Dulu, semasa bekerja di 'pabrik koran', mewawancara orang (baca narasumber) menjadi 'makanan sehari-hari'. Tidak ada hari tanpa mewawancara.
Bahkan, bila libur pun terkadang masih melakukan wawancara. Biasanya dengan mengirim pesan pendek (short message service) lewat handphone zadul (zaman dulu).
Hasil wawancara itulah yang menjadi bahan tulisan. Baik ditulis sebagai data, kalimat tidak langsung, maupun kutipan narasumber.
Tentu saja, sebagai jurnalis, saya akan senang mendapati narasumber yang bisa menjawab pertanyaan wawancara dengan memuaskan. Jawabannya oke. Nyambung. Berisi data. Tidak bertele-tele. Apalagi diselingi guyonan asyik.
Meski, narasumber seperti itu terkadang langka. Sulit ditemui. Yang mudah ditemui, narasumber yang senang bila diwawancara media tapi omongannya kurang berisi. Modal pede saja.
Dan yang banyak lagi, narasumber yang pelit memberikan komentar. Jawabannya sak crit (sedikit sekali). Malah terkadang ditanya tapi jawabnya "no comment". Enggan berkomentar.
Tentu saja, jawaban tidak mau berkomentar seperti itu haknya narasumber. Hanya saja, narasumber jenis begini ini terkadang membingungkan. Wartawannya bingung karena tidak ada kutipan yang bisa menguatkan tulisan. Ya hanya no comment itu.
Lucunya, ketika tulisannya jadi (sudah tayang), narasumber yang enggan berkomentar itu malah protes. Merasa tulisannya tidak cover both sides karena tidak memuat komentarnya.
Semisal perihal pelayanan mengurus KTP elektronik yang masih semrawut. Kadang, ada perjabat yang enggan berkomentar. Mungkin agar beritanya tidak sampai dimuat.
Si wartawan lantas mewawancara masyarakat yang mengurus KTP. Memakai sudut pandang (angle) masyarakat. Ketika tulisannya muncul, pejabatnya lantas protes.
Padahal, bila pejabatnya mau berkomentar, bila apa yang disampaikan mencerahkan dan berisi data, juga menjelaskan penyebab layanan masih kurang bagus, tulisannnya juga bakal menjelaskan apa adanya. Tidak 'digoreng'. Kecuali bila yang mewawancara oknum wartawan.
Itu kenangan masa lalu. Masa-masa menyenangkan ketika bekerja 'mengukur jalan', bertemu banyak orang, dan sehari bisa menghasilkan 4-6 tulisan.
Nah, setelah beberapa tahun memutuskan pensiun dini dari pabrik koran, siapa sangka, saya kini justru menjadi narasumber. Sosok yang diwawancara wartawan.
Bukan tentang tema berat. Ringan saja. Bicara tentang sepak bola ataupun bulutangkis.
Apalagi selama gelaran Euro 2020 ini, ada beberapa kawan media yang mendadak mengirimkan pesan WA untuk melakukan wawancara. Lumayan sering. Utamanya dari media radio.
Saya termasuk orang nggak tegaan. Maksudnya, ketika ada permohonan wawancara, saya sulit untuk menolaknya. Meski sebenarnya saya tidak sedang longgar waktunya. Saya menghindari berujar "no comment".
Pernah selepas diwawancara via telepon, putra kedua saya yang baru kelas 2 SD bertanya begini: 'Yah, kalau diwawancara begitu, apakah Ayah dikasih duit?"
Saya hanya tersenyum. Lantas bercerita kepadanya bila orang yang diwawancara itu memang ada yang dapat duit. Semisal diundang jadi narasumber. Ada juga yang mendapatkan terima kasih. Termasuk yang dia tanyakan itu.
Lalu, mengapa saya mau diwawancara bila sekadar mendapat terima kasih? Karena hidup bukan sekadar tentang uang hehe.
Ketika melihat teman jurnalis itu berkirim WA dan mengaku ingin mewawancara, saya hanya membayangkan bila saya berada di posisinya dia.
Di posisi sebagai karyawan yang mendapat tugas dari atasan untuk membuat tulisan dari hasil wawancara itu. Atau hasil wawancaranya disiarkan di radio.
Saya membayangkan bila nggak mau melayani ajakan wawancara dengan alasan sibuk atau menjawab "no comment". Bagaimana bila dimarahi atasannya karena tidak mendapatkan wawancara yang ditugaskan.
Dari situ, muncul kemauan untuk melayani wawancara tersebut selama memang saya merasa menguasai tema yang ditanyakan.
Dengan melayani wawancara, itu berarti telah membantu pekerjaan orang lain. Saya percaya, bila kita memudahkan urusan penghuni bumi, maka Yang di Langit akan memudahkan urusan kita.
Tidak mau asal bicara, harus ada data
Dulu, saya lupa siapa yang mengawali mewawancara. Lantas, malah keterusan jadi narasumber bola.
Seingat saya, mereka tahu bila saya "melek bola" dari membaca tulisan saya di Kompasiana. Atau juga dari dua buku esai sepak bola yang pernah saya tulis.
Tentu saja, menjadi narasumber dan pewawancara itu berbeda. Beda cara melakukannya. Beda cara bicaranya.
Bila mewawancara, kita hanya perlu membuat rancangan pertanyaan. Tentu harus menguasai tema yang ditanyakan. Meski, tidak sedikit yang asal bertanya. Apalagi bila wawancaranya door stop.
Sementara sebagai narasumber, kita tentu harus paham jawaban dari pertanyaan yang diajukan.
Yang jelas, meski bicara sepak bola, saya tidak mau asal bicara. Tidak mau sekadar bicara "menurut saya" tanpa didukung fakta terkini dan juga data.
Karenanya, saya menyampaikan kepada mereka bila hendak mewawancara (untuk radio), sebaiknya berkabar sehari sebelumnya. Plus memberi tahu apa saja poin yang akan ditanyakan.
Sehingga, saya bisa bersiap dengan membaca beberapa referensi demi mencari data dan update informasi terkini.
Dengan begitu, jawaban saya jadi padat berisi. Tidak sekadar "menurut saya" yang subyektif. Bila begitu, yang mewawancara juga akan senang.
Kecuali bila saya memang sudah menguasai materi yang ditanyakan, tentu tidak ada masalah bila akan melakukan wawancara.
Bila alurnya tidak seperti itu, saya memohon maaf kepada mereka bila tidak bisa melayani wawancara. Apalagi bila ternyata tidak sedang dalam situasi yang tepat untuk diwawancara.
Sebagai penulis lepas, pernah ketika tengah bekerja meliput untuk tulisan majalah, saya mendapati permohonan wawancara. Mintanya saat itu juga. Saya pun hanya bisa memohon maaf karena sedang ada tugas.
Pernah juga diminta untuk bicara tema yang kurang terlalu saya kuasai dan mintanya saat itu juga.
Bila begitu, saya memohon maaf sembari mengaku tidak mengikuti update perkembangan isunya. Menurut saya, jujur seperti itu lebih bagus daripada memaksakan tampil tapi bicaranya ngawur.
Bila bicara ngawur, yang jelek tentu bukan hanya citra saya sebagai narasumber. Yang mewawancara dan medianya juga bakal dicap buruk karena menampilkan wawancara yang tidak berkualitas.
Jadi, bagi saya, niat mengiyakan ajakan wawancara teman-teman wartawan itu semata untuk menyambung hubungan baik dengan mereka. Syukur bila bisa sedikit membantu pekerjaan mereka.
Kalaupun kemudian mendadak mendapat undangan jadi komentator acara langsung dan pulangnya ternyata mendapat honor, itu hanyalah bonus.
Seperti juga pada Kamis pekan lalu diundang Kompas TV tampil di Kata Netizen yang membahas seputar Sensasi Piala Eropa. Itu juga bonus yang menyenangkan.
Bonus karena saya rajin menulis tentang Piala Eropa sehingga saya dinilai paham update-nya Euro. Karena menang, tulisan kita itu bagian branding diri kita. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H