Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

MU, Imbang Rasa Kalah, dan "Fergie Time" yang Meremukkan Gigi

7 Februari 2021   13:16 Diperbarui: 7 Februari 2021   13:27 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi tadi, Manchester United (MU) merasakan bahwa sekat antara gembira dan sedih memang tipis. Sangat tipis. Saking tipisnya, gembira dan sedih bisa datang beriringan. Bergantian.

Di pekan-pekan sebelumnya, MU beberapa kali merasakan betapa nikmatnya menang lewat gol di menit akhir. Ketika pertandingan sepertinya akan berakhir imbang, mereka justru mendapatkan gol kemenangan.

Seperti ketika mereka mengalahkan Wolverhampton 1-0 lewat gol Marcus Rashford di menit ke-93 pada akhir Desember 2020 lalu. Atau ketika berhasil come back usai tertinggal dua gol lantas menang 3-2 lewat gol telat Edinson Cavani saat melawan tuan rumah Southampton pada 29 November lalu.

Malah pernah, MU mencetak gol kemenangan di menit ke 90+10 saat mengalahkan tuan rumah Brighton & Hove Albion 3-2 lewat penalti Bruno Fernandes pada 26 September lalu. Bahkan, di laga itu, wasit sudah meniup peluit akhir lalalu melihat tayangan VAR lantas menunjuk penalti.

Karena sering menang lewat gol di menit akhir itu, Pelatih Ole Gunnar Solskajer lantas disebut mewarisi "Fergie Time" nya sang pelatih legendaris, Sir Alex Ferguson. Fans sungguhan MU pasti paham makna Fergie Time tersebut.

Namun, pagi tadi, Fergie Time itu justru bak menampar muka MU. Mereka merasakan betapa menyakitkan kebobolan di menit akhir ketika ditahan imbang Everton 3-3 di Old Trafford, Minggu (7/2).

Bagi MU, hasil imbang itu seperti rasa kalah. Seperti 'kemalingan' di rumah sendiri. Betapa tidak, MU sempat unggul 2-0 di babak pertama lewat gol Edinson Cavani dan gol keren Bruno Fernandes.

Namun, di awal babak kedua, pemain-pemain MU seperti belum siap masuk ke lapangan. Everton bisa menyamakan skor hanya dalam tiga menit. Abdoulaye Dacoure dan James Rodriguez mencetak gol Everton di menit ke-49 dan ke-52. Skor pun berubah jadi 2-2.

Gol pertama Everton merupakan 'hadiah' dari kiper MU, David De Gea. Dia kurang peka dengan situasi ketika memblok sepakan Dominic Calvert-Lewin. Bola justru mengarah ke Dacoure.

Padahal, andai tidak diblok De Gea, bola akan bergulir meluncur jauh ke sisi kiri pertahanan MU. Sebab, tidak ada pemain Everton yang ada di kotak penalti MU. Hanya ada Dacoure yang itupun dikawal Luke Shaw.

Di menit ke-70, giliran kiper Everton, Robin Olsen yang memberi 'hadiah hiburan' ke MU. Olsen telat  membaca arah bola sundulan Scott McTominay usai meneruskan free kick Luke Shaw.

Memang, di sepak bola, arah bola hasil sundulan itu memang sulit ditebak. Namun, tayangan ulang memperlihatkan bila kaki Olsen nampak sangat berat untuk bergerak.

Gol itu membuat Tim Setan Merah kembali unggul. Hingga menit ke-90+4, skor 3-2 belum berubah. Rasanya, MU bakal menang.

Wasit Jonathan Moss bersiap meniup peluitnya tanda pertandingan usai. Pelatih MU, Ole Gunnar Solksjaer dan pemain-pemainnya di bangku cadangan rasanya sudah siap merayakan kemenangan.

Namun, kemenangan yang sudah di depan mata itu ambyar. Di menit ke-95, bermula dari tendangan bebas, Dominic Calvert-Lewin ada di posisi tepat untuk mencocor bola ke gawang. Dia memedaya De Gea dan Harry Maguire yang hanya bisa pasrah melihat bola mengarah ke gawangnya.

Solksjaer sebut timnya seharusnya menang

Gagal menang karena gol balasan lawan di menit akhir itu memang menyakitkan. Ole Gunnar Solskajer juga kesal. Dalam jumpa pers seusai pertandingan, Solskjaer meluapkan kekesalannya.

"Kami seharusnya pantas menang. Tapi, beginilah sepak bola. Anda harus mampu memaksimalkan peluang dan tidak kemasukan gol setiap lawan punya peluang," ujar Solskjaer dikutip dari BBC Sport.

Ole mengeluhkan ketidakmampuan timnya memaksimalkan peluang. Dari lima peluang, hanya tiga yang menjadi gol. Kali ini, MU tidak ganas seperti saat menang 9-0 atas Southampton pada tiga hari sebelumnya.

Ucapan Solskjaer itu tidak hanya mengeluhkan penampilan timnya, tapi juga menyindir Everton. Maklum, sepanjang laga, Everton yang lebih banyak bertahan dan menunggu diserang, hanya punya tiga peluang.

Data statistik BBC Sports, MU mendominasi permainan dengan penguasaan bola sebesar 62 persen. Everton hanay 38 persen. Sial bagi MU, tiga peluang yang didapat Everton sepanjang 90 menit plus beberapa menit, semuanya menjadi gol. Pertahanan kali ini bak 'sarang laba-laba'. Rapuh.

"Kami mendominasi permainan dan seharusnya menang. Fans bisa melihat, kami ingin menang. Bahkan, saat skor 3-2, kami ingin mendapatkan gol keempat," sambung Ole.

Komentar Ole itu menegaskan bahwa dirinya memang anak asuh Sir Alex  Ferguson. MU di era Ferguson dulu memang seperti itu. Mereka bermain menyerang. Meski unggul, MU terus menyerang demi mengakhiri laga tana was-was bakal dikejar lawan.

Ketika tertinggal, MU terus menyerang hingga bisa menyamakan skor. Bahkan berbalik menang. Sehingga lantas muncullah istilah Fergie Time untuk menggambarkan gol MU yang tercipta di menit akhir. Ferguson memang acapkali melihat jam tangannya jelang laga berakhir.

Kini, Ole Solksjaer merasakan betapa pahitnya menjadi "korban Fergie Time" itu. Betapa tidak enaknya kemasukan gol di menit akhir. Betapa
menyakitkan gagal menang di pertandingan yang seharusnya bisa dimenangi.

Ole menggambarkannya seperti rasa sakit ketika gigi dihantam. Sakitnya bahkan melebihi sakit gigi yang katanya lebih menyebalkan daripada sakit hati gegara cinta.

"The last kick of the ball kicks us in the teeth," ujar Ole.

Hasil imbang ini membuat MU bisa semakin tertinggal dari Manchester City dalam perburuan gelar. MU kini ada di peringkat 2 dengan 45 poin dari 23 pertandingan. Sementara City memimpin klasemen dengan 47 poin dari 21 pertandingan.

Artinya, bila City bisa meraih dua kemenangan hingga jumlah pertandingan mereka sama dengan MU, poin City bisa 53 poin. City bisa unggul 8 poin. Itu jarak yang susah dikejar. Terutama bila City-nya Pep Guardiola sudah menemukan konsistensi mereka.

Kini, fans MU tinggal berharap, malam nanti Manchester City bakal dikalahkan Liverpool. Manchester City bakal menghadapi Liverpool di Anfield, Minggu (7/2).

Pecinta bola tahu, Liverpool itu rival berat MU. Fans MU adalah haters Liverpool dan begitu pula sebaliknya. Namun, malam nanti, sejenak, fans MU rasanya tidak akan malu berharap Liverpool bisa mengalahkan City demi menjaga peluang mereka memburu gelar Liga Inggris musim ini. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun