Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Anak Kembali Belajar, Orang Tua Perlu Berbagi Peran Agar Tidak Stres

3 Januari 2021   22:31 Diperbarui: 3 Januari 2021   23:11 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Libur telah usai, saatnya kembali belajar. Bersiap-siap kembali stres. Anak kembali belajar di rumah, orang tuanya yang kembali dihantui stres.

Ya, bagi sebagian orang tua yang selama 'sekolah daring' tahun lalu merasa baik-baik saja, gambaran tersebut mungkin dianggap berlebihan. Lebay. Apa iya, hanya karena mendampingi anak belajar daring, orang tua jadi stres.

Tetapi memang, orang tua stres karena anaknya belajar daring ini nyata terjadi. Ada cukup banyak informasi yang bisa kita temukan di media online terkait berita orang tua stres ini. Ada juga kabar di sekitar kita. Meski, tidak semua orang tua mengalaminya.

Pengalaman pernah ikut mendampingi anak belajar daring di tahun 2020 lalu, membuat saya mendapati beberapa cerita perihal potret orang tua ketika anaknya belajar di rumah saja. Termasuk cerita orang tua yang rentan stres.

Bahwa, stres pada orang tua tersebut bermacam-macam pemicunya. Bergantung dari tipikal orang tuanya dalam mendampingi putra-putrinya belajar di rumah.

Ada orang tua yang menganggap bahwa tugas-tugas sekolah yang diberikan guru kepada anaknya, nilainya harus selalu sempurna.

Karenanya, ketika anaknya tidak bisa, maka orang tua-lah yang akan mengambil alih kewajiban anaknya. Mereka yang mengerjakan tugas yang dikerjakan di rumah itu. Ketika ternyata tugasnya sulit, maka orang tua pun stres.

Perihal orang tua yang 'hobi' mengerjakan tugas anaknya ini, saya pernah melihatnya langsung. Pernah ketika mengumpulkan tugas anak saya via grup WA, semisal tugas mengarang pelajaran bahasa Indonesia, saya pernah mendapati tulisan temannya yang luar biasa bagus dan rapi. 

Bukannya berburuk sangka. Tapi ya heran, tulisan anak kelas 2 SD tapi sama sekali tidak terlihat seperti tulisan bocah berumur 7-8 tahun.

Pernah juga mendapati cerita langsung dari teman yang memang melakukan itu. Ada yang karena alasan merasa kasihan sama anaknya tidak bisa mengerjakan tugasnya. Ada juga yang karena ingin nilai anaknya bagus.

Saya dan istri termasuk orang tua yang tidak berpikiran nilai tugas anak harus selalu sempurna sehingga kemudian kami yang mengerjakannya. Kami hanya mendampingi dan memberikan arahan. Selebihnya, anak-anak yang mengerjakan tugas-tugasnya sendiri.

Namun, menjadi orang tua tipikal seperti ini ketika belajar daring, bukan berarti bebas stres. Sebab, tidak setiap hari anak rajin. Terkadang, mereka juga bosan dan lantas bad mood karena setiap hari melakukan aktivitas yang begitu-begitu saja.

Nah, ketika anak tengah malas dan nggak mood untuk mengerjakan tugasnya sementara ada batas waktu jam sekian tugasnya sudah harus dikumpulkan, maka orang tua mendadak bisa stres.

Orang tua yang awalnya punya stok sabar melimpah, bisa berubah jadi uring-uringan. Marah-marah. Bukankah itu akumulasi dari stres.

Mengapa bisa begitu?

Sebab, kebanyakan orang tua, meskipun tidak memburu nilai sempurna, tetapi tidak mau bila anaknya dianggap tidak mengumpulkan tugas. 

Bila tidak mengumpulkan tugas berarti tidak mendapatkan nilai dari gurunya di mata pelajaran tersebut. Karenanya, mereka berupaya agar anaknya, tetap mengumpulkan tugas.  

Dipahami-Disabari, Solusi Anti Stres Saat Mendampingi Anak Belajar Daring

Hari-hari seperti itu yang kerap kami (saya dan istri) jalani selama anak-anak belajar daring di tahun 2020 lalu. Ada saja drama yang muncul ketika mendampingi si sulung kelas 4 SD dan si bungsu kelas 2 SD.

Namun, kami sadar, stres yang berwujud marah-marah, bukanlah yang dibutuhkan anak-anak saat belajar daring. Mereka sebenarnya hanya butuh dipahami dan disabari.

Dipahami. Sebagai orang tua, kita harus paham, bahwa bisa jadi mereka juga tertekan karena gaya bersekolahnya mendadak berubah.

Berubah bukan hanya karena tidak bisa bertemu guru dan teman-temannya di sekolah. Tetapi ada yang dulunya jarang mendapat pekerjaan rumah, kini setiap hari mendapat tugas di rumah. Ya namanya memang 'sekolah di rumah'.

Disabari. Sebagai orang tua, kita harus tahu bahwa terkadang anak-anak juga butuh jeda. Tidak bisa mereka dipaksa terus menerus mengerjakan tugasnya. Selesai tugas mata pelajaran A langsung mengerjakan tugas B. Mereka juga butuh jeda sejenak. Lha wong bila sekolah tatap muka saja ada masa istirahatnya. Jadi kita harus sabar.

Saya pernah mengalami itu ketika mendampingi si bungsu mengerjakan pelajaran agama. Benar-benar harus bersabar. Betapa tidak, si bungsu ini memang kurang suka menulis. Dia lebih suka berketerampilan membuat karya.

Jadinya, dari beberapa soal pilihan ganda dan esai yang harus dikerjakan, dia beberapa kali minta izin jeda. Katanya mau minum. Ke kamar mandi. Pegang kucing piaraan. Main bola di halaman. Ada saja alasannya untuk sejenak lepas dari tugasnya.

Padahal, soal-soal yang dikerjakan tidak terlalu banyak, tetapi satu jam belum selesai. Bila begitu ya memang harus sabar. Sabar menunggu dia kembali bersemangat mengerjakan tugasnya. Meski juga sambil diberi pengertian.

Orang Tua Perlu Berbagi Peran dalam Mendampingi Anak

Perlu digarisbawahi, bahwa mendampingi anak belajar daring bukan hanya tugas ibunya. Bila kebetulan ayahnya di rumah dan ada waktu untuk mendampingi si kecil belajar, kenapa tidak?

Sebab, bila hanya ibunya yang seolah wajib mendampingi anak belajar daring, risiko stres akan semakin besar. Terlebih bila si ibu tersebut tidak punya pembantu dan harus mengerjakan semua tugas di rumah seorang diri.

Sebagai 'tukang nulis' lepas yang lebih banyak bekerja menulis di rumah, tahun lalu saya punya cukup waktu untuk ikut memantau anak-anak selama belajar di rumah.

Karenanya, saya sering berbagi peran dengan istri dalam mendampingi mereka belajar. Ingat, orang tua hanya mendampingi. Bukan mengambil alih kewajiban belajar mereka.

Berbagi peran ini maksudnya, terkadang kami mendampingi one by one selama belajar. Semisal saya mendampingi si sulung dan istri bersama si bungsu.

Bisa juga berbagi tugas. Semisal ketika si sulung ada tugas melakukan gerakan olahraga di halaman rumah dan harus di-video, istri menjadi pengarah gerakan sementara saya yang bagian mengambil videonya.

Namun, wujud berbagi peran yang paling sering kami 'mainkan' adalah memilih spesialisasi pendampingan mata pelajaran. Semisal saya bagian mendampingi mata pelajaran agama, bahasa Indonesia, dan bahasa daerah (Jawa). Sementara istri bagian mata pelajaran matematika, bahasa Inggris, dan olahraga.

Bagi kami, pembagian yang sudah disesuaikan kemampuan masing-masing itu sangat membantu untuk mencegah stres. Semisal karena istri saya aslinya Jakarta, dia akan menyerah bila harus mendampingi anak mengerjakan tugas Bahasa Jawa yang tidak ia mengerti. Atau saya yang kurang bisa dalam matematika, juga ampun-ampun bila harus mendampingi belajar matematika.

Dengan pembagian peran itu, anak-anak bisa lebih semangat belajarnya. Orang tua juga terhindar dari stres. Kalaupun masih stres karena tingkah polah anaknya, kadarnya tidak besar.

Nah, apakah sampean (Anda) juga pernah punya pengalaman merasa stres kala mendampingi anak belajar di rumah. Kalau belum pernah, silahkan dicoba mulai Senin (4/1/2021) besok. Selamat kembali belajar. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun