Saya membayangkan bila nggak mau melayani ajakan wawancara dengan alasan sibuk atau menjawab "no comment". Bagaimana bila dimarahi atasannya karena tidak mendapatkan wawancara yang ditugaskan.
Dari situ, muncul kemauan untuk melayani wawancara tersebut selama memang saya merasa menguasai tema yang ditanyakan.
Dengan melayani wawancara, itu berarti telah membantu pekerjaan orang lain. Saya percaya, bila kita memudahkan urusan penghuni bumi, maka Yang di Langit akan memudahkan urusan kita.
Tidak mau asal bicara, harus ada data
Dulu, saya lupa siapa yang mengawali mewawancara. Lantas, malah keterusan jadi narasumber bola.
Seingat saya, mereka tahu bila saya "melek bola" dari membaca tulisan saya di Kompasiana. Atau juga dari dua buku esai sepak bola yang pernah saya tulis.
Tentu saja, menjadi narasumber dan pewawancara itu berbeda. Beda cara melakukannya. Beda cara bicaranya.
Bila mewawancara, kita hanya perlu membuat rancangan pertanyaan. Tentu harus menguasai tema yang ditanyakan. Meski, tidak sedikit yang asal bertanya. Apalagi bila wawancaranya door stop.
Sementara sebagai narasumber, kita tentu harus paham jawaban dari pertanyaan yang diajukan.
Yang jelas, meski bicara sepak bola, saya tidak mau asal bicara. Tidak mau sekadar bicara "menurut saya" tanpa didukung fakta terkini dan juga data.
Karenanya, saya menyampaikan kepada mereka bila hendak mewawancara (untuk radio), sebaiknya berkabar sehari sebelumnya. Plus memberi tahu apa saja poin yang akan ditanyakan.