Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Tertarik Bekerja Jadi Wartawan, Perhatikan 5 Hal Penting Ini

13 September 2021   08:28 Diperbarui: 13 September 2021   20:58 1205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Profesi jurnalis masih digemari anak-anak muda. Sebelum memutuskan bekerja di media, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan/Foto: Blog.hubspot.com 

Profesi jurnalis alias wartawan hingga kini masih diminati anak-anak muda. Tolok ukurnya, ada banyak universitas yang memiliki konsentrasi bidang jurnalistik. Umumnya berada di bawah jurusan Ilmu Komunikasi.

Bahkan, di beberapa kampus terkenal, jurusan ini menjadi favorit. Banyak peminatnya. Meski konsentrasinya tak hanya jurnalistik. Tapi juga ada public relations/kehumasan, dan audio visual (videografi).

Meski mungkin tidak semua, tetapi mayoritas dari mereka yang masuk jurusan ini sudah punya cita-cita akan bekerja di dunia media dan kehumasan ketika kelak sudah lulus.

Dulu, ketika diberi amanah mengajar mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi di sebuah kampus di kota tempat saya tinggal, saya sempat mengobrol dengan mereka perihal cita-cita itu.

Beberapa dari mereka bersemangat berujar ingin menjadi presenter di televisi, penyiar radio, podcaster, public relations profesional, hingga menjadi wartawan di media massa.

Nah, karena saya pernah punya latar belakang sebagai jurnalis dan pernah bekerja di instansi kehumasan pemerintahan, saya lantas berkisah banyak tentang dunia kewartawanan dan kehumasan kepada mereka.

Berbagi cerita tentang asyiknya pengalaman bekerja di media dan dinamika kerja di perusahaan media. Lantas, memberi kabar bagus kepada mereka. Bahwa, kesempatan untuk bekerja di media tidak seperti peribahasa bagai pungguk merindukan bulan.

Sebab, ada banyak perusahaan media yang sewaktu-waktu membuka lowongan kerja. Utamanya media daring yang sekarang jumlahnya sangat banyak. Tidak seperti tes masuk calon pegawai negeri sipil yang adanya bisa setahun sekali. Jarang-jarang ada.

Tentu saja, tidak hanya membagikan cerita yang enak-enaknya saja. Saya juga mengingatkan mereka perihal 'bekal' yang harus mereka siapkan bila memang berminat bekerja di perusahaan media.

Profesi jurnalis masih digemari anak-anak muda. Sebelum memutuskan bekerja di media, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan/Foto: Blog.hubspot.com 
Profesi jurnalis masih digemari anak-anak muda. Sebelum memutuskan bekerja di media, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan/Foto: Blog.hubspot.com 

Bekal apa saja?

Ingat, tulisan yang ditulis bisa berisiko

Bekerja menulis di media bukan hanya tentang 'mengarang indah' menghasilkan tulisan hasil liputan untuk ditayangkan di media daring ataupun dimuat di media cetak.

Sebab, tulisan yang kita tulis terkadang ada risikonya. Utamanya ketika menulis hal-hal yang di masyarakat menimbulkan perbedaan pandangan, pro kontra, ataupun sengketa.

Sehingga, tulisan kita tidak akan bisa menyenangkan semua orang. Malah bisa diprotes orang, bisa dilaporkan ke dewan pers, atau bahkan bisa terjerat urusan hukum.

Risiko itu bukan hanya terjadi di genre berita yang dianggap 'berat' semisal politik dan pemerintahan. Tulisan yang dirasa ringan seperti ekonomi, olahraga, maupun gaya hidup juga bisa diprotes orang.

Semisal bila kita keliru menuliskan nama orang, keliru menulis kutipan, atau salah dalam memberitakan peristiwa sehingga berbeda dengan yang sebenarnya.

Untuk meminimalisasi risiko ini, seorang wartawan harus berpegang teguh pada kode etik profesinya.

Semisal dalam menulis berita, selalu mengedepankan fakta dan tidak beropini, juga mengulasnya secara cover both sides alias menampilkan dari berbagai sisi. Bukan hanya sepihak.

Berita juga harus menampilkan pernyataan yang sebenarnya dari narasumber. Bukan mengada-ada atau yang populer dengan sebutan wawancara imajiner. Karenanya, penting untuk merekam wawancara.

Plus, mengedepankan cek dan re-cek tulisan. Sebelum berita ditayangkan, cek kembali tulisannya. Dari penulisan nama orang, skor pertandingan, hingga mendengarkan kembali hasil rekaman wawancara seandainya masih ada yang diragukan.

Siap bekerja dengan jam kerja berbeda dari lainnya

Salah satu tantangan menjadi wartawan adalah jam kerjanya yang  terkadang 'tidak normal'. Meski punya kantor, kerjanya terkadang tidak punya jam kantor seperti profesi lainnya.

Bila bekerja di media cetak, jam kerjanya bisa seharian. Bisa berangkat liputan sejak pagi, lalu sore ke kantor (bila bekerja dari kantor) untuk menulis, dan baru pulang malam. Belum lagi bila ada rapat redaksi. Pulangnya bisa larut malam.

Tapi, bagi sebagian orang, bekerja di media cetak masih lebih enak. Sebab, ada jam deadline yang menjadi batas waktu tulisan dikirim. Semisal ada informasi bernilai berita yang terjadi seusai deadline, selama tidak luar biasa, tidak harus diliput saat itu juga. Bisa ditindaklanjuti keesokan harinya.

Berbeda dengan bekerja di media daring yang tidak mengenal deadline. Semisal terjadi peristiwa malam ketika lewat deadline media cetak, ya wartawannya harus meliput peristiwa itu.

Meski, setahu saya, media daring biasanya menerapkan kerja 'shift'. Artinya, ada wartawan yang jam kerjanya pagi sampai sore. Ada yang kebagian jam kerja sore hingga malam.

Tapi yang jelas, menjadi wartawan, tidak ada cerita libur Sabtu Minggu seperti pekerja lainnya. Liburnya bergantian dengan teman-teman redaksi lainnya. Saya dulu pernah mendapat jatah libur hari Senin. Pernah juga Sabtu.

Bahkan, ketika hari besar keagamaan, ada wartawan yang tidak pulang kampung untuk bermaaf-maafan dengan keluarganya. Mereka justru meliput arus mudik dan mengabarkan kejadian penting yang terjadi di momen hari raya.

Tapi, selama memang menyukai pekerjaannya alias punya passion bekerja di dunia jurnaslitik, hal seperti itu tidak akan menjadi beban. Justru, pengalaman itu akan menjadi 'momen mewah' yang kelak dikenang. Jarang-jarang kan ketika Lebaran malah liputan arus mudik di jalan.

Siap mental bila punya atasan 'galak'

Bekerja di media, kalian akan punya atasan bernama editor atau redaktur. Setiap desk seperti politik, ekonomi, olahraga, kriminal, ada editornya. Di atasnya ada reaktur pelaksana, hingga pemimpin redaksi.

Nah, tidak selalu bekerja di media bak berlayar di lautan yang tenang tanpa ombak. Terkadang malah menjadi ujian mental. Terlebih bila memiliki redaktur yang galak.

Ada seorang kawan pernah bercerita, ketika balik kantor, redakturnya selalu marah-marah. Ada saja yang menjadi pemicu marahnya. Tidak jarang keluar kata-kata kasar.

Semisal menganggap berita yang didapat dan ditulis wartawan di hari itu biasa saja sehingga tidak layak dijadikan headline. Istilahnya, tidak ada 'ikan besar' yang didapat.

Atau marah karena wartawannya tidak mendapat statament dari narasumber karena sesuatu hal. Atau juga emosinya meluap karena wartawannya ketika ditelpon tidak diangkat karena sedang dalam perjalanan.

Bila seperti itu, bila harus memberikan nasihat, ya dijalani saja. Anggap saja itu tantangan bagi kalian agar ke depannya bekerja lebih baik. Anggap saja itu latihan untuk menguatkan mental.

Siap kehujanan dan kepanasan

Di beberapa tempat, hujan mulai turun. Musim hujan mulai menyapa. Bagi wartawan yang terbiasa liputan di lapangan (lokasi), hujan atau panas tidak ada bedanya.

Bila ada tugas peliputan, mereka siap menjalani keduanya. Siap kepanasan. Siap kehujanan. Tentunya bila mereka berburu berita dengan menaiki motor. Bahkan harus siap bila turun langsung ke lokasi banjir.

