Pertanyaan itu bahkan berlanjut sampai malam. Tapi yang jelas, temuan kucing mati itu serasa merampas ketenangan pikiran di pagi hari. Ada dua hal yang mendadak mengusik pikiran saya.
Pertama, tentu harus bersegara menguburkannya. Mencari lokasi penguburan. Masalahnya, beberapa lahan yang cocok untuk diplot sebagai 'tempat tidurnya', sebelumnya sudah dipakai untuk kuburan kucing.
Kedua, ini yang paling mengusik pikiran saya. Sebab, Bomba, kucing yang mati itu baru saja melahirkan empat anak. Sekira sebulanan. Kini, anaknya mendadak jadi piatu.
Di rumah memang total ada tujuh kucing. Si Chero, bapaknya empat anak itu, Bomba, lalu Chebo, si sulung anaknya Bomba yang baru berusia tiga bulanan.
Dulu, ketika Bomba baru melahirkan (lagi), saya sempat berujar, kucing-kucing itu sepertinya perlu diikutkan pelatihan agar paham pentingnya mengatur jarak kelahiran. Anak baru tiga bulan, kok melahirkan lagi. Langsung empat pula.
Saya dulu sempat mengomel ke Bomba. Lha wong dia malas-malasan menyusui anak-anaknya. Baru dimasukkan ke kandang agar menyusui anak-anaknya, dia sudah meminta keluar. Mengeong. Padahal sudah kenyang dijamu makan-minum.
Ah, ungkin dia sudah jadi kucing era kekinian yang senang bersosialita bersama kucing-kucing betina lainnya di perumahan. Karenanya, dia tidak betah bila harus menemani anak-anaknya. Duh.
Anak saya terkadang harus memegangi badan si Bomba. Menidurkannya agar anak-anaknya bisa menyusu dengan tenang. Sebab, bila tidak dipegangi, anak-anaknya sampai harus menyusu dengan posisi berdiri.
Khawatir keempat anak kucing itu kurang asupan, istri saya lantas mengasuh mereka. Setiap hari, istri membuat susu dari susu kemasan.Â
Susu racikan itu dimasukkan ke dot kucing yang sebelumnya dibeli di toko yang menjual makanan kucing. Lantas, 'menyusui' satu demi satu anak kucing itu. Maksudnya menyusui dengan dot.
Kini, anak-anak kucing itu tidak akan lagi bertemu ibunya. Tidak heboh meminta disusui ketika ibunya datang. Mereka kini jadi piatu. Satu-satunya asupan untuk mereka ya dari dot susu itu.