Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Santun Saat Berutang, Jangan Jadi "Belut" Saat Ditagih

8 Agustus 2020   14:31 Diperbarui: 8 Agustus 2020   14:27 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Banyak orang bersikap santun saat akan meminjam uang. Namun, tidak sedikit yang malah hilang kesantunannya ketika ditagih utangnya. Padahal, sudah waktunya untuk melunasi utang. Malah ada yang sulit ditemui, bahkan marah-marah.Foto: Republika.co.id


Kompasianer senior, Mas Katedrarajawen, menggambarkan hidup tidak punya utang itu ibarat sayur tanpa garam.

Dalam tulisan berjudul "Tidak Punya Utang, Ibarat Sayur Tanpa Garam", Mas Katedra yang tak hanya senior karena aktif di Kompasiana sejak 2009 lalu, tetapi juga 'senior' dalam produktivitas menulis karena telah menulis lebih dari 5000 tulisan, menyebut berutang itu memang lebih nyaman dan enak. Menurutnya, itu sudah otomatis tertanam dalam pikiran.

Saya mengamini ujaran Mas Katedra itu. Bahwa hidup tanpa pernah berutang memang ibarat sayur tanpa garam. Rasanya hambar. Bahwa berutang itu memang enak.

Saya pun pernah merasakan enaknya berutang ketika dulu mengajukan Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) ke sebuah bank beberapa bulan sebelum menikah. Waktu itu, saya memutuskan meminjam di bank demi ingin punya rumah.

Saya dulu termotivasi oleh ucapan seorang bapak di kampung. Kata dia, "hanya orang-orang berani yang wani berutang (ke bank). Kalau tidak berani utang akan sulit punya rumah".

Dulu ketika bekerja di 'pabrik koran', saya juga pernah meminjam duit di koperasi kantor karena ada kebutuhan penting yang mendesak. Meminjam duit di koperasi kantor itu enak. Sebab, untuk melunasinya tidak berasa karena dipotong dari gaji bulanan.

Dalam skala yang jauh lebih kecil, saya dulu juga pernah meminjam duit kepada kawan di tempat kerja. Jumlahnya tidak banyak. Gara-garanya, ada urusan mendadak yang harus segera diberesi keuangannya. Sementara saldo di ATM kurang dari jumlah tersebut. Jadilah utang itu solusi ampuh untuk mengatasi urusan tersebut. Enak.

Pernah jadi 'target utang' jadi hafal modus berutang

Tidak hanya pernah menjadi orang yang berutang, saya pun pernah beberapa kali berada di posisi memberi utangan. Sejak zaman tinggal di kos-kosan saat kuliah dulu, hingga kini.

Saya tidak tahu mengapa dulu saya menjadi 'target' orang yang hendak meminjam uang. Apakah mereka menganggap saya punya duit lebih dari mereka atau bagaimana. Padahal, ya sama saja dengan mereka.

Namun, dari pernah menjadi 'target berutang' itu, membuat saya sedikit paham perihal beberapa 'modus' yang seringkali dipakai orang ketika hendak beruutang agar keinginannya terpenuhi.

Umumnya, orang yang berutang akan menyampaikan alasan mengapa dirinya sampai harus meminjam uang. Ada yang jujur dan ngomong apa adanya. Ada yang pura-pura manis.

Pengalaman dulu, beberapa kawan yang berutang karena beralasan uang kiriman dari orang tuanya telat (terlambat dikirim) sehingga tidak punya uang untuk menyambung hidup di kos-kosan.

Atau karena alasan untuk mengurus pajak kendaraannya yang akan habis masa berlakunya. Hingga karena alasan gali lubang tutup lubang alias untuk menutup utang di tempat lain.

Setelah menceritakan alasannya, untuk meyakinkan orang yang akan dipinjam duitnya, mereka biasanya menyampaikan 'pengumuman penting'. Ini bagian pentingnya agar orang memberikan utangan.  

Seperti berjanji uangnya akan dikembalikan minggu depan karena akan mendapat arisan, bonus gaji dari kantor, tanah yang dijual laku, atau bahkan mendapat warisan.

Entah itu benaran atau sekadar alasan pemanis, kita yang akan meminjami uang juga tidak tahu. Tahunya nanti di minggu berikutnya. Apakah memang mereka yang berutang itu benar akan melunasi atau malah meminta 'perpanjangan waktu'.

Jangan mau enaknya saja, tapi juga berkomitmen membayar utang

Ya, berutang itu memang enak. Lebih enak daripada memberikan utangan. Bagaimana tidak enak, lha wong kita tinggal 'meyakinkan orang' dengan ucapan, lantas mendapatkan duit dalam jumlah sesuai yang ingin kita pinjam. Enak kan?

Namun, seenak-enaknya berutang, tentu saja tidak seterusnya enak. Maksudnya, jangan mau enaknya saja ketika menerima duit pinjamannya. Apalagi malah keenakan.

Namun, sebagai pihak yang berutang, kita juga harus berkomitmen untuk mengembalikan duit pinjaman itu tepat waktu. Berani berutang ya harus berani melunasi.

Jangan hanya bicara santun ketika akan meminjam uang agar dipenuhi maunya, tetapi ketika akan ditagih mendadak santunnya hilang.

Bukankah banyak terjadi, orang yang berutang kemudian 'berkamuflase menjadi belut' sehingga licin dipegang alias sulit ditemui dan susah ditelpon ketika akan ditagih.

Padahal, sudah waktunya melunasi. Padahal, ketika dulu saat akan utang, mereka sendiri yang menetapkan waktu kapan akan melunasi, tetapi kemudian malah lupa.

Malah, ada orang yang berutang, pandai memainkan 'seni peran' layaknya pemain peran top. Ketika datang, manis dan meyakinkan sekali ucapannya. Mimik wajahnya memelas. Plus memberikan kata sakti bahwa utangaya akan dilunasi pekan depan atau bulan depan karena akan mendapatkan uang dalam jumlah besar.

Namun, yang terjadi, giliran ditagih, malah dia berakting menjadi pemain antagonis super galak yang bisanya marah-marah. Malah, dia pandai memudarkan fakta seolah terzalimi oleh orang yang sejatinya sedang menagih haknya.

Lucunya, meski beralasan belum punya duit untuk melunasi, tapi sikapnya di dunia maya malah berkebalikan. Betapa tidak, dia malah memposting foto di media sosialnya seputar kesibukannya makan-makan, belanja barang di toko online, atau bahkan liburan. 

Karenanya, meski berutang itu memang enak, tetapi jangan mau enaknya saja. Jangan keenakan. Bila memang punya duit berlebih, ya disegerakan untuk melunasi.

Tentu saja, rasanya berat bila harus menyerahkan duit ke orang lain. Tapi, bukankah dulu ketika kita yang berutang, orang yang memberikan pinjaman juga mudah saja menyerahkan duit ke kita.

Padahal, bila utang sudah dilunasi, itu rasanya lega. Dulu ketika kebetulan ada duit lebih, saya memutuskan untuk melunasi utang KPR di bank. Saya lega karena tidak ada lagi urusan utang dengan bank.

Begitu juga ketika berutang di koperasi tempat kerja dulu, meski pelunasannya dengan memotong gaji setiap bulan, tetapi ketika punya duit lebih, tidak ada salahnya untuk segera melunasi utang tersebut.

Melunasi utang demi menjaga pertemanan

Namun, yang paling penting sejatinya, bersegeralah untuk melunasi utang dari teman bila memang sudah punya uang berlebih. Jangan pernah berpikir "ah orang itu (yang memberikan utangan) belum perlu duit karena duitnya masih banyak".

Mengapa utang kepada kawan lebih mendesak untuk dilunasi?

Sebab, urusan utang dengan kawan sendiri atau bahkan kerabat keluarga, bila tidak segera dilunasi, akibatnya bisa membahayakan.

Bukan tidak mungkin, hanya karena utang, hubungan pertemanan dan kekeluargaan yang awalnya dekat dan akrab, mendadak rusak karena utang yang tidak kunjung terbayar.

Pihak yang memberikan utang pada akhirnya kehilangan kesabaran karena orang yang berutang sudah ingkar janji melunasi dari tanggal yang sudah ditentukan.

Sementara yang berutang, seolah tidak ada niat untuk melunasi karena selalu menghindar bila akan diajak bertemu ataupun ketika didatangi di rumahnya.

Kecuali bila memang yang bersangkutan belum memiliki duit, boleh lah diberikan 'perpanjangan waktu'. Sebab, mau didesak seperti apapun, bila belum punya duit ya mau bagaimana lagi.

Saya pernah merasakan pengalaman seperti itu. Ada kawan yang meminjam duit katanya untuk keperluan mendesak dan akan dilunasi pekan depan. Besarannya tidak terlalu banyak, satu juta saja. Karena setahu saya dia orang yang tidak neko-neko, saya pun memberikan pinjaman.

Yang terjadi kemudian, sepekan berlalu, belum dilunasi utangnya. Dua tiga pekan, tetap sama. Saya sebenarnya paling malas ketika harus menagih utang ke orang. Saya lebih senang orangnya sadar untuk melunasi tanpa perlu ditagih.

Namun, setelah tiga bulan, ternyata belum juga dilunasi. Pada akhirnya, utang itu dilunasi kakaknya. Penyebabnya, terungkap bila kawan yang berutang itu juga punya utang ke tetangganya. Lantas, ketahuan aliran utangnya ke siapa saja. Termasuk ke saya.

Dari situ, saya bisa mengambil hikmahnya. Saya tidak kapok memberikan utangan kepada orang lain. Sebab, saya juga pernah merasakan situasi ketika butuh duit dan berharap ada orang lain memberikan pinjaman.

Siapa tahu, dia  memang benar-benar sedang butuh. Toh, tidak semua orang punya pikiran licik yang maunya berutang saja tanpa ingin melunasi. Selama bisa membantu, tidak masalah untuk membantu.

Namun, yang penting untuk diperhatikan dalam urusan ini, bila sampean akan memberikan utang ke orang lain, berpatokanlah pada kemampuan membayar orang yang berutang.

Ambil contoh, bila mereka yang berutang sebulan bergaji UMK (Upah Minimum Kota) sebesar 4 juta, lantas ingin berutang 8 juta, apa iya sampean langsung begitu saja memberinya?

Bila seperti itu, jangan salahkan orang yang berutang bila kelak tidak mampu membayar. Namun, salahkan diri Anda sendiri. Lha wong sejak awal sampean tahu dia sepertinya tidak bisa melunasi utang besar seperti itu, malah diberi.

Pada akhirnya, membantu orang yang meminjam duit itu tidak masalah. Sebab, bukan tidak mungkin kelak kita juga ada di posisi seperti mereka. Anggap saja itu "garamnya" hidup agar lebih nikmat.

Namun, jangan sampai niatan membantu orang lain itu malah membuat diri Anda susah sendiri di masa nanti. Apalagi bila orang yang berutang itu ternyata hanya santun ketika akan berutang tetapi licin ketiak ditagih. Hanya mau enaknya saja. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun