Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Emak Kucing Kekinian dan Empat Anak Kucing yang Mendadak Piatu

12 Januari 2021   09:29 Diperbarui: 12 Januari 2021   09:54 623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi seharusnya menjadi momen membahagiakan. Pikiran seharusnya segar, sesegar embun di rerumputan. Bila hati bahagia dan pikiran segar, maka kita akan siap menghadapi hari yang terkadang kejam.

Saya biasanya mengawali pagi dengan berolahraga ringan di area kompleks perumahan. Berjalan kaki. Minimal 'melahap' 1000 langkah. Plus seminggu sekali bermain bulutangkis di lapangan. Itu cara saya untuk lebih banyak bergerak di masa pandemi.

Namun, pada Minggu kemarin, kegembiraan di pagi hari itu terusik. Pandangan mata saya tertuju pada kucing peliharaan di rumah yang nampak terdiam di kolong mobil.

Jelas bukan sedang tidur. Karena waktu sudah menunjuk jam 6 pagi.  Biasanya mereka sudah terbangun. Begitu saya mendekat, badannya sudah kaku. Kemungkinan sudah mati sejak malam.

Pantas saja, usai Shubuh, dia tidak ikut dalam antrean sarapan pagi bersama dua kucing lainnya. Biasanya, ketika saya membuka pintu untuk memanasi mesin motor, mereka sudah antre di depan pintu. Mengeong. Meminta makan.

Di musim hujan begini, saya sebenarnya lebih suka bila mereka tidur di dalam rumah. Namun, saat malam, mereka memilih ke luar. Nekat ke luar lewat jendela. Mungkin ingin merasakan bau hujan yang konon penuh kenangan itu.

Begitu diberitahu tahu kabar duka itu, dua anak saya yang tengah asyik berdiskusi di depan TV, lantas bersegera menengok kucingnya. Raut mukanya mendadak bersedih.

Lantas, bak detektif Kindaichi--tokoh manga favoritnya, mereka lantas menganalisis apa penyebab kematian sang kucing.

"Ayah, Bomba kira-kira mati kenapa ya? Kalau ketabrak mobil kok nggak ada darahnya. Kalau jatuh dari pohon kayaknya nggak mungkin, kan dia ngga senang manjat pohon," ujar si bungsu.

"Apa mati karena kedinginan ya? Atau digigit ular? Atau mungkin juga diracun orang? Tapi kok tega yang meracuni kucing," sambung kakaknya.

Merawat empat anak kucing piatu

Pertanyaan itu bahkan berlanjut sampai malam. Tapi yang jelas, temuan kucing mati itu serasa merampas ketenangan pikiran di pagi hari. Ada dua hal yang mendadak mengusik pikiran saya.

Pertama, tentu harus bersegara menguburkannya. Mencari lokasi penguburan. Masalahnya, beberapa lahan yang cocok untuk diplot sebagai 'tempat tidurnya', sebelumnya sudah dipakai untuk kuburan kucing.

Kedua, ini yang paling mengusik pikiran saya. Sebab, Bomba, kucing yang mati itu baru saja melahirkan empat anak. Sekira sebulanan. Kini, anaknya mendadak jadi piatu.

Di rumah memang total ada tujuh kucing. Si Chero, bapaknya empat anak itu, Bomba, lalu Chebo, si sulung anaknya Bomba yang baru berusia tiga bulanan.

Dulu, ketika Bomba baru melahirkan (lagi), saya sempat berujar, kucing-kucing itu sepertinya perlu diikutkan pelatihan agar paham pentingnya mengatur jarak kelahiran. Anak baru tiga bulan, kok melahirkan lagi. Langsung empat pula.

Saya dulu sempat mengomel ke Bomba. Lha wong dia malas-malasan menyusui anak-anaknya. Baru dimasukkan ke kandang agar menyusui anak-anaknya, dia sudah meminta keluar. Mengeong. Padahal sudah kenyang dijamu makan-minum.

Ah, ungkin dia sudah jadi kucing era kekinian yang senang bersosialita bersama kucing-kucing betina lainnya di perumahan. Karenanya, dia tidak betah bila harus menemani anak-anaknya. Duh.

Anak saya terkadang harus memegangi badan si Bomba. Menidurkannya agar anak-anaknya bisa menyusu dengan tenang. Sebab, bila tidak dipegangi, anak-anaknya sampai harus menyusu dengan posisi berdiri.

Khawatir keempat anak kucing itu kurang asupan, istri saya lantas mengasuh mereka. Setiap hari, istri membuat susu dari susu kemasan. 

Susu racikan itu dimasukkan ke dot kucing yang sebelumnya dibeli di toko yang menjual makanan kucing. Lantas, 'menyusui' satu demi satu anak kucing itu. Maksudnya menyusui dengan dot.

Kini, anak-anak kucing itu tidak akan lagi bertemu ibunya. Tidak heboh meminta disusui ketika ibunya datang. Mereka kini jadi piatu. Satu-satunya asupan untuk mereka ya dari dot susu itu.

Ya, tugas kami di rumah bertambah. Selama ini, saya lebih banyak bekerja menulis di rumah. Sementara istri mendampingi anak-anak belajar daring sembari berjualan via online.

Kini, kami harus ngopeni empat kucing piatu. Memastikan mereka mendapat asupan cukup. Termasuk dua kucing lainnya juga harus tercukupi makannya.

Saya percaya, bila kita baik dengan penghuni di bumi--baik itu manusia, hewan, dan tumbuhan--maka Yang di langit pun akan lebih baik kepada kita. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun