Sumber kegembiraan menulis di Kompasiana itu ada banyak jenisnya. Salah satunya bila melihat ada kawan yang bersemangat bertanya, menulis, lantas memposting tulisan pertamanya. Bahkan, rasa gembira itu bisa berlipat bila yang bersangkutan semakin rajin menulis di Kompasiana.
Sebaliknya, kegembiraan itu akan berubah menjadi kesedihan bila kawan tersebut berhenti di tengah jalan. Semangat menulisnya memudar. Lantas, memutuskan tidak lagi menulis di Kompasiana.
Saya sempat beberapa kali merasakan perasaan itu. Ketika beberapa kawan yang awalnya sering berdiskusi demi menulis di Kompasiana, mendadak berhenti menulis.
Penyebabnya macam-macam. Ada yang karena alasan sibuk bekerja (menulis). Karena mereka jurnalis yang kerjanya menulis. Lantas, tidak sempat untuk menulis di Kompasiana. Ada juga karena alasan merasa tujuannya menulis tidak tercapai.
Seperti deja vu, kejadian beberapa tahun silam itu kembali berulang kemarin. Ya, pagi kemarin, sebuah pesan masuk di WhatsApp (WA) saya. Pesan dari seorang kawan yang selama Januari kemarin antuasias bertanya perihal Kompasiana. Lantas, berhasil memproduksi beberapa tulisan.
Ceritanya, dia baru saja membaca postingan admin Kompasiana perihal pengumuman para kompasianer peraih K-Reward edisi Januari 2021. Dari 186 nama yang muncul, ternyata tidak ada namanya.
Dia pun protes. Sebab, menurut hitung-hitungannya, tulisannya selama Januari mendapatkan jumlah pageviews yang 'memenuhi syarat' untuk mendapatkan K-Rewards.
"Lho, aku kok nggak dapat ya mas?"
"Kan sudah memenuhi target?"
"Alasannya apa ya mas?"
Mendengar pertanyaan beruntun, saya mencoba menjawab diplomatis.
"Lha yo nggak ngerti Leh. Yah mungkin hitungan pageviews K berbeda dari hitunganmu?"
Sebenarnya bukan diplomatis. Tapi lebih menghindari 'debat kusir' perihal sesuatu yang saya sendiri kurang tahu. Karena urusan K-Rewards memang urusannya yang berwenang mengurusi.
Bila mau bertanya seputar bagaimana memproduksi tulisan dan menulis di Kompasiana, saya masih bisa menjawabnya. Namun, kalau urusan itu, ampun bang jago !
Namun, saya lantas mencoba menyampaikan penjelasan. Lebih tepatnya memotivasi dirinya agar tidak berhenti menulis hanya karena belum mendapatkan K-Reward di bulan pertama ketika dirinya mulai konsisten menulis.
Sebab, saya tidak mau bila dia mendadak berhenti menulis seperti sebelumnya. Dia sebenarnya sudah terdaftar sejak dua tahun lalu. Namun, lantas berhenti total menulis di Kompasiana.
Nah, mumpung sekarang sedang menemukan semangat, saya tidak mau semangatnya yang saya ibaratkan seperti nyala lilin, mendadak padam hanya karena kabar itu.
Saya sampaikan, sejak dulu saya sering menyemangati kawan yang menulis di Kompasiana untuk tidak menjadikan K-Reward sebagai satu-satunya tujuan. Boleh tapi jangan jadi tujuan utama.
Sebab, bila tidak tercapai, rasanya sakit. Seperti mendapat undangan resepsi dari mantan yang menikah. erih. Â
"Menulis dulu. Nulis yang banyak. Konsisten. Nanti juga dapat (K-Reward)," pesan saya.
Anggap K-Reward sebagai cermin untuk bercermin
Saya memahami kekecewaannya. Sebab, saya tahu, beberapa tulisannya butuh usaha ekstra. Bahkan butuh waktu hampir dua jam untuk menuntaskannya. Tapi, pembacanya sedikit. Tidak sebanding dengan usahanya.
Saya memahami kecewanya seperti saya juga memahami bila ada kawan yang menulis di Kompasiana ingin mendapatkan K-Reward. Tidak ada yang salah dengan tujuan itu.
Lha wong dia menghasilkan karya berupa tulisan, tentu dia layak mendapatkan 'hadiah' dari ikhtiarnya berkarya. Siapa sih yang tidak mau diganjar hadiah dari usahanya? Asal jangan baperan lantas ngambek nggak mau menulis lagi bila tujuan belum tercapai.
Saya pun ketika menghasilkan cukup banyak tulisan, beberapa di antaranya terpilih jadi Artikel Utama dan mendapatkan pembaca lumayan, muncul harapan bakal mendapatkan K-Reward dalam jumlah lumayan.
Namun, bila ternyata hasilnya berbeda, ya disyukuri saja. Seperti bulan ini, senang bisa mendapatkan K-Reward. Lumayan untuk mentraktir anak-anak kue atau makanan via 'warung online'.
Kepada kawan tersebut, saya lantas mengajaknya menganggap K-Reward sebagai cermin. Menganalogikan cermin dengan kaca untuk berkaca.
Â
Seperti cermin, K-Reward bisa mengajak kita untuk bercermin. Melihat kembali apa yang telah kita perjuangkan di Kompasiana selama sebulan kemarin.
Apakah kita memang sudah konsisten menulis. Ataukah kita masih menulis dengan gaya lumba-lumba yang menyelam dan sesekali muncul ke permukaan--meminjam analoginya Pak Tjiptadinata Effendi.
Dari bercermin tersebut, kita bisa melakukan perenungan. Instropeksi. Bila ternyata belum konsisten, ya ditambah semangat menulisnya di bulan berikutnya.
Bila sudah konsisten, pastinya masih ada hal yang bisa diperbaiki. Semisal kualitas tulisan, mencoba menulis lintas tema, ataupun lebih aktif berkunjung dan berdialog dengan sesama Kompasianer.
Ya, saya berharap K-Reward bisa dipandang seperti cermin dengan fungsinya. Bukan seperti angin yang ketika berhembus akan memadamkan semangatnya yang seperti nyala lilin. Belum terang.
Yang terjadi kemudian, saya gembira karena dia kembali mengirim pesan via WA. Kali ini, dia mengabarkan bila tulisannya jadi Artikel Utama. Ada pula tulisannya yang terpilih jadi Terpopuler. Keren.
"Tulisanku jadi HL mas," ujarnya sembari menyertakan emoticon tertawa.
Saya gembira karena dia tidak patah semangat. Sebaliknya, dia semakin bersemangat untuk berusaha konsisten menulis di tengah rutinitas kerjanya. Semoga terus konsisten.
Semoga nyala lilin itu ke depannya akan semakin benderang. Mungkin berubah jadi sinar lampu. Sehingga, ia tidak akan mudah padam. Salam semangat menulis !!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H