"Tersesat" memilih Ilmu Komunikasi
Meski saat itu, saya belum terlalu suka menulis. Hanya sekadar mengagumi tulisan-tulisan wartawan Bola ataupun kolumnis olahraga di koran lainnya. Kala itu, menulis ya sebatas menyalin pelajaran di sekolah.
Kegemaran pada kimia dan olahraga itu sempat membuat saya berada dalam persimpanan. Saya merasakan dilema memilih yang mana ketika ujian masuk perguruan tinggi.
Bila memilih kimia tentu harus menjadikan teknik kimia sebagai pilihan. Di sisi lain, saya tergoda untuk masuk jurusan hubungan internasional karena kebetulan kemampuan bahasa Inggris saya kala itu lumayan.
Pilihan lainnya adalah ilmu komunikasi yang didalamnya memuat ilmu jurnalistik untuk mempelajari ilmu kepenulisan dan media, juga public relations, dan audio visual.
Yang terjadi kemudian, sampean (Anda) bisa menebak jawabannya.
Ya, semesta rupanya menuntun saya untuk membelokkan cita-cita. Keinginan untuk menjadi ahli kimia itu kalah besar oleh hasrat untuk menggeluti bidang penulisan yang dipicu kecintaan membaca ulasan olahraga.
Semesta menuntun saya untuk mendalami ilmu jurnalistik yang berarti memilih ilmu komunikasi di sebuah kampus di Malang.
Saya yang memiliki latar belakang anak IPA, lantas banyak belajar ilmu sosial. Senang membaca buku-buku ilmu sosial. Juga senang menulis opini.
Di masa-masa awal kuliah dulu, saking senangnya menulis, saya cukup sering mengirimkan artikel opini ke majalah kampus. Demi bisa menghasilkan tulisan, bisa berjam-jam duduk manis di perpustakaan kampus untuk mencari bahan tulisan.
Lantas, ketika dimuat, gembiranya bukan main. Kala itu, tulisan yang dimuat mendapat honor Rp 100 ribu. Bagi anak kos yang kala itu tidak punya kartu ATM, honor itu saya anggap lumayan besar.