Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perempuan Paling Hebat di Rumah Kami

22 Desember 2020   23:37 Diperbarui: 22 Desember 2020   23:37 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pandemi mengajari kita untuk lebih bersyukur. Lebih banyak syukur daripada mengeluh. Memang, ada saja hal 'receh' yang menggoda kita untuk mengeluh. Namun, ada lebih banyak hal yang sebenarnya bisa disyukuri.

Bukan hanya mensyukuri yang apa didapat. Tapi, lebih penting untuk mensyukuri apa yang kita punya.

Perihal syukur, saya bersyukur dihadiahi pasangan hidup yang sejiwa. Pasangan yang tidak hanya menjadi pendamping ketika merayakan keberhasilan, tetapi juga menjadi penyemangat di masa susah pandemi ini.

Sebagai 'bukan pekerja kantoran', saya pernah ikut merasakan dampak langsung dari pandemi ini. Luar biasa dampaknya. Kerjaan utama sempat tidak tentu arah. Pekerjaan selesai tapi imbalan (fee) nya tidak kunjung cair. Padahal, ada istri dan dua anak yang harus dicukupi.

Tapi, selama beberapa bulan, kami mampu melewatinya dengan santai saja. Malah banyak ketawanya. Nggak stress. Nggak bingung. Bersama dia, mudah untuk mengatakan "pandemi ini dijalani saja".

Orang lain mungkin melihat kami gembira setiap hari. Banyak senyum. Tidak uring-uringan. Mau pandemi kayak apa, seolah tidak berdampak. Padahal, sejatinya tidak begitu. Kami juga sempat dilanda kecemasan. Namun, kami bisa tenang.

Prinsipnya, kami punya pemahaman yang sama dalam memaknai bahagia. Untuk bahagia nggak perlu ribet. Sederhana saja. Apa yang bisa dilakukan ya dilakukan. Tak lupa, mensyukuri hal-hal kecil yang kami dapat. Disyukuri. Dinikmati.

Ketika saya bercerita tentang situasi kerjaan yang kusut di masa pandemi, dia menjadi pendengar yang baik lantas meresponsnya dengan kalem. Agar saya tetap berpikir tenang sembari tetap melakukan upaya yang bisa dilakukan demi mendapatkan tambahan penghasilan. Semisal dengan menulis di Kompasiana.

Dia pernah menawarkan diri untuk 'membantu'. Padahal, seharian, dia sudah cukup lelah dengan urusan belajar daring dua bocah yang tugas-tugasnya seolah tak pernah berhenti. Saya bilang kepadanya, bahwa saya cukup dibantu dibanyakin doa saja. Urusan kerja biar saya saja.

Dan memang, Tuhan Yang Maha Kaya, tidak pernah ingkar janji. Bahwa, rezeki itu datang dari banyak jalan. Ketika kita banyak syukur, nikmat akan ditambah. Banyak doa, rezeki besar datang tanpa disangka.

Saya pun tidak pernah mengira, di masa pandemi ini, 'kran rezeki' yang sempat macet, mendadak mengalir lebih deras.

Saya juga meyakini, jalan rezeki datang karena hubungan suami istri yang saling menguatkan dan saling mendoakan. Terlebih ketika menghadapi situasi sulit. Bisa jadi, doa-doa istri saya yang jadi perantara terbukanya  'pintu langit'.

Ah, dirimu memang keren bu. Bukan hanya di masa pandem ini. Tapi juga sejak saya memutuskan hidup bersamamu sepuluh tahun lalu. Hidup saya tenang dan senang.

Pagi tadi, ketika membuka gawai, mata saya tertuju pada pemberitahuan di Facebook sembilan tahun lalu. Ada sebuah tulisan "mom of the year 2011...selamat hari ibu istriku" sebagai narasi foto istri saya bersama anak pertama yang baru berusia tiga bulan.

Sampai sekarang, tulisan itu tidak pernah berubah. Bahwa, bagiku, dari 2011 hingga kini, dia masih pemegang gelar 'Women of The Year'. Perempuan paling hebat di rumah kami. 

Di rumah, istri memang menjadi satu-satunya perempuan. Dua anak saya keduanya laki-laki. Karenanya, dari dulu, dia paling cantik di rumah. Tidak ada saingannya. 

Selamat Hari Ibu, istriku. Terima kasih untuk semua hal baik yang bila semuanya dituliskan di sini, rasanya bakal 'melanggar' syarat ketentuan tidak boleh lebih dari 1500 kata. Karenanya, biarlah itu hanya kita yang tahu.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun