Sebab, Mia sudah 'naik kelas' sebagai tunggal kedua. Dia main di laga ketiga dan menang. Sementara Zhang Ning masih menjadi pemain kelima. Dia kalah dari Meluawati yang menjadi kemenangan keempat Indonesia di final itu.
Beberapa tahun kemudian, waktu rupanya kembali mempertemukan mereka. Zhang Ning kembali bertemu Mia Audina di final Olimpiade 2004. Kala itu, Mia sudah membela Belanda setelah pindah mengikuti suaminya sejak tahun 2000.
Sebelum final Olimpiade itu, Mia sudah berstatus sebagai juara Eropa 2004. Sementara Zhang Ning sudah menjadi juara dunia 2003.
Itu final ideal. Final yang penuh  nostalgia. Dan seperti mengulang pertandingan di Piala Uber 1994, final Olimpiade 2004 itu kembali berlangsung ketat. Alot. Persis seperti final Piala Uber 1994 di Jakarta.
Mia memenangi game pertama dengan skor 11-8. Zhang Ning bangkit dan menang 11-6 di game kedua. Di game penentuan, Zhang Ning yang sudah lebih matang dibanding tahun 1994 silam, menang 11-7 dan meraih medali emas Olimpiade.
Ah, bicara pertandingan bulutangkis nostalgia memang tidak ada habisnya. Ada banyak cerita yang bisa dikenang.
Apapun itu, saya ingin berucap selamat kepada Zhang Ning atas penghargaan masuk BWF Hall of Fame. Sembari berharap, ada tunggal putri Indonesia di masa kini yang berprestasi hebat seperti Mia Audina di masa lalu. Salam bulutangkis. Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H