Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Renungan Ramadan di Masa Pandemi, Kurangi Mengeluh, Perbanyak Syukur

14 April 2021   23:38 Diperbarui: 14 April 2021   23:49 1877
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bulan Ramadan tahun lalu menyisakan cerita tidak terlupakan. Betapa Ramadan yang sebelumnya hadirnya dirindukan dan disambut penuh kegembiraan, untuk pertama kali bak seperti "tamu tak dianggap".

Hari-hari di bulan Ramadan yang seharusnya diwarnai dengan banyak bersyukur, malah diisi dengan menggerutu. Mengeluh.

Masih teringat dalam ingatan, rapat pengurus masjid di perumahan saya yang berujung deadlock. Itu seiring kabar Covid-19 mulai merajalela di Sidoarjo.

Beberapa bapak-bapak menginginkan masjid tetap dibuka untuk kegiatan beribadah selama Ramadan. Pertimbangannya, masjid di perumahan hanya eksklusif untuk warga perumahan. Dan, Covid-19 dianggap 'belum sampai' di wilayah kami.

Namun, sebagian bapak-bapak ngotot, masjid tidak boleh ada kegiatan. Harus di lockdown. Alasannya, dikhawatirkan, berkumpulnya para jemaah bisa memunculkan klaster Covid-19.

"Kalau sudah ada yang kena, memangnya ada yang mau tagging jawab," cetus seorang bapak.

Pada akhirnya, masjid kami di-lockdown. Demi ketenangan bersama. Kami beribadah di rumah masing-masing. Jadwal imam sholat tarawih yang sudah disusun rapi pun tak terpakai.

Ramadan yang seharusnya membuat kita lebih mendekat ke masjid, justru sebaliknya. Kami malah menjauhi masjid. Mau bagaimana lagi.

Tentu saja, keputusan itu tidak bisa menyenangkan semua orang. Ada yang menggerutu. Termasuk anak saya yang kala itu memang belum tahu apa itu Covid-19.

"Yaaah, nggak bisa buka bareng teman-teman di masjid seperti dulu dong Ya," celetuk anak saya.

Tidak hanya urusan beribadah, kekhusyukan Ramadan tahun lalu juga diganggu kabar pekerjaan yang terdampak pandemi. Bila Ramadan sebelumnya ada tunjangan hari raya (THR) yang cair, di tahun lalu sungguh berbeda.

Jangankan ada THR, fee gaji menulis bulanan macet. Telat dibayar. Termasuk job mengisi pelatihan yang biasanya lumayan ramai, mendadak sepi. Semuanya terdampak Covid-19.

Suasana menyambut Lebaran yang biasanya buncah oleh kegembiraan, mendadak berubah jadi keprihatinan. Kalau kata orang Suroboyo, "riyoyo gak nggoreng kopi" sebagai satire atas keprihatinan.

Pandemi mengajari kita untuk lebih bersyukur

Namun, meski pandemi ini menyebalkan, ia mengajari kita satu hal. Ya, pandemi mengajari kita untuk lebih bersyukur.

Bahwa, di bulan Ramadan kali ini, meski masih dalam situasi pandemi, kita bisa move on dari tahun lalu. Tidak perlu lagi banyak mengeluh. Yang perlu diperbanyak adalah bersyukur.

Memang, ada saja hal yang menggoda kita untuk mengeluh. Namun, ada lebih banyak hal yang sebenarnya bisa disyukuri.

Bukan hanya mensyukuri yang didapat. Tapi, lebih penting untuk mensyukuri apa yang kita punya.

Ya, Ramadan kali ini harus diisi dengan banyak bersyukur. Semisal beribadah. Kita bersyukur kembali bisa beribadah di masjid.

Namun, kita tentu tidak ingin rasa syukur itu berubah menjadi lara. Karenanya, protokol kesehatan harus tetap dijalankan.

Di masjid perumahan saya pun begitu. Meski tren sebaran Covid di Sidoarjo sudah menurun, kami mewajibkan jemaah memakai masker, menjaga jarak, berwudhu sejak dari rumah, serta mengimbau warga yang kurang enak badan agar beribadah di rumah.

Ramadan tahun lalu juga mengajari kita tentang pentingnya memiliki prioritas dalam pengeluaran. Kita tidak sembarangan mengeluarkan uang karena merasa pemasukan sedang seret. Kita hanya mau keluar duit untuk hal-hal yang memang penting dan dibutuhkan.

Kini, ketika pemasukan sudah mulai mengalir lancar, sikap bijak dalam pengeluaran itu seharusnya dipertahankan. Bukan malah dilupakan karena merasa situasi keuangan sudah 'aman'.

Bukankah sudah menjadi rahasia umum, ketika puasa yang seharusnya orang bisa lebih berhemat karena tidak makan-minum sejak pagi hingga waktu berbuka, ternyata berlaku sebaliknya. Sebab, setelah Maghrib, banyak orang yang lantas 'balas dendam' dalam melakukan pengeluaran untuk belanja kebutuhan.

Berbagi meski masih pandemi, wujud syukur di bulan Ramadan

Bicara syukur, saya bersyukur dihadiahi pasangan hidup yang punya semangat sama dalam menjalani hidup. Bersama dia, mudah mengatakan "pandemi ini dijalani saja".

Padahal, sebagai 'bukan pekerja kantoran', saya pernah ikut merasakan dampak pandemi ini. Luar biasa dampaknya. Pekerjaan utama sempat tak tentu arah.

Tapi, kami melewatinya dengan santai saja. Malah banyak ketawanya. Nggak stress. Nggak bingung.

Prinsipnya, kami punya pemahaman yang sama dalam memaknai bahagia. Untuk bahagia nggak perlu ribet. Sederhana saja.

Apa yang bisa dilakukan ya dilakukan. Tak lupa, mensyukuri hal-hal kecil yang kami dapat. Semisal anak-anak sehat. Atau ada fee menulis berapapun ya disyukuri. Dinikmati.

Istri pernah menawarkan diri untuk 'membantu'. Padahal, dia sudah cukup lelah dengan urusan belajar daring dua bocah. Saya bilang, cukup dibantu dibanyakin doa saja. Urusan kerja biar saya saja.

Dan memang, Gusti Allah mboten sare. Dia tidak pernah ingkar janji. Banyak syukur, nikmat akan ditambah. Banyak doa, rezeki besar datang tanpa disangka.

Saya pun tak pernah mengira, di masa pandemi ini, 'kran rezeki' mendadak mengalir lebih deras. Bisa jadi, doa-doa istri saya yang jadi perantara terbukanya 'pintu langit'.

Ah ya, bila rezeki dimudahkan, jangan lupa, ada kewajiban untuk lebih banyak berbagi. Sebab, esensi Ramadan sejatinya ibadah sosial.

Dengan berpuasa, Allah tidak hanya ingin melihat ketaatan kita. Dengan merasakan lapar karena berpuasa, kita diajari untuk ikut merasakan betapa tidak enaknya lapar. Kita jadi tahu 'problem harian' yang dirasakan orang miskin di sekeliling kita.

Dari ikut merasa itu, kita jadi tergerak untuk mau berbagi. Kita jadi senang berbagi kepada sesama. Bersedekah. Apalagi, di bulan Ramadan ini. Ini ibarat masa-masa 'prime time' untuk bersedekah.

Dan sedekah itulah yang menjadi wujud syukur kita karena kembali dipertemukan dengan Ramadan. Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun