Inilah makna pertama dari momen 'pembubaran' kontingen Indonesia di Olimpiade 2020. Bahwa, pemerintah tidak menutup mata terhadap prestasi dan kerja keras mereka. Perjuangan mereka diapresiasi. Keringat mereka dihargai.
Memang, bonus yang diberikan pemerintah tersebut tidak akan bisa dipakai untuk biaya hidup sepanjang usia. Namanya uang akan habis. Namun, setidaknya, para atlet jadi punya tabungan yang bisa mereka simpan atau diberdayakan untuk bekal hari tua.
Ini menjadi pesan bagus, utamanya bagi generasi muda yang bercita-cita menjadi atlet. Bahwa, menjadi atlet, apabila berprestasi, apalagi bisa tampil di Olimpiade, masa depan mereka akan terjamin.
Tentu saja, kuncinya adalah prestasi. Sebagai atlet, bila ingin diapresiasi pemerintah, ya harus menunjukkan prestasi dulu. Dan, prestasi tidak akan bisa diraih tanpa kerja keras berlatih, disiplin, dan punya motivasi berhasil.
Mungkin ada dari kita yang berpikir 'genit', bahwa dari 28 atlet Indonesia, hanya beberapa saja yang bisa meraih medali di Olimpiade Tokyo 2020. Betul.
Namun, terlepas dari 28 atlet Indonesia yang berlaga di Olimpiade belum semuanya bisa meraih medali, tetapi bisa terpilih tampil di Olimpiade adalah sebuah pencapaian tertinggi.
Sebab, jalan menuju tampil di Olimpiade dan bertanding/berlomba dengan ribuan atlet dari seluruh dunia tidaklah mudah. Ada syaratnya. Ada kualifikasinya.
Semisal di bulutangkis, seorang pebulutangkis harus bersaing dengan puluhan bahkan ratusan pebulutangkis lainnya demi menempati ranking atas dalam kualifikasi "race to olympic" bila ingin mendapat 'tiket' tampil ke Olimpiade.
Seperti Greysia Polii, siapkan masa pensiun
Perihal masa depan yang terjamin ini, penting bagi seorang atlet untuk berpikir mempersiapkan diri menyambut periode ketika mereka pensiun menjadi atlet.
Sebab, bagaimanapun, 'masa kerja' atlet itu terbatas. Dibatasi usia. Performa. Bahkan, cedera bisa memaksa mereka gantung sepatu, gantung raket, atau pensiun lebih cepat.