Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Kalah Lagi, Mengapa Liverpool Tampil "Ambyar" di Penghujung Liga Inggris?

16 Juli 2020   10:25 Diperbarui: 16 Juli 2020   10:32 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Liverpool kalah lagi. Ya, Kamis (16/7) dini hari tadi, Liverpool dikalahkan tuan rumah Arsenal 2-1 di Emirates Stadium, London.

Unggul lebih dulu lewat gol Sadio Mane, gawang Liverpool lantas dijebol dua kali oleh Arsenal lewat Alexandre Lacazette dan Reiss Nelson. Semua gol terjadi di babak pertama.

Ini kekalahan ketiga yang dialami Liverpool di Liga Inggris musim ini. Sebelumnya, sang juara Liga Inggris 2019/20 ini pernah kalah dari Watford dan juga Manchester City.

Setiap kekalahan ada ceritanya, juga pasti ada dampaknya. Begitu juga kekalahan dari Arsenal ini. Imbas dari kekalahan di London pagi tadi, Liverpool kini kehilangan peluang membuat rekor poin tertinggi dalam sejarah Premier League.

Sebelumnya, Liverpool berpeluang meraih lebih dari 100 poin dalam satu musim, melewati rekor 100 poin Manchester City saat juara di musim 2017/18. Kini, peluang itu lenyap.

Tanpa tambahan poin dari London, Liverpool kini masih mengumpulkan 93 poin. Nah, dengan sisa dua pertandingan (menjamu Chelsea dan away ke Newcastle), kalaupun menang beruntun, maka poin maksimal Liverpool nanti "hanya" 99 poin.

Beberapa faktor penyebab penurunan performa Liverpool 
Namun, bukan hanya soal lenyapnya peluang membuat rekor poin, hasil di London ini juga memunculkan pertanyaan besar. Pertanyaan tentang mengapa penampilan Liverpool yang sebelumnya sangat luar biasa, kini malah 'ambyar' di periode penghujung liga.

Banyak orang mungkin berujar wajar bila Liverpool kini tidak lagi tampil sedahsyat sebelum kompetisi dihentikan akibat pandemi. Sebab, mereka sudah juara sehingga hasil apapun tidak lagi berpengaruh.

Namun, bila melihat siapa saja pemain Liverpool yang tampil di London dini hari tadi, mudah menyebut bahwa The Reds sebenarnya ingin menang di markas Arsenal.

Ya, pelatih Liverpool, Jurgen Klopp menurunkan starting XI terbaik yang terbukti bisa juara Liga Inggris setelah menunggu 30 tahun. Dari kiper Alisson Becker. Duet bek tengah Virgil van Dijk dan Joe Gomez serta Andy Robertson dan Trent Alexander-Arnold di full back kiri dan kanan.

Di tengah ada Fabinho, Alex Ox-Chamberlain, dan Gini Wijnaldum. Lalu trio Mohamed Salah, Roberto Firmino dan Sadio Mane. Hanya minus kapten tim, Jordan Henderson yang cedera.

Lalu, mengapa kok Liverpool kalah dari Arsenal yang jadi kekalahan pertama di era Klopp. Sebelumnya, sejak Klopp datang di musim 2014/15, Liverpool tak pernah kalah dari Arsenal.

Hasil ini juga memperburuk catatan Liverpool sejak dipastikan juara pada 26 Juni lalu. Sebelumnya, Liverpool ditahan Burnley 1-1 di Anfield (11/7) yang mengakhiri catatan selalu menang di kandang di musim ini.

Singkat kata, dalam lima laga usai menyandang predikat juara, Liverpool hanya mampu menang dua kali, lalu imbang sekali dan kalah dua kali. Sebelumnya kalah 0-4 dari Manchester City (3/7).

Mengapa bisa begitu? Menurut saya ada beberapa faktor penyebabnya.

Pertama faktor motivasi. Perihal motivasi ini, saya kurang sependapat bila Liverpool disebut kehilangan motivasi. Sebab, sebagai tim besar dan pemain-pemain profesional, mereka pasti punya motivasi dan kebanggaan untuk memberikan yang terbaik bagi tim. 

Namun, greget motivasi dalam situasi membutuhkan kemenangan untuk mengejar gelar dan motivasi ketika sudah juara, jelas berbeda. Tidak mudah bagi Liverpool tetap tampil 'gas pol' ketika memastikan juara 'terlalu cepat'.

Ya, sepanjang sejarah sejak Premier League dikenalkan mulai musim 1992/93, belum pernah ada tim yang juara secepat Liverpool di musim ini. Mereka juara ketika kompetisi masih menyisakan tujuh pertandingan.  

Sebelumnya, rekor tercepat juara Liga Inggris dipegang Manchester United saat juara di musim 2000/01 dan Manchester City saat juara  musim 2017/18. Tim bertetangga itu juara ketika liga menyisakan lima laga.

Itu yang terjadi di beberapa pertandingan yang dilakoni Liverpool setelah dipastikan juara. Virgil van Dijk dan kawan-kawan sulit tampil seperti ketika menang 4-0 atas Crystal Palace (25/6) yang merupakan laga terakhir sebelum jadi juara.

Nah, ketika level motivasi pemain sudah berbeda, itu jelas berpengaruh kepada passion bermain. Ujung-ujungnya, Liverpool jadi sulit tampil sesuai standar permainan sebelumnya yang membuat mereka unggul jauh dari Manchester City.

Faktanya di Emirates Stadium tadi pagi, meski bermain dengan tim terbaik mereka, Liverpool terlihat bermasalah. Kecepatan dan juga penyelesaian akhir beberapa peluang kurang mematikan. Namun, masalah terbesar adalah fokus mereka yang terlihat payah.

Nyatanya, dua gol Arsenal, dua-duanya berawal dari kesalahan lini belakang Liverpool. Gol pertama di menit ke-32, bermula dari back pass Van Dijk ke Alisson. Bola berhasil dicuri Lacazette dan gol. Meski, Van Dijk sebelumnya merasa dirinya dilanggar pemain Arsenal.

Lalu di menit ke-44, lemparan ke dalam oleh Andy Robertson ke Alisson, berlanjut dengan sapuan bola yang tidak sempurna dan lagi-lagi bola berhasil dicuri pemain Arsenal yang berujung gol.

Ini kali ketiga beruntun, Liverpool tidak mampu mencatat clean sheet (bersih dari kemasukan gol). Gawang mereka selalu kebobolan di tiga pertandingan terakhir Liga Inggris. Padahal, di dua laga setelah re-start Liga Inggris (sebelum juara), gawang Liverpool steril dari gol.

Faktor ketiadaan suporter juga berpengaruh
Faktor lainnya adalah situasi liga yang berbeda karena adanya pandemi Covid-19. Bahwa tidak ada suporter di dalam stadion. Lho, bukankah situasi seperti itu sudah berlangsung sejak liga dimulai kembali pada 22 Juni lalu.

Benar, Liverpool dan semua tim Liga Inggris memang sudah terbiasa tampil tanpa penonton. Namun, bagi tim yang sudah memastikan gelar, bertanding tanpa suporter itu bisa menjadi nilai minus.

Bila saja stadion dipenuhi suporter, pemain-pemain Liverpool masih punya alasan ekstra untuk tampil habis-habisan di sisa laga setelah juara. Mereka ingin memberikan 'hadiah' dan penghormatan kepada para pendukungnya.

Ya, bagaimanapun, semangat tanding pemain akan berbeda bila mereka bertanding disaksikan puluhan ribu suporter. Bertanding diiringi suara nyanyian suporter di tribun. Utamanya bagi tim yang tinggal sekadar 'menghabiskan jadwal sisa' seperti Liverpool.

Apalagi, suporter Liverpool dikenal paling bersemangat mendukung timnya. Bahkan, pernah ada survei, Anfield merupakan stadion yang 'paling hidup' di Eropa selain marks Borussia Dortmund ketika berlangsung pertandingan. Anfield hanya kalah dari Stadion Bombonera, markas Boca Juniors di Argentina.  

Beda ceritanya dengan tim-tim yang masih punya urusan di jadwal sisa seperti tim yang tengah memburu tiket ke Liga Champions maupun tim yang berjuang selamat dari ancaman degradasi. Mereka jelas punya semangat besar meski stadion sepi.

Selain itu, faktor lainnya yang membuat penampilan Liverpool 'ambyar' di beberapa pertandingan terakhir karena mereka tidak punya lagi kepentingan setelah liga selesai.

Kepentingan maksudnya semisal tampil di turnamen lainnya selain liga. Pasalnya, Liverpool sudah selesai di Liga Champions. Sebagai juara bertahan, mereka gagal lolos ke babak perempat final yang akan dimulai Agustus nanti.

Liverpool juga sudah out dari Piala FA yang akan memasuki babak semifinal pada akhir pekan ini.

Akan berbeda ceritanya bila Liverpool akan tampil di perempat final Liga Champions. Mohamed Salah dan kawan-kawan pastinya tetap bersemangat bermain di laga-laga akhir Liga Inggris demi menjaga tren penampilan sebelum main di Liga Champions.

Itu yang terjadi pada Manchester City. Meski gagal mempertahankan gelar Liga Inggris, City masih punya urusan di dua turnamen. Mereka lolos ke semifinal Piala FA dan akan bertemu Arsenal pada 19 Juli nanti.

Manchester City juga kembali berjumpa Real Madrid di leg II babak 16 besar Liga Champions pada 7-8 Agustus nanti. Karenanya, anak asuh Pep Guardiola ini terlihat terus tampil gas pol di Liga Inggris demi menjaga standar penampilan. Dini hari tadi, mereka menang 2-1 atas Bournemouth.  

Pada akhirnya, terlepas dari penampilan kurang oke Liverpool belakangan ini, bagi Liverpudlian itu tidak terlalu penting. Sebab, terpenting mereka sudah juara.

Tapi, saya yakin, Liverpool akan bangkit di pertandingan berikutnya. Liverpool akan menjamu Chelsea di Anfield pada 23 Juli nanti. Laga ini direncanakan menjadi seremoni penyerahan trofi Liga Inggris. Rasanya itu akan menjadi motivasi besar bagi Liverpool untuk menang. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun