Mata Julen Lopetegui basah laksana rumput dibasuh embun pagi saat wasit Danny Makkelie asal Prancis meniup peluit yang mengakhiri laga final Europa League, Sabtu (22/8) dini hari tadi. Dia tak kuasa membendung haru kala tim asuhannya Sevilla, jadi juara usai mengalahkan Inter Milan 3-2.
Beberapa detik kemudian, yang terlihat hanya kegembiraan. Lopetegui memeluk staf dan pemain-pemainnya. Lantas, pemain-pemainnya 'membalas' dengan menerbangkan badan sang pelatih ke udara. Sebuah selebrasi untuk sang pelatih.
Wajar bila Lopetegui larut dalam haru. Bila melihat betapa kehidupan berubah menjadi keras baginya dalam dua tahun terakhir, gelar juara Europa League bersama Sevilla itu sangat bermakna baginya.
Sampean (Anda) yang rajin mengikuti kabar bola, pastinya tidak asing dengan nama Julen Lopetegui. Dua tahun lalu, pelatih kelahiran Spanyol ini pernah bikin heboh.
Betapa tidak heboh, Lopetegui yang meloloskan Timnas Spanyol ke Piala Dunia 2018, justru memilih mundur ketika turnamen akan dimulai. Penyebabnya, dia lebih memilih 'bujuk rayu' tawaran melatih Real Madrid.
Yang terjadi, nasib Lopetegui di Real Madrid justru berakhir tragis. Bayangkan, di bulan Oktober 2018 atau ketika kompetisi baru berjalan tiga bulan, dia sudah dipecat seiring rentetan hasil buruk yang diraih Madrid.
Lopetegui sempat 'menganggur' dari aktivitas melatih klub. Baru musim 2019/20 lalu, pelatih berusia 53 tahun ini kembali melatih. Sevilla-lah yang dipilihnya.
Dan, pagi tadi, dia merasakan betapa hidup itu adil. Hidup yang sempat begitu kejam itu kembali terasa manis baginya.
Menengok kisah Lopetegui, saya jadi teringat kisah Scott Murphy di film Touchback yang rilis April 2012 lalu. Sebuah film yang berkisah tentang manisnya 'kehidupan kedua'.
Scott Murphy, mulanya dia atlet football top yang meraih kejayaan di usia 20 tahun. Di usia 20 tahun, dia sudah menjadi superstar. Kaya dan tenar. Kisah awal itu boleh kita sebut sebagai kehidupan pertamanya.
Yang terjadi kemudian, cedera kaki yang dialaminya di sebuah pertandingan, membuat kehidupannya langsung berubah. Kakinya cacat. Hidupnya tak lagi sama. Dia memilih bertani demi bertahan hidup.
Sibuk memikirkan hutang bank dan hasil panen membuatnya kehidupan rumah tangganya tidak lagi manis. Dua anaknya tak lagi mendapat sentuhan kasih sayang utuh. Begitu juga istrinya.
Itulah kehidupan kedua Scott Murphy. Kehidupan yang membuatnya bekerja keras. Jatuh bangun demi mengembalikan kebahagiaan seperti sebelumnya. Namun, dia tak mau menyerah. Baginya, selama masih ada kemampuan dan kesempatan, menyerah bukan pilihan. Pada akhirnya, dia bisa merasakan manisnya kehidupan yang baru.
Drama jatuh bangun Lopetegui membangun kariernya
Sebuah kebetulan, ketika film Touchback dipertontonkan ke publik pada 2012 silam, di tahun itu pula, Lopetegui memperkenalkan dirinya ke publik. Lopetegui yang memulai karier pelatihnya dari bawah, merasakan manisnya sukses.
Dia berhasil membawa Tim Spanyol U-19 jadi juara Piala Eropa U-19 yang digelar di Estonia. Di final, Tim Spanyol U-19 dibawanya menang 1-0 atas Tim Yunani U-19.
Beberapa pemain asuhan Lopetegui kala itu yang kini menjadi pemain tenar adalah kiper Kepa Arrizabalaga (Chelsea), Juan Bernat dan Jesse (Paris Saint Germain), Paco Alcacer (Dortmund/Villarreal), Gerard Deulofeu (Watford). Serta, Suso yang kini bersama Lopetegui di Sevilla.
Setahun kemudian, giliran Tim U-21 Spanyol yang dibawa Lopetegui juara di turnamen Piala Eropa U-21 2013. Di final, Spanyol mengalahkan Tim Italia U-21 dengan skor 4-2.
Beberapa anak muda Spanyol yang kala itu mendapat polesan Lopetegui diantaranya David De Gea (Manchester United), Marc Bartra (mantan pemain Barcelona), Asier Illarramendi (mantan pemain Real Madrid), Thiago Alcantara (Bayern Munchen), Isco (Real Madrid), juga Koke dan Alvaro Morata (Atletico Madrid).
Dua gelar beruntun dalam dua tahun bersama tim muda Spanyol itu menjadi bukti bahwa Lopetegui memang bisa melatih. Dia bisa menyatukan anak-anak muda berbakat menjadi sebuah tim yang solid dan lapar gelar.
Tiga tahun kemudian, Lopetegui ditunjuk oleh Federasi Sepak Bola Spanyol (RFEF) untuk melatih tim senior Spanyol usai gagal total di Piala Eropa 2016. Target untuk Lopetegui jelas. Dia diharapkan membawa Spanyol ke Piala Dunia 2018.
Hasilnya, Spanyol dibawanya tak terkalahkan selama penyisihan grup. Menang sembilan kali dan imbang sekali. Diantaranya kemenangan 3-0 atas Italia dan dua kali kemenangan 8-0 atas Liechtenstein. Spanyol pun lolos ke Piala Dunia 2018.
Rakyat Spanyol pastinya menaruh harapan besar kepada Lopetegui di Rusia 2018. Bila tim U-19 dan tim U-21 Spanyol bisa dibawanya juara Eropa, mengapa tidak dengan tim senior di Piala Dunia?
Namun, Lopetegui justru memilih jalan lain. Dia memilih mundur ketika turnamen akan dimulai. Sebagai manusia biasa, dia tidak kuasa menolak tawaran melatih Real Madrid.
Dan memang, siapa pelatih yang kuasa menolak tawaran Real Madrid. Ketika klub top, kaya sejarah dan iming-iming gaji besar di depan mata, Lopetegui pun kuasa menolaknya. Terlebih, dia punya ikatan emosional karena pernah berkostum Madrid saat menjadi pemain (kiper).
Namun, komunikasi yang buruk, membuat Federasi Sepak Bola Spanyol meradang. Lopetegui dituding 'main belakang'. Beberapa media Spanyol pun menudingnya 'gila jabatan'. Citranya buruk.
Apalagi ketika pekerjaannya di Madrid ternyata tidak berjalan lancar. Setelah urung tampil di Piala Dunia, kariernya di Madrid juga berakhir cepat. Sejak itu, cerita hidup Lopetegui tak lagi sama.
Sempat menganggur, Lopetegui memulai "kehidupan kedua" di Sevilla
Dia memulai 'kehidupan kedua' yang jauh berbeda dari sebelumnya. Di sisa kompetisi musim 2018/19, Lopetegui 'menganggur' sejenak dari aktivitas melatih. Dia rupanya butuh waktu untuk jeda. Untuk merenungi apa yang dialaminya. Lebih tepatnya keputusan salah yang dibuatnya.
Toh, semua manusia pernah keliru. Namun, semua orang juga selalu punya kesempatan kedua untuk memperbaiki kesalahannya. Lopetegui pun begitu. Awal musim 2019/20 lalu, ketika Sevilla datang mengajaknya bergabung, dia tak ragu mengiyakan.
Lopetegui ingin memulai lembaran baru. Dia ingin membuktikan bila dirinya masih ada. Dia ingin menunjukkan bahwa dirinya sudah bisa bangkit dari pengalaman pahit di Real Madrid. Itu hanyalah masa lalu yang sudah berlalu.
Di awal musim 2019/20, namanya mungkin terlupakan. Namun, ketika Sevilla tampil bagus di Liga Spanyol dan akhirnya bisa finish di empat besar, orang mulai ingat pada Lopetegui. Padahal, di dua musim terakhir Liga Spanyol, Sevilla hanya mampu finish di urutan 6-7.
Terlebih ketika dia bisa membawa Sevilla yang 'tidak diunggulkan' di Europa League, ternyata bisa melangkah jauh. Ya, meski sering juara, tapi Sevilla bukan unggulan di kompetisi kedua Eropa setelah Liga Champions ini.
Sebab, masih ada AS Roma, Manchester United, juga Inter Milan, tim dengan nama tenar dan berpengalaman tampil di Liga Champions.
Karenanya, ketika Sevilla bisa menyingkirkan AS Roma di babak 16 besar dan memulangkan Wolverhampton Wanderers di perempat final, Sevilla belum dilirik. Banyak orang lebih suka bila Manchester United bertemu Inter Milan di final yang mereka anggap final impian.
Baru ketika Sevilla bisa menyingkirkan Manchester United lewat kemenangan 2-1 di semifinal (17/8), orang mulai ingat bahwa tim Spanyol ini memang tidak bisa diremehkan. Sevilla dianggap punya DNA Europa League.
Dan, di final dini hari tadi, Sevilla membuktikan itu. Menghadapi Inter Milan di Kota Koln, Jerman, gawang Sevilla sudah jebol di menit kelima oleh penalti Romelu Lukaku.
Yang terjadi kemudian, striker asal Belanda, Luuk de Jong, berbalik membawa Sevilla unggul lewat dua golnya di menit ke-12 dan 33. Inter segera bereaksi di menit ke-35 lewat sundulan Diego Godin. Skor pun sama 2-2.
Di babak kedua, laga final yang memang diprediksi berjalan ketat ini mendapat pembenaran. Di menit ke-74, bek Sevilla, Diego Carlos melepas "tendangan sepeda" yang mengarah ke gawang Inter. Lukaku yang berdiri di depan gawang berniat menghalau bola. Apa daya, bola malah masuk ke gawangnya sendiri.
Itu gol terakhir di laga itu. Upaya pelatih Inter, Antonio Conte memasukkan Alexis Sanchez, Christian Eriksen, Victor Moses, juga Antonio Candreva untuk menyamakan skor, gagal. Sevilla pun menang 3-2. Mereka meraih gelar keenam di turnamen yang dulunya bernama Piala UEFA ini.
Dalam wawancara dengan UEFA.com seusai final, Lopetegui mengaku beruntung bisa dipertemukan dengan Sevilla di 'kehidupan kedua' nya.
"Saya punya dua tahun yang hebat di (Timnas) Spanyol dan hanya waktu singkat di Real Madrid. Kini, saya sangat beruntung bisa berada di klub ini. Ini klub yang luar biasa," ujar Lopetegui.
Rahasia sukses Lopetegui
Sebenarnya, apa rahasia Lopetegui di Sevilla?
Yang namanya permata, meski berada di kubangan lumpur sekalipun, dia tetaplah permata. Lopetegui juga begitu. Dia tetaplah pelatih hebat meski sempat menganggur. Dia membuktikan sentuhannya bekerja di Sevilla.
Padahal, Sevilla musim ini banyak dihuni pemain yang 'terbuang' dari klub sebelumnya. Bahkan mungkin dianggap sudah habis masa jayanya. Seperti kapten tim, Jesus Navas (34 tahun), Fernando (33 tahun), Ever Banega (32 tahun). Termasuk Franco Vazquez yang berusia 31 tahun dan Sergio Escudero (30 tahun).
Selain itu, beberapa pemain Sevilla juga bisa dibilang "pemain yang terbuang". Mereka awalnya bermain di klub top, tetapi karena kemudian gagal menembus tim utama seiring dinamika yang terjadi, mereka lalu terbuang.
Di antaranya gelandang Suso yang pernah ngetop bersama AC Milan dan Liverpool. Penyerang muda, Munir El Haddadi yang pernah berkostum Barcelona. Juga, bek kiri Sergio Reguilon yang dipinjam dari Real Madrid.
Oleh Lopetegui, lewat sentuhan personal ala pakar motivasi, para pemain berusia tua itu disulapnya menjadi 'kembali muda' dan menjadi sekumpulan pemain yang masih 'lapar prestasi'. Mereka tampil bersemangat bersama Lopetegui.
Lopetegui juga mampu membangun chemistry di Sevilla. Ada beberapa pemain yang baru bergabung di Sevilla pada musim 2019/20 ini. Seperti Fernando, Reguilon, Youssef En-Nesyri, serta sang pencetak gol Lucas Ocampos. Mereka bisa disatukan dengan pemain lawas seperti Navas dan Banega, lantas membentuk Sevilla menjadi tim solid.
Simak komentar playmaker Sevilla, Ever Banega selepas Sevilla juara dini hari tadi. Dia mempersembahkan gelar itu khusus untuk Lopetegui.
"Ketika saya mulai down, dia mengangkat saya dan meyakinkan saya bahwa tanpa kerja keras, saya tidak akan mendapatkan apapun. Saya berterima kasih kepadanya. Saya seperti mendapatkan 'baterai' baru. Gelar ini untuknya," ujar Banega.
Seperti kisah Scott Murphy yang merasakan manisnya 'kehidupan kedua' dengan cara yang jauh berbeda dari kehidupan pertamanya, Lopetegui juga menikmati kebahagiaan serupa.
Sevilla mungkin tidak gemerlap seperti Real Madrid. Namun, Lopetegui justru mendapatkan kebahagiaan yang dicarinya. Bahagia karena dirinya dihargai manajemen dan pelatih. Juga kenyamanan karena dikelilingi pemain yang respek dan menyayangi dirinya.
Selamat untuk Sevilla. Selamat untuk Lopetegui. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H