Di lini depan, Cesc Fabregas diplot sebagai false number 9 alias striker palsu ditemani David Silva dan Andres Iniesta.
Menguak penyebab kekalahan Italia di final
Lalu, mengapa Italia bisa babak belur di final itu? Ada dua alasan yang mengemuka.
Pertama, Pelatih Italia kala itu, Cesare Prandelli, dianggap membuat kesalahan dalam menurunkan formasi tim di final.
Cesare Prandelli memainkan skema yang cenderung defensif, 4-1-3-2 di final. Sementara di fase grup, dia memainkan tiga bek dan memperkuat lini tengah dalam skema 3-5-2.
Dengan Italia memainkan skema defensif, itu sama saja memberikan peluang bagi Spanyol untuk mendominasi lini tengah. Terlebih, Spanyol punya barisan gelandang kreatif.
Giorgio Chiellini yang diplot sebagai bek kiri juga jadi titik lemah. Kita tahu, gol pertama Spanyol yang dicetak David Silva di menit ke-14, berawal dari kegagalan Chiellini mengawal Fabregas. Usai mengejar bola sodoran Iniesta, Fabregas mengirim umpan ke Silva dan jadi gol.
Apalagi di menit ke-21, Chiellini cedera dan digantikan Federico Balzaretti. Spanyol menutup babak pertama dengan skor 2-0 usia Alba meneruskan umpan Xavi di menit ke-41.
Di babak kedua, masuknya Di Natale dan Thiago Motta menggantikan Antonio Cassano dan Ricardo Montolivo, tak mengubah situasi di Italia.
Spanyol menambah dua gol lewat Fernando Torres dan Juan Mata hanya dalam empat menit. Torres bikin gol di menit ke-84 dan Mata di menit ke-88.
Alasan kedua, kekalahan telak di final itu karena Italia dirugikan jadwal. Lebih tepatnya lokasi bermain yang membuat tenaga pemain-pemain mereka terkuras.