Dikutip dari Kompas.com, psikolog Tika Bisono menyebut, pihak-pihak yang melakukan hal itu adalah orang-orang yang tidak memiliki empati dan simpati.
Menurutnya, dalam ilmu psikologi, empati merupakan bagian dari kecerdasan emosi. Empati merupakan bagian dari kematangan seseorang dalam merespons peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Kematangan ini tak bergantung pada usia seseorang.
Sementara simpati merupakan rasa atau proses mental bukan hanya belas kasihan, tapi ada honor, suatu penghormatan (terhadap TNI).
Baginya, jika seseorang tidak merasa begitu terpukul atas musibah ini, mereka cukup tidak menuliskan apa pun. Atau cukup menunjukkan simpati sekadarnya. Seperti ucapan duka cita.
Tidak perlu sampai menuliskan kalimat-kalimat tidak sesuai dengan situasi yang justru menunjukkan mereka tidak memiliki simpati juga empati atas musibah yang terjadi.
"Semestinya, kita bisa lebih menaruh empati dan simpati terhadap peristiwa tenggelamnya KRI Nanggala-402. Para prajurit yang gugur itu explore untuk menjaga kedaulatan laut Indonesia. Kita enggak mau di posisi itu, mereka mau. Jadi kalau kita enggak mau tukar tempat, seyogyanya kita juga menghormati risiko pekerjaan yang mereka pegang," papar Tika.
Tika juga menyebut para pelaku itu sebenarnya hanya berani berkoar di media sosial. Sebab, mereka merasa berlindung di balik anonimitas media sosial.
Pelaku dalam kasus ini, beberapa diantaranya memang mengunggah komentar di akun sosial media anonim. Mereka begitu 'gagah berani' di media sosial.
Namun, ketika sudah tertanggap, sudah diketahui identitas aslinya di dunia nyata dan diminta mempertanggungjawabkan perbuatannya, mereka cenderung kehilangan arogansinya. Ujung-ujungnya minta maaf.
Padahal, sebenarnya, tidak sulit untuk bisa berempati terhadap keluarga prajurit yang gugur dalam musibah tenggelamnya KRI Nanggala-402.
Cukup mengandaikan, seandainya sampean (Anda) yang ada di posisi mereka. Bagaimana rasanya kehilangan sosok suami, ayah, keluarga untuk selamanya. Bagi orang yang mempunyai hati, itu saja sudah cukup.