MERANA. Entah sudah berapa kali, Timnas Inggris merasakan nestapa ketika tampil di Piala Eropa. Aneka macam kegetiran dan kesedihan pernah dirasakan Inggris.
Tahun 1996 silam, tampil di rumah sendiri, Tim Tiga Singa---julukan Inggris, dibuat patah hati Jerman lewat adu penalti di babak semifinal.
Inggris juga pernah pulang pulang cepat di Piala Eropa 2000. Pernah dipermalukan penalti melengkung Andrea Pirlo ketika bersua Italia di perempat final Piala Eropa 2012 lalu.
Empat tahun lalu, malahan lebih menyakitkan dari yang pernah ada. Inggris disingkirkan Islandia, negara kecil yang baru tampil di Piala Eropa. Mereka kalah 1-2 dari negeri berpopulasi 400 ribu penduduk itu di babak 16 besar Euro 2016.
Dan memang, tidak ada nama Inggris dalam daftar tim nasional yang pernah memenangi Piala Eropa (Euro). Jangankan menjadi juara, sejak turnamen ini digelar pada 1960 silam, Inggris tak pernah bisa tampil di final.
Pencapaian maksimal Inggris hanyalah peringkat tiga. Itu terjadi di Euro 1968. Juga Euro 1996 saat Inggris menjadi peringkat tiga bersama Prancis.
Sebenarnya, mengapa, Inggris yang kompetisi sepak bolanya dianggap terbaik, tapi kesulitan meraih piala?
Sastrawan Sindhunata punya pengandaian menarik di buku Trilogi Sepak Bola nya yang terkenal. Romo Sindhunata menyebut Inggris sebagai ibu sepak bola yang kesepian.
Sejak sepak bola dimainkan di London pada 1863 oleh beberapa pemuda, selama bertahun-tahun, bola itu pergi ke mana-mana. Ia disayang oleh siapa saja. Ia seakan tidak mau lagi kembali ke pangkuan ibunya.
Si anak bernama bola yang bentuknya sederhana itu, ternyata malah jadi pengantar kesedihan bagi sang ibu nya.