Tidak ada ceritanya wartawan datang ke lokasi liputan menunggu hujan reda karena tidak mau kehujanan. Bisa-bisa dia datang ke lokasi tidak kebagian berita karena sudah selesai.

Semisal hendak meliput ke lokasi banjir, karena menunggu hujan reda, ketika tiba di lokasi, genangan airnya mungkin sudah surut. Tentu saja kehilangan momen dalam hal ini foto kejadian di lokasi.

Saya ingat pengalaman di bulan-bulan pertama menjadi wartawan.

Pernah akan meliput sebuah acara jam 9 pagi. Saya berangkat setengah jam sebelumnya. Dari rumah lumayan cerah. Mendadak di tengah jalan turun hujan. Sialnya, setelah mengecek jok motor, jas hujan ternyata tertinggal di rumah karena sehari sebelumnya dikeringkan.

Sempat berteduh sebentar, berharap hujannya lewat. Tapi ternyata tidak kunjung reda.

Akhirnya, nekad menerobos hujan karena cemas bila ketinggalan acara dan tidak dapat berita. Jadilah sampai di lokasi, celana lumayan basah. Untung bajunya tidak terlalu basah, terlindungi oleh jaket yang basah kuyup.

Tidak kaget dengan 'gaji yang biasa'

Dari semua hal itu, yang terakhir ini mungkin yang paling bisa 'makan hati'. Bahwa, tidak semua media memiliki kemampuan menggaji wartawannya dengan gaji besar atau cukup.

Dulu, karena saya bekerja di perusahaan media yang menurut saya besar dan punya kemampuan fiansial bagus, saya mendapatkan gaji yang wajar. Dalam artian masih sesuai dengan besaran Upah Minimum Kota (UMK).

Ketika masih bujang, saya masih bisa menyisihkan separuh gaji untuk ditabung. Apalagi bila mendadak ada bonus dari kantor. Ketika sudah berkeluarga, saya masih bisa mengalokasikan sebagian gaji untuk mencicil angsuran KPR rumah selain kebutuhan rutin harian.

Tapi, ada cukup banyak teman media yang kurang beruntung karena mendapatkan gaji 'seadanya' dari media tempatnya bekerja alias masih di bawah UMK. Bahkan, ada yang mendapat gaji hanya dengan mengandalkan dari fee iklan.

Gaji yang biasa dan merasa kurang ini terkadang menjadi pemicu beberapa oknum wartawan untuk mencari tambahan lewat jalur yang sebenarnya tidak diperbolehkan.

Dulu, saya sering dicurhati tetangga yang seorang guru. Dia bercerita kerapkali ada oknum wartawan yang datang ke sekolahnya. Oknum itu disebutnya berdalih akan memberitakan 'jeleknya' sekolah itu lantas meminta duit.

Nah, bila seperti itu, sebelum mengajukan lamaran kerja di media, kalian bisa mencari tahu reputasi media tersebut. Utamanya dalam kemampuan menggaji wartawannya.

Kabar bagusnya, meski mendapat gaji biasa, wartawan berpeluang mendapatkan 'bonus besar' yang nilainya bisa puluhan kali lipat dari gaji.

Setiap tahun bahkan mungkin kini setiap bulan, hampir selalu ada kompetisi menulis bagi jurnalis. Hadiahnya besar. Momen ini bisa dioptimalkan untuk mendapatkan tambahan penghasilan.

Tentunya kalian harus mau terus belajar, banyak membaca informasi, dan belajar dari tulisan orang lain untuk bisa menghasilkan tulisan mahal yang bisa juara dalam lomba menulis.

Selain beberapa hal tersebut, ada banyak pengalaman bagus yang bisa didapat ketika menjadi wartawan.

Kalian bisa bepergian ke banyak tempat, bahkan ke luar negeri dalam rangka tugas liputan. Tentu saja, sarana transportasi dan penginapan ditanggung kantor ataupun pihak yang mengundang. Kalian juga bisa punya networking yang luas.

Saya yang dulu baru sebulan lulus kuliah lantas melamar jadi wartawan dan diterima, bisa menaiki pesawat tanpa repot memesan tiket, merasakan tidur di hotel bagus, dan bertemu orang-orang penting dan terkenal, semuanya karena bekerja di perusahaan media.

Tertarik? Semangat dan semoga sukses. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun