalah straight game 9-21 dan 11-21 dari ganda campuran lawas Hongkong, Tang Chung-man/Tse Ying-suet di French Open.
Lalu kalah dari ganda Thailand, Dechapol Puavaranukroh/Sapsiree Taerattanachai 21-16, 17-21, 20-22 di Denmark Open dan20-24, 14-21 Hylo Open Jerman.
Padahal, Praveen/Melati pernah membuat Dechapol/Sapsiree tak berkutik di final All England 2020 lalu ketika menjadi juara di turnamen bulutangkis tertua di dunia itu.