Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Luis Suarez dan Pelajaran Move On dari "Lingkungan Kerja Toksik"

23 Mei 2021   09:29 Diperbarui: 23 Mei 2021   20:06 1412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Luis Suarez merayakan golnya pada laga Liga Spanyol yang mempertemukan Atletico Madrid vs Elche di Stadion Wanda Metropolitano, Sabtu (19/12/2020).| Sumber: AFP/ OSCAR DEL POZO

Mata Luis Suarez sembab. Ia gembira sekaligus terharu. Sembari duduk di lapangan, tangan kanannya memegang gawai. Memberi kabar keluarganya lewat video call. Tepatnya berbagi kebahagiaan usai dirinya membawa Atletico Madrid jadi juara Liga Spanyol 2020/21.

Setengah jam beberapa menit sebelumnya, penyerang asal Uruguay ini memberi "pengumuman" kepada para pemerhati Liga Spanyol dan pecinta bola. Pengumuman perihal betapa Atletico sangat beruntung mendapatkan dirinya.

Atletico yang butuh menang di laga pamungkas Liga Spanyol agar bisa juara, malah tertinggal lebih dulu. Mereka tertinggal 0-1 di babak pertama dari lawannya, Real Valladolid.

Di babak kedua, cerita berubah. Hanya dalam 10 menit, Atletico membalik situasi. Angel Correa menyamakan skor di menit ke-57 setelah meliuk-liuk mengecoh empat pemain Valladolid.

Sepuluh menit kemudian, berawal dari kesalahan umpan pemain Valladolid di lapangan tengah, bola mengarah ke Suarez. Dia membawa bola, menang lari dari dua bek Valladolid. Lantas, mengarahkan bola ke pojok kanan gawang. Gol.

Kemenangan 2-1 itu cukup bagi Atletico untuk juara. Mereka mengumpulkan 86 poin dan tidak akan terkejar. Karenanya, Atletico tak perlu kepo mencari tahu kabar hasil pertandingan pesaing terdekatnya, Real Madrid yang menjamu Villarreal di saat bersamaan. Meski menang 2-1, Madrid harus puas menjadi runner-up (84 poin)

Dan, lakon utama dari sukses Atletico adalah Suarez. Bukan hanya gol penentu juara itu. Tapi, sepanjang musim ini, Suarez adalah pencetak gol terbanyak Atletico dengan 21 gol.

Didepak Barca, Suarez membuktikan belum habis di Atletico

Padahal musim lalu, Pelatih Atletico, Diego Simeone maupun fans Los Rojiblancos--julukan Atletico, sepertinya tak pernah membayangkan bila Suarez bakal bergabung.

Luis Suarez memainkan peran penting dalam sukses Atletico Madrid menjadi juara Liga Spanyol musim 2020/21/Foto: Getty Images
Luis Suarez memainkan peran penting dalam sukses Atletico Madrid menjadi juara Liga Spanyol musim 2020/21/Foto: Getty Images
Maklum, Suarez menikmati masa-masa bahagia di Barcelona. Dia dekat dengan Lionel Messi. Dia mencintai Barcelona. Begitu juga sebaliknya.

Enam tahun di sana, dia meraih banyak gelar. Meraih 13 piala. Utamanya piala 'bertelinga besar', Liga Champions di tahun 2015.

Ibarat pekerja kantoran, Suarez selama bertahun-tahun merasakan dirinya bekerja di tempat yang ideal. Tempat kerja yang membuatnya bahagia.

Namun, semua cerita itu berubah di akhir musim lalu. Ketika pria asal Belanda, Ronald Koeman datang sebagai pelatih. Suarez mulai merasakan ada toksik.

Barcelona yang dulunya menyenangkan, mendadak berubah menjadi lingkungan kerja toksik baginya. Suarez dipaksa pergi. Dia "dibuang".

Memang, ada yang menyebut Suarez pergi karena dirinya meminta perpanjangan kontrak empat tahun. Tapi, manajemen Barca hanya memberinya dua tahun. Tidak ada kesepakatan.

Ada pula yang menyebut Koeman tidak lagi membutuhkan Suarez karena usianya yang sudah tua dan rentan cedera. Pada 24 Januari lalu, dia genap berusia 34 tahun.

Apapun itu, Barca tidak lagi butuh Suarez. Sebab, bila masih butuh, bila sang pemain meminta perpanjangan kontrak, tentu akan dipenuhi permintaannya.

Barcelona lantas mendatangkan penyerang berusia 29 tahun asal Denmark, Martin Braithwaite. Barca bahkan memberinya kostum nomor 9 yang sebelumnya dipakai Suarez. Seolah dia dianggap bisa menggantikan Suarez.

"What really bothered me was when they (Barcelona) told me that I was old and that I could no longer play at a high level. That's what I did not like," ujar Suarez dalam wawancara dengan France Football.

Suarez pun tidak mau terjebak dalam lingkungan kerja toksik yang bisa merusak pikiran, mood, dan berdampak pada kinerjanya di lapangan. Dia memilih pergi bila memang sudah tidak diinginkan. Daripada menghabiskan musim di bangku cadangan.

Yang terjadi, Atletico membuka pintu untuknya. Dia pindah. Media lantas memajang foto ketika Luis Suarez menahan tangis kala meninggalkan Barcelona. Cintanya memang untuk Barca. Tapi, mau bagaimana lagi. Situasi sudah berubah.

"Barca didn't value me and Atletico opened their doors for me. I will always be grateful to this club for trusting in me," sambung Suarez.

Kepindahan Suarez membuat fans Barca marah. Mereka tidak habis pikir dengan keputusan manajemen Barca. Termasuk Messi. Meski, Messi mengaku tidak terkejut dengan situasi yang terjadi.

"You deserved to depart like what you are: one of the most important players in the club's history. Not for them to kick you out as they have done. But the truth is nothing surprises me any more," sebut Messi kepada Marca.

Seperti Suarez, di manapun, permata tetaplah permata

Kisah Luis Suarez di musim ini memang menyentuh. Dari pemain yang berprestasi, lantas mendadak "dipaksa cabut' dari lingkungan kerja yang dicintainya.

Kisah Suarez seperti kebanyakan yang dialami banyak orang. Seorang pekerja yang awalnya berprestasi. Dihargai di tempat kerjanya. Dihormati rekan-rekan kerjanya.

Namun, ketika ada bos baru yang datang, dia bukan lagi pekerja kesayangan. Sebab, sang bos ternyata kurang suka dengan dia. Meski, sikap dislike itu terkadang tanpa berdasar. Ada-ada saja alasannya.

Bukankah banyak orang yang memutuskan untuk resign dari tempat kerjanya karena beralasan tidak cocok dengan bos barunya? Karena alasan merasa tidak lagi diuwongke.

Suarez mungkin juga begitu. Dia memilih resign. Dia memilih untuk move on dari situasi yang tidak menghargai pencapaian hebatnya selama ini.

Namun, sebuah permata tetaplah permata. Mau dimanapun dia berada ya tetap permata. Suarez pun begitu. Pemain hebat ya tetap pemain hebat.

Di Atletico, El Pistolero--julukan Suarez memberi bukti bahwa dirinya belum habis. Dia menepis anggapan Koeman. Di usia 34 tahun, dirinya masih bisa main di level tertinggi.

Faktanya, jumlah golnya jauh di atas Braithwaite (2 gol). Bahkan, bila jumlah gol Braithwaite digabungkan dengan Antoine Griezmann (13 gol), masih lebih banyak golnya Suarez.

Dari kisah Suarez kita bisa belajar. Bahwa, lingkungan kerja toksik memang menyebalkan. Anda bisa saja menjadi korban dari lingkungan kerja seperti itu. Pilihannya hanya ada dua. Beradaptasi atau resign.

Bila bertekad beradaptasi tentu harus berubah. Tangkas menyikapi perubahan demi bisa survive. Termasuk adaptasi dengan sikap bos yang awalnya dislike, diubah menjadi bergantung pada Anda karena kemampuan yang Anda miliki. 

Dan bila memang memilih keluar, bukan berarti tamat. Sebab, kita masih bisa move on. Masih bisa meraih sukses di tempat lain. Seperti Suarez. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun