Menengok Timnas Belanda dalam beberapa tahun terakhir laksana mengamati siklus bulan. Belanda seperti bulan yang penampakannya bisa purnama, tetapi di lain waktu tak kasat mata. Hilang.
Timnas Belanda pun begitu. Dulu, mereka pernah menjadi tim top elit dunia. Pernah jadi juara Piala Eropa. Juga jadi "juara tanpa mahkota" di Piala Dunia. Namun, dalam enam tahun terakhir, mereka seolah lenyap ditelan bumi.
Ya, enam tahun silam, ketika Timnas Belanda tampil di Piala Dunia 2014, saya meyakini tim Oranje bakal punya prospek cerah di tahun-tahun berikutnya.
Bagaimana tidak, kala itu, Belanda mengawali turnamen dengan menang 5-1 atas juara bertahan Spanyol, salah satunya lewat gol "sundulan lumba-lumba" Robin van Persie yang ikonik. Meski kalah adu penalti dari Argentina di semifinal, Belanda bisa mengakhiri turnamen dengan senyuman usai mengalahkan tuan rumah Brasil 3-0 dalam laga perebutan "juara III".
Kala itu, Belanda punya banyak pemain muda potensial. Seperti kiper Jasper Cillessen (yang waktu itu berusia 25 tahun), Daley Blind (24 tahun), Stefan de Vrij (22 tahun), Bruno Martins Indi (22 tahun), Georginio Wijnaldum (23 tahun), Jordy Clasie (23 tahun), Quincy Promes (22 tahun), dan Memphis Depay (20 tahun).
Dengan memiliki banyak pemain-pemain muda yang sudah pernah mencicipi tampil di Piala Dunia, tidak sulit menyebut Belanda akan bisa berbicara banyak di Piala Eropa 2016.
Tapi, apa yang terjadi. Astaga, Belanda malah gagal lolos ke Piala Eropa 2016. Mereka kalah bersaing dengan Republik Ceko, Islandia, dan Turki selama penyisihan. Itu mimpi buruk bagi negara juara Piala Eropa 1988 ini. Potensi hebat anak-anak muda itu seolah tertinggal di Brazil pada 2014 lalu.
Dua tahun berselang, Belanda coba bangkit untuk lolos ke Piala Dunia 2018. Yang terjadi, mereka meraih hasil minimalis di laga Kualifikasi Piala Dunia 2018. Pada akhirnya, Belanda gagal lolos setelah kalah bersaing dengan Prancis dan Swedia di fase grup.
Belanda kembali jadi "purnama" bersama Ronald Koeman
Laksana siklus bulan, Belanda yang meredup akhirnya kembali terang. Mereka berhasil lolos ke Piala Eropa 2020 usai tampil apik di fase kualifikasi. Bersama pelatih Ronald Koeman, Belanda tampil gagah.
Di Grup C, Tim Oranje hanya kalah sekali dari 8 laga kualifikasi. Itupun kalahnya dari Jerman, tim juara dunia 2014. Catat, Belanda juga bisa mengalahkan Jerman.
Koeman dinilai bisa memaksimalkan potensi pemain-pemain Belanda 'warisan' Piala Dunia 2014 seperti Cillessen, Blind, Wijnaldum, Depay, dan Promes. Bila dulu mereka jadi pelengkap pemain senior era Van Persie, Arjen Robben, dan Wesley Sneijder, kini mereka jadi pemain pilar.
Koeman menggabungkan mereka dengan pemain anyar seperti Virgil van Dijk, Matthijs de Light, Nathan Ake, Frenkie de Jong, Donny van de Beek, hingga Steven Bergwijn.
Hasilnya, Belanda berjaya di kualifikasi. Mereka jadi "purnama". Mereka disebut punya prospek bagus di Piala Eropa 2020 yang baru dipanggungkan tahun 2021 nanti karena pandemi Covid-19.
Dengan Koeman sebagai pelatih dan pemain-pemain yang menjadi pilar di banyak klub top Eropa, fan Belanda di manapun pasti yakin, Belanda akan bisa "berbicara banyak" setelah menghilang di dua turnamen besar secara beruntun.
Tetapi memang, sejak dulu, Timnas Belanda selalu menarik diulik. Laksana bunga Tulip asal Belanda yang sedap dipandang, Timnas Belanda juga begitu. Turnamen besar rasanya "kurang bumbu" bila tanpa Belanda.
Yang terjadi kemudian, bayangan Belanda bakal tampil gagah di Piala Eropa tahun depan, mendadak jadi samar. Itu setelah Koeman mendadak mundur dari jabatan pelatih Timnas Belanda.
Koeman memilih untuk melatih klub yang dicintainya, Barcelona. Konon, dia memang sejak dulu memimpikan melatih klub yang pernah dibawanya jadi juara Liga Champions 1992 itu. Bahkan, di klausul kontraknya, ada poin yang berbunyi KNVB (PSSI-nya Belanda) harus melepasnya bila dia ingin melatih Barcelona.
Era Frank De Boer, Belanda kembali layu?
Lalu, bagaimana nasib Belanda selepas kepergian Koeman?
Belanda sempat menunjuk Dwight Lodeweges, asisten Koeman untuk memimpin Virgil van Dijk dkk. Hingga pada 23 September lalu, KNVB menunjuk Frank de Boer sebagai pelatih Timnas Belanda.
Bersama Lodeweges, Belanda sempat menang 1-0 atas Polandia di laga UEFA Nations League pada 4 September lalu. Tetapi tiga hari kemudian, Belanda kalah 0-1 dari Italia.
Terbaru, dalam laga uji coba melawan Meksiko di Amsterdam pada Kamis (8/10) lalu, Belanda kalah. Si Bunga Tulip kalah 0-1 di laga yang menjadi debut bagi Frank de Boer.
Memang, itu hanya pertandingan uji coba. Frank De Boer juga masih mencoba memainkan skema 4-3-3 nya dengan pemain-pemain yang ada di tim Belanda sekarang.
Namun, fakta bahwa Belanda kalah ketika tampil dengan skuad terbaiknya, jelas memunculkan tanya. Bahkan mungkin kekhawatiran. Belanda yang selama kualifikasi sulit kalah, kini malah sebaliknya.
Pendukung Belanda juga pastinya melihat jejak karier kepelatihan Frank De Boer yang tidak terlalu istimewa. Meski pernah jadi asisten pelatih di Piala Dunia 2010 dan membawa Ajax Amsterdam juara Liga Belanda 4 kali, tetapi De Boer pernah punya catatan buruk.
Tahun 2016 silam, ketika ditunjuk menjadi pelatih Inter Milan, dia hanya "berumur pendek". Frank De Boer hanya bertahan 85 hari sebelum dipecat setelah serangkaian hasil buruk yang diraih Inter. Masuk pada 9 Agustus, dipecat 1 November.
Lantas, di musim 2016-17, Frank De Boer ditunjuk melatih tim Premier League, Crystal Palace. Dia malah hanya bertahan 10 pekan. Dia dipecat setelah Crystal Palace kala beruntun di empat laga awal dengan tidak mampu mencetak satu gol pun. Itu "rekor" paling buruk sebuah tim di Liga Inggris selama 93 tahun.
De Boer menjadi pelatih dengan masa bakti paling singkat di Premier League. Hanya 450 menit. Oleh Jose Mourinho, Frank De Boer disebutnya sebagai "the worst manager in the history of the Premier League".
Toh, itu masa lalu. Semua orang punya masa lalu, entah bagus atau tidak. Tapi yang jelas, siapapun bisa terjatuh. Siapapun juga punya kesempatan untuk bangkit. Selama bisa memetakan masalah yang jadi penyebab kejatuhan dan memiliki motivasi kuat untuk bangkit, cerita move on itu bukan sekadar bualan.
Siapa tahu, Frank De Boer yang awalnya diremehkan dan dianggap tidak lebih baik dari Ronald Koeman, kelak bisa membawa Belanda berprestasi di Piala Eropa tahun depan.
Tapi yang jelas, Frank de Boer yang kini berusia 50 tahun, harus bisa memberi kegembiraan bagi fan Belanda. Dia harus bisa meyakinkan suporter Belanda bahwa Tim Oranje memang baik-baik saja.
Kesempatan itu datang pada akhir pekan ini dan tengah pekan nanti. Belanda akan tampil dalam dua pertandingan UEFA Nations League. Menghadapi Bosnia-Herzegovina di Zenica, Minggu (11/10). Lalu, tiga hari kemudian (14/10), Belanda menantang Italia di Bergamo.
Menarik ditunggu kiprah Timnas Belanda bersama De Boer. Fan Tim Oranje tentu ingin mendapat kabar bagus. Mereka tentu tidak ingin melihat "bunga tulip" yang terlihat bagus itu, kini malah layu sebelum berbunga. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H