Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Seperti Jackie Chan, Mulailah (Menulis) dari yang Paling Ringan

11 September 2020   08:58 Diperbarui: 11 September 2020   09:04 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagaimana caranya mengajari ilmu karate kepada seorang bocah yang sama sekali belum mengenal karate tetapi bersemangat ingin belajar?

Jackie Chan tahu jawabannya.

Aktor bela diri senior ini tidak langsung mengajari si bocah perihal 'teori-teori sulit' dalam karate. Dia tahu, cara itu malah akan membuat si bocah bingung.

Lantas, Jackie Chan mulai mengenalkan ilmu karate dari kebiasaan anak itu. Bahwa, si bocah biasa melempar jaket yang dia pakai ke gantungan baju dengan menggunakan kedua tangannya. Persis dengan gerakan melempar bola basket ke dalam keranjang.

Selama berhari-hari, setiap bocah itu datang ke rumah Jackie Chan untuk diajari karate, hanya itu yang diajarkan kepadanya. Ilmu melempar jaket ke gantungan baju.

Lama-lama, sang bocah merasa kesal. Dia yang akan tampil di turnamen karate, merasa tidak diajarkan apa-apa oleh sang guru. Sementara jadwal turnamen sudah semakin dekat.

Si anak yang awalnya bersemangat tersebut, mulai lemah semangat. Dia merasa telah membuang waktu. Bayangannya diajari karate, ternyata tidak sesuai harapannya. Dia pun lantas meluapkan kekesalannya. Tangisnya pecah diiringi rintik hujan.

Di saat itulah, sang guru membuka rahasianya. Bahwa, pelajaran melempar sweater ke gantungan baju itu sebenarnya bukan hanya iseng. Namun, itu adalah bagian dari dasar belajar karate.

Dengan rutin melempar sweater dengan kedua tangannya, tanpa sadar, si bocah telah dilatih untuk memperkuat lengan dan sikunya menjadi lebih kuat. Si bocah juga dilatih memperkuat kaki-kakinya. Itulah salah satu dasar dari belajar seni bela diri karate.

Ketika 'syarat dasar' sudah diberikan, barulah sang guru mengajarkan ilmu yang lebih tinggi. Gerakan-gerakan karate. Bahkan, mengajak sang bocah untuk 'blusukan' guna melihat langsung para master karate.

Pada akhirnya, sang bocah tidak hanya menguasai ilmu karate dan juara di turnamen itu. Mentalnya juga lebih kuat. Dari bocah usil yang merasa terintimidasi, dia berubah menjadi anak yang kuat dan berani tanpa kehilangan sisi kebocahannya. Bukan anak songong karena merasa bisa ilmu bela diri lantas mengintimidasi teman-temannya.

Ilmu menulis dari hal yang paling ringan

Kisah Jackie Chan dan bocah belajar karate itu merupakan cuplikan dari kisah film The Karate Kid versi baru yang beberapa kali sudah tayang di televisi. Bilapun cerita di tulisan ini tidak sama persis, anggap saja itu bagian dari 'pengembangan skenario'.

Saya teringat dengan kisah Jackie Chan tersebut karena merasa menjalani cerita yang mirip-mirip. Atau mungkin saya yang memaksakan agar mirip.

Sekadar berbagi cerita, di masa pandemi ini, saya didaulat menjadi mentor bagi adik-adik mahasiswa semester yang ingin belajar menulis. Mereka tergabung dalam wadah "Merdeka Belajar" sebuah kampus di Sidoarjo.

Konsepnya, adik-adik mahasiswa itu tidak belajar di kelas. Namun, mereka 'praktik' menulis di media yang coba saya besarkan dengan beberapa kawan di Sidoarjo.

Pendek kata, mereka 'magang' menjadi wartawan meski sebelumnya tidak pernah melalui tes menjadi wartawan. Jangankan jadi wartawan, ilmu menulis pun belum mereka dapatkan. Sebab, dasar-dasar jurnalistik memang baru diberikan di semester ini.

Namun, saya menyukai semangat mereka untuk mau belajar. Bagi saya, dalam belajar menulis, semangat itulah yang terpenting. Bila punya semangat, meski mungkin awalnya terasa sulit, mereka tidak akan mudah menyerah. Lain cerita bila tak punya semangat, apalagi sudah merasa 'gelasnya penuh'.

Mencoba meniru cara Jackie Chan, saya mengawalinya dengan membekali mereka ilmu dasar menulis. Seperti mengenalkan apa itu berita, jenis berita, nilai berita (value news), bagian-bagian berita.

Lalu tentang cara mendapatkan ide tulisan, pemahaman mengapa peristiwa A layak ditulis menjadi berita dan peristiwa B tidak layak, serta urut-urutan dalam menulis berita.

Setelah punya sedikit bekal, saya mengajak mereka untuk mulai menulis semua hal yang menurut mereka paling mudah untuk ditulis. Hal-hal yang mereka senangi sehingga akan terasa mudah menulisnya.

Semisal menulis tentang aktivitas kampus di masa pandemi. Seperti menengok 'wajah' unit kegiatan mahasiswa, dinamika belajar daring bagi mahasiswa, hingga menulis kisah temannya, dosennya, atau tetangganya yang menarik atau bahkan inspiratif.

Atau juga menuliskan tentang apa yang mereka lihat di kampung mereka. Termasuk bila melihat ada ruas jalan rusak, sungai yang penuh sampah, jembatan penyeberangan orang yang tidak terawat, ataupun lampu penerangan jalan yang tidak berfungsi. Semuanya bisa mereka tulis.

Seperti kisah Jackie Chan yang harus bersabar meladeni pertanyaan dan protes muridnya, saya pun berusaha belajar menjadi begitu. Belajar sabar.

Dalam dua pekan terakhir, hampir setiap hari, ada beberapa mahasiswa yang bertanya, tepatnya berdiskusi daring perihal tema yang akan mereka angkat menjadi tulisan.

Ketika mengetahui mereka antusias mengirimkan tulisan di email dan beberapa bahkan sudah ada yang 'berbentuk berita' dan hanya butuh sedikit polesan, itu rasanya seperti ketika Jackie Chan melihat anak didiknya menjadi juara turnamen. Senang.

Ya, senang ketika bisa memposting tulisan mereka di media daring, lantas menunjukkan tautan beritanya ke grup WA yang di dalamnya ada bu dosen mereka. Saya yakin, itu akan membuat mereka senang, bangga, dan semakin termotivasi.

Memang, ada beberapa anak yang tulisannya belum jadi. Masih harus banyak diperbaiki. Namun, itulah tugasnya mentor. Mengedit dan membenahi tulisan yang belum jadi itu agar lebih enak dibaca.

Lantas, dari tulisan yang sudah jadi itu, termasuk tulisan yang sudah ditayangkan di media, saya mengajak mereka untuk membaca ulang dan membandingkan dengan tulisan awal mereka.

Dengan begitu, mereka bisa tahu bagian mana saja yang telah diubah, direvisi, dan bagaimana rasa perubahannya. Harapannya, dengan belajar mengkomparasi tulisan itu, tulisan mereka berikutnya akan lebih bagus.

Yang penting semangat dan memulai dari yang 'ringan'

Kenapa kok anak-anak yang awalnya tidak menguasai 'jurus menulis' itu bisa menghasilkan tulisan?

Karena mereka punya semangat untuk belajar. Dengan adanya semangat itu, tugas orang yang membimbing mereka menjadi lebih mudah. Sang mentor hanya perlu mengarahkan, memotivasi, dan bersabar.

Setelah punya semangat, bagian terpenting lainnya adalah memulai menulis. Sebab, semangat saja tanpa mau mengawali menulis ya sama saja dengan omong kosong.

Nah, dalam memulai menulis, agar semangatnya bisa terus terjaga, mulailah menulis hal-hal ringan yang mudah untuk menulisnya. Hal-hal ringan itu bisa berupa tema yang memang kita suka.

Dengan menyukai tema tersebut, kita berarti rutin mengikuti informasinya. Tahu update kabarnya. Sehingga, kita sudah punya materi dan hanya perlu menuliskannya.

Sebenarnya, dalam menulis, definisi tema yang ringan dan berat itu relatif. Tidak baku. Satu orang dengan lainnya bisa punya pandangan berbeda.

Ada yang menganggap menulis politik itu sulit, orang lainnya justru menganggap menulis politik itu mudah saja. Ada yang merasa merajut puisi atau cerpen itu sulit, sementara yang lainnya justru merasa itu sebaliknya. Terpenting adalah memulai sebagai bagian belajar dan berproses.

Seperti Jackie Chan di film The Karate Kid itu. Dia berhasil mendidik si bocah yang hanya bermodal semangat itu menjadi juara karena bisa memberikan pemahaman yang benar. Pemahaman dari hal yang paling sederhana. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun