Teorinya begitu. Sebab, bila ada pemain out of form tetapi tetap saja dikirimkan ke turnamen di luar negeri, malah bisa berdampak tidak bagus bagi sang pemain bersangkutan.
Semisal bila dia kembali meraih hasil kurang bagus, dia akan jadi sasaran kritikan. Situasi itu bisa berdampak tidak bagus bagi sang pemain.
Situasi itu yang pernah terjadi pada tunggal putri Indonesia, Fitriani. Pemain asal Garut ini acapkali meraih hasil tidak bagus ketika tampil di turnamen BWF World Tour. Apalagi, persaingan di sektor tunggal putri memang sangat berat.
Fitriani lantas jadi sasaran nyinyiran netizen. Dia acapkali jadi korban perundungan di media sosial. Saya tidak tahu apakah penampilannya yang cenderung menurun karena terdampak nyinyiran netizen itu.
Yang jelas, Fitriani lantas 'diparkir'. Dia menepi. Fokus untuk memulihkan mental tandingnya yang kabarnya sempat drop.
Sejak awal tahun 2020 lalu, setahu saya, Fitriani sudah tidak dikirim tampil ke turnamen luar negeri. Termasuk di dua turnamen Asia di Thailand Januari lalu, tidak ada nama Fitri. PBSI mengirim Gregoria Mariska dan Ruselli Hartawan.
Ah, semoga Fitriani bisa segera move on. Toh, usianya masih terbilang muda. Masih 22 tahun.Â
Bagaimanapun, dia memiliki potensi. Ingat, Fitri masih menjadi satu-satu tunggal putri Indonesia yang pernah juara turnamen BWf World Tour. Saat dia juara Thailand Master Super 300 pada awal tahun 2019 silam.
Lalu, bagaimana dengan Jojo?
Untuk Jojo, tepat atau tidak keputusan PBSI sejenak 'memarkir' dirinya , jawabannya hanya akan terlihat di turnamen berikutnya. Ketika Jojo kembali tampil. Kemungkinan di All England yang digelar 17-21 Maret mendatang.
Andai dia tampil 'meledak' di All England nanti, jeda yang diberikan PBSI untuk Jojo berarti ampuh. Ampuh untuk mengembalikan fokus, semangat, dan juga penampilannya